Gua Iman

By , Kamis, 27 Mei 2010 | 13:02 WIB

Apa pun pandangan orang tentang masalah itu, ada fakta yang tak terbantahkan: Penyebaran artefak Mogao ke sejumlah museum di tiga benua telah melahirkan bidang penelitian baru, Dunhuangology, dan para cendekiawan masa kini di seluruh dunia berupaya melestarikan kekayaan Jalan Sutra.

Mulanya Fan Jinshi tidak berencana menjadi penjaga gua-gua itu. Pada 1963, ketika dia menghubungi Akademi Dunhuang, gadis asli Shanghai berusia 23 tahun itu tidak pernah membayangkan dirinya bisa bertahan selama setahun di pos yang ditelantarkan itu, apalagi seumur hidup. Gua Mogao tentu saja sangat mengesankan, namun sejujurnya Fan tidak menyukai makanan di situ, apalagi ditambah sulitnya mendapatkan air bersih, dan kenyataan bahwa segalanya—rumah, tempat tidur, kursi—tampaknya terbuat dari lumpur.

Kemudian, meletuslah Revolusi Kebudayaan pada 1966, ketika rezim Ketua Mao menghancurkan kuil Buddha, artefak budaya, dan berbagai lambang asing di seluruh Cina. Gua Mogao tentu saja menjadi sasaran. Kelompok Fan tidak terhindar dari malapetaka tersebut; staf yang berjumlah 48 orang tercerai-berai menjadi sekitar selusin faksi revolusioner, lalu menghabiskan waktu mereka untuk saling mengutuk dan menginterogasi. Namun, meskipun terjadi pertikaian yang begitu getir, semua faksi itu menyepakati satu prinsip: Gua Mogao tidak boleh disentuh. Fan berkata, "Kami menutup semua gerbang gua dengan paku."

Hampir setengah abad kemudian, Fan memimpin semacam revolusi kebudayaan yang sangat berbeda. Ketika sinar matahari sore memancar memasuki kantornya di Akademi Dunhuang, sang direktur—seorang wanita mungil berambut pendek dan sudah mulai beruban—memberi isyarat keluar jendela ke tebing berwarna cokelat keabu-abuan. "Gua-gua itu ibarat terjangkit oleh hampir semua penyakit," katanya, tak henti-hentinya terus bercerita tentang kerusakan yang disebabkan oleh pasir, air, jelaga dari api, garam, serangga, sinar matahari—dan wisatawan. Fan mengawasi staf yang terdiri atas 500 orang, tetapi dia masih ingat bahwa sejak 1980-an pun Akademi Dunhuang sebenarnya sudah memerlukan bantuan para pakar pelestarian berkebangsaan asing. Mungkin sepertinya mengada-ada, tetapi bekerja sama dengan orang asing merupakan masalah rawan di situs budaya warisan Cina—dan penjarahan gua Mogao satu abad yang lalu menjadi pelajaran yang sangat berharga. !break!

Langit di luar jendela kantor Fan, yang tak berawan dan berwarna biru cerah selama berhari-hari, tiba-tiba mulai gelap. Badai pasir mulai terbentuk. Fan mengamatinya sejenak, namun segera saja teringat pada proyek pertama yang digarapnya bersama salah satu mitranya yang paling lama berkiprah di Akademi, yaitu Getty Conservation Institute (GCI). Untuk mencegah serbuan pasir yang pernah mengubur beberapa gua dan lukisan—dan merusak sejumlah lukisan—GCI mendirikan pagar miring di bukit pasir di atas tebing, dan ini berhasil mengurangi kecepatan angin sampai setengahnya dan menurunkan keganasan padang pasir hingga 60 persen. Sekarang perlindungan tempat tersebut dilakukan Akademi dengan menggunakan buldoser dan sejumlah pekerja untuk menanam rumput padang pasir dalam petak-petak lebar.

Upaya paling sungguh-sungguh berlangsung di dalam gua. GCI mendirikan peralatan untuk memantau kelembapan dan suhu di dalam gua dan sekarang juga untuk memantau arus wisatawan. Proyek terbesar GCI berlangsung di Gua 85, sebuah gua dinasti Tang, dan di sini GCI serta para pakar pelestarian dari Akademi bekerja selama delapan tahun merancang semen khusus untuk memasang kembali bagian mural yang terpisah dari permukaan batu.

Pada situs setua ini, mengemuka etika yang bertolak belakang. Di dalam Gua 260, gua abad keenam yang digunakan University of London Courtauld Institute of Art sebagai “gua kajian", seorang mahasiswa Cina baru-baru ini menggunakan sikat debu berukuran mikro untuk membersihkan permukaan tiga gambar Buddha kecil. Jubah merah sang Buddha tiba-tiba tampak berkilau, padahal sebelumnya hampir tidak terlihat . "Sangat menyenangkan bisa melihat lukisan itu," kata Stephen Rickerby, seorang pakar pelestarian yang mengelola proyek tersebut. "Namun, kami masih tetap bimbang. Debunya mengandung garam yang dapat merusak cat, tapi membersihkan debu dapat menyebabkan lukisan itu kena cahaya, dan hal ini dapat menyebabkan warnanya memudar."

Inilah dilema yang dihadapi Fan Jinshi: bagaimana melestarikan gua seraya membukanya untuk dinikmati oleh khalayak yang lebih luas. Jumlah wisatawan yang mengunjungi Mogao mencapai lebih dari setengah juta orang pada 2006. Penghasilan dari sini sangat bermanfaat bagi Akademi Dunhuang, tetapi lembap dari napas para wisatawan merupakan faktor yang paling merusak mural. Wisatawan kini dibatasi hanya dapat mengunjungi satu set yang terdiri atas 40 gua yang dibuka bergiliran, dan sepuluh di antaranya dibuka pada waktu tertentu. !break!

Teknologi digital mungkin dapat memberikan satu solusi. Menindaklanjuti proyek mendigitalkan foto yang sudah menyelesaikan 23 gua bersama Mellon International Dunhuang Archive, Akademi Dunhuang meluncurkan proyek maratonnya sendiri yang berlangsung selama beberapa tahun untuk mendigitalkan 492 gua berhias (sejauh ini, staf telah menyelesaikan 20). Upaya ini mencerminkan anjuran internasional untuk mendigitalkan gulungan naskah yang berserakan dari Gua 17.

Impian Fan adalah menyatukan semua arsip digital dari Timur dan Barat untuk menciptakan kembali pengalaman gua tiga-dimensi yang lengkap—bukan di situs itu sendiri, tetapi di sebuah pusat wisatawan baru yang megah, yang diusulkan untuk dibangun di sebuah tempat yang berjarak 24 kilometer dari situ. Proyek ini baru sampai tahapan perencanaan. Namun, Fan yakin bahwa menyatukan semua kekayaan Mogao di satu tempat, bahkan dalam bentuk rekayasa pun, dapat menjamin bahwa keagungannya tidak akan pernah lagi terkubur dalam pasir. "Ini adalah cara untuk melestarikannya selama-lamanya," kata Fan.