Gua Iman

By , Kamis, 27 Mei 2010 | 13:02 WIB

Kerangka manusia bertumpuk seperti rambu penunjuk arah di gurun pasir. Namun bagi Xuanzang, seorang biksu Budha yang menempuh Jalan Sutra pada 629 M, tulang-belulang yang sudah memutih itu menjadi pengingat tentang bahaya yang mengintai di jalur ramai paling penting di dunia yang berfungsi sebagai lalu lintas perdagangan, penaklukan, dan tempat munculnya berbagai pemikiran. Pusaran badai pasir di padang gurun yang terletak di balik tepi barat Kekaisaran Cina, membuat biksu itu kehilangan arah dan nyaris pingsan. Panas yang semakin menyengat mengecoh penglihatannya, menyiksanya dengan pemandangan seakan-akan ada pasukan tentara yang mengancam di bukit pasir di kejauhan. Bahaya yang lebih mengerikan adalah para bandit dengan pedang terhunus, yang mengincar para kafilah dan barang bawaan mereka—sutra, teh, dan keramik, yang melintasi jalur itu menuju ke barat menemui para penguasa Persia dan Mediterania. Sementara benda-benda seperti emas, batu permata, dan kuda, menuju ke timur ke ibukota Changan pada masa Dinasti Tang, salah satu kota terbesar di dunia.!break!

Adapun alasan yang membuat Xuanzang terus bertahan, yang ditulisnya dalam catatan perjalanannya yang terkenal, adalah benda berharga yang dibawanya sepanjang Jalan Sutra: ajaran Buddha itu sendiri. Beberapa agama lain juga menyeruak melalui rute yang sama—Manikeisme, Kristen, Zoroastrianisme, dan kemudian, Islam—namun tidak ada yang begitu mempengaruhi Cina sedemikian mendalamnya seperti ajaran Buddha, yang migrasinya dari India dimulai sekitar tiga abad pertama Masehi. Kitab agama Buddha yang dibawa kembali oleh Xuanzang dari India dan yang menyita waktu dua dasawarsa berikutnya untuk mempelajari dan menerjemahkannya telah menjadi dasar ajaran Buddha di Cina dan mengobarkan penyebaran agama tersebut.

Menjelang akhir perjalanannya yang menghabiskan waktu 16 tahun, biksu itu berhenti di Dunhuang, sebuah oasis Jalan Sutra yang sedang tumbuh berkembang. Di tempat inilah manusia dan kebudayaan yang berpapasan mencuatkan salah satu keajaiban besar dunia Buddha, gua-gua Mogao.

Dari gundukan bukit pasir yang terpahat oleh angin, sekitar 19 kilometer di tenggara Dunhuang, tampak lekukan tebing dengan kedalaman lebih dari tiga puluh meter ke dasar sungai yang dipagari oleh deretan pohon poplar. Pada pertengahan abad ketujuh, permukaan bebatuan sepanjang satu setengah kilometer itu dihiasi ratusan lubang gua. Di tempat itulah para peziarah berdatangan untuk memanjatkan doa agar dapat dengan aman melintasi bagian Gurun Taklimakan yang sangat ditakuti—atau dalam hal pengalaman Xuanzang, untuk bersyukur karena perjalanannya berlangsung dengan aman.

Di dalam gua, kegersangan gurun yang menjemukan digantikan oleh keceriaan warna dan gerakan. Ribuan sosok Buddha dengan berbagai rona memancar di semua dinding gua, jubah mereka berkilauan oleh emas impor. Apsara (dewi surga) dan musisi surgawi melayang di langit-langit, mengenakan gaun biru tipis dari lapis lazuli, yang kehalusan dan keindahannya tampak mustahil dihasilkan oleh goresan tangan manusia. Mengiringi gambaran nirwana yang ceria itu tampak perincian yang lebih membumi yang sudah sangat dikenal para musafir Jalan Sutra: para saudagar Asia Tengah berhidung mancung dan bertopi lembek, biksu India yang sudah keriput berjubah putih, petani Cina yang sedang mengolah lahan. Di dalam gua tertua dari masa 538 M, Xuanzang bahkan juga melihat para bandit itu lagi—hanya saja dalam tafsir tersebut, para penjahat itu sudah ditangkap, dibuat buta matanya, dan akhirnya dipaksa menganut agama Buddha. !break!

Ketika Xuanzang melewati Dunhuang, dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa terjemahan kitab Buddha karyanya ternyata mengilhami para seniman Mogao selama berabad-abad kemudian. Dia juga sama sekali tidak mengira bahwa lebih dari 1.200 tahun kemudian, karyanya menyebabkan ditemukannya kembali dan dijarahnya, serta akhirnya dilindunginya gua-gua itu. Yang disadari biksu itu hanyalah bahwa di sini, di padang pasir di tepi kekaisaran, agama Buddha sudah mengalami perubahan, dipengaruhi oleh setiap sapuan cat para seniman dalam kegelapan gua.

Bagi sebuah agama yang mengajarkan tentang kefanaan dunia, pasir gurun barat Cina yang selalu berubah bentuk mungkin tampak seperti latar yang sempurna untuk ungkapan artistik yang mulia. Namun, kejaiban gua Mogao bukan terletak pada kefanaannya, melainkan pada usia panjangnya yang nyaris mustahil.

Gua-gua itu, yang diukir antara abad ke-4 dan ke-14, menggunakan cat setipis kertas yang disapu dengan sangat indahnya, mampu bertahan menghadapi kerusakan akibat perang dan penjarahan, kekuatan alam, dan penelantaran. Setengah terkubur di dalam pasir selama berabad-abad, bongkahan batu yang terisolasi ini sekarang diakui sebagai salah satu tempat penyimpanan seni Buddha terbesar di dunia. Akan tetapi, gua-gua itu lebih dari sekadar monumen keimanan. Mural, patung, dan gulungan lukisan Budda ini juga menampilkan pandangan sekilas yang tak tertandingi, yang melukiskan masyarakat multibudaya yang tumbuh berkembang selama seribu tahun sepanjang koridor akbar antara Timur dan Barat.

Orang Cina menyebutnya Mogaoku, atau "gua yang tak ada bandingannya." Namun, tidak ada nama yang sepenuhnya dapat mengungkapkan keindahan atau kemegahannya. Dari hampir 800 gua yang dipahat ke permukaan tebing, 492 dihiasi mural elok yang menutupi lebih dari 46.000 meter persegi permukaan dinding, sekitar 40 kali bentangan Kapel Sistina. Bagian dalam gua juga dihiasi lebih dari 2.000 patung, beberapa di antaranya merupakan patung yang terindah dari zaman itu. Hingga sekitar satu abad yang lalu, ketika beberapa kelompok pemburu harta karun tiba di gurun itu, terkuaklah sebuah ruangan berisi puluhan ribu naskah kuno yang sebelumnya lama tersembunyi. !break!

Baik yang mengambil rute utara yang lebih panjang atau rute selatan yang lebih sulit, para wisatawan tetap memilih berkumpul di Dunhuang. Kafilah berdatangan, sarat dengan barang-barang eksotis yang berasal dari tanah jauh. Namun, komoditas yang terpenting adalah berbagai pemikiran mereka—yang serba indah dan bernuansa agama. Tidaklah mengherankan bahwa para pelukis Mogao, ketika melukiskan berbagai konsep impor paling menakjubkan yang dibawa melalui Jalan Sutera, menghiasi mural gua dengan berbagai unsur asing, mulai dari warna hingga metafisika.

"Semua gua itu ibarat kapsul waktu Jalan Sutera," kata Fan Jinshi, direktur Akademi Dunhuang, yang mengawasi penelitian, pelestarian, dan pariwisata di situs tersebut. Fan, ahli arkeologi dinamis berusia 71 tahun, telah menangani gua-gua itu selama 47 tahun, sejak dia tiba di tempat itu pada 1963 sebagai lulusan baru dari Universitas Peking. Menurutnya, kebanyakan situs lain di Jalan Sutra, dilahap oleh padang pasir atau dihancurkan oleh beberapa kekaisaran yang berturut-turut menguasainya. Namun, gua Mogao mampu bertahan dalam keadaan utuh, dimana kaleidoskop muralnya menampilkan pertemuan dunia Timur dan Barat. "Makna historis Mogao sangat meyakinkan," kata Fan. "Karena lokasi geografisnya pada titik transit di Jalan Sutra, kita dapat menyaksikan membaurnya unsur Cina dan unsur asing di hampir setiap dinding gua."

Dewasa ini dunia Timur dan Barat membaur lagi di Dunhuang. Kali ini untuk membantu menyelamatkan gua-gua itu dari ancaman yang mungkin merupakan bahaya terbesar dalam sejarah mereka yang sudah berusia 1600 tahun. Selama ini aneka mural Mogao sangat rapuh, hal ini dikarenakan lapisan cat yang sangat tipis terperangkap dalam pertempuran korosif antara batu dan udara. Selama beberapa tahun terakhir, aneka mural itu menghadapi serangan gabungan antara keganasan alam dan gelombang wisatawan. Dalam upaya untuk melestarikan mahakarya Jalan Sutra dan sekaligus membendung dampak membanjirnya wisatawan, Fan telah meminta bantuan sejumlah tim pakar dari seluruh Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Ini adalah kerja sama budaya yang menggemakan sejarah agung gua-gua itu—dan diharapkan dapat menjamin kelangsungan hidup mereka.

Kemunculan gua-gua itu awalnya seperti sebuah penampakan cahaya gaib. Pada suatu malam pada 366 M, seorang biksu pengembara bernama Yuezun melihat seribu Buddha emas berkilauan di sebuah tebing. Karena merasa terinspirasi, dia mencukil dan menatah sebuah ruangan meditasi kecil ke dalam tebing, dan gua lain dengan cepat bermunculan. Beberapa gua pertama tidak lebih besar dari ukuran peti mati. Tidak lama kemudian, komunitas yang sangat bersahaja mulai mengukir gua-gua yang lebih besar untuk tempat peribadatan umum, menghiasi kuil dengan lukisan Buddha. Gua-gua awal inilah yang mengilhami julukan Gua Seribu Buddha. !break!

Kanvas mereka hanya terdiri atas lumpur sungai yang dicampur dengan jerami, tetapi para seniman Dunhuang, selama berabad-abad, menatahkan evolusi kesenian Cina pada permukaan yang bersahaja ini—sekaligus mengungkapkan perubahan ajaran Buddha menjadi keimanan Cina.

Salah satu puncak kreatif Mogao muncul selama abad ketujuh dan kedelapan, ketika Cina menggalakkan keterbukaan dan kekuasaan. Saat itulah Jalan Sutra maju pesat, demikian juga ajaran Buddha, dan Dunhuang membayar pajak ke ibukota Cina. Pada masa itu para pelukis gua Dinasti Tang menampilkan gaya Cina yang penuh percaya diri, menutupi seluruh dinding dengan aneka kisah Buddha yang sangat terperinci, dimana warna, gerak, dan aliran naturalisme menjadikan bentang alam khayalan itu seakan-akan hidup. Hinga kemudian Kerajaan Tengah mulai berpaling ke dalam, yang pada akhirnya menutup diri dari dunia pada masa Dinasti Ming di abad ke-14.

"Tidak seperti penganut Buddha di India, kaum Buddha di Cina ingin tahu secara terperinci semua bentuk kehidupan akhirat," kata Zhao Shengliang, seorang sejarawan seni di Akademi Dunhuang. "Tujuan dari semua warna dan gerak ini adalah untuk menunjukkan keindahan nirwana kepada para peziarah—serta untuk meyakinkan mereka bahwa semua itu nyata. Para pelukis membuat kita merasa seakan-akan seluruh alam semesta sedang bergerak."

Hiruk pikuk yang bersifat lebih duniawi juga sesekali dialami Dunhuang. Namun, bahkan ketika kota itu ditaklukkan oleh sejumlah dinasti yang saling bersaing, keluarga bangsawan setempat, dan kekuasaan asing—Tibet memerintah di sini dari 781 hingga 847—kegiatan kreatif di Mogao terus berlangsung tanpa jeda. Apa yang menyebabkannya tetap gigih bertahan? Pasti lebih dari sekadar rasa hormat akan keindahan atau ajaran Buddha. Ketimbang menghapus jejak para pendahulunya, para penguasa berikutnya justru bertindak sebaliknya. Mereka membiayai pembuatan gua baru, masing-masing lebih indah daripada gua sebelumnya—dan menghiasinya dengan sosok mereka sendiri yang ditampilkan sebagai sosok orang saleh. Deretan penguasa yang kaya raya digambarkan di bagian bawah mural, yang ukurannya semakin besar dengan berjalannya waktu berabad-abad kemudian sehingga mengerdilkan para tokoh agama dalam lukisan. Penguasa yang paling menonjol mungkin Kaisar Wanita Wu Zetian, yang keinginannya untuk digambarkan sebagai orang saleh—dan sebagai pelindung—menjadikannya pada tahun 695, mengawasi pembuatan patung terbesar di kompleks itu, sosok Buddha sedang duduk setinggi 35 meter. !break!

Pada akhir abad kesepuluh, pesona Jalan Sutera mulai memudar. Banyak gua lain digali dan dihiasi, termasuk satu gua yang mural tantranya menampilkan adegan seksual ,yang dibangun pada 1267 di bawah Kekaisaran Mongol yang didirikan oleh Genghis Khan. Tetapi, ketika jalan baru lewat laut dibuka dan kapal yang berlayar lebih cepat berhasil dibuat, kafilah darat pun mulai ketinggalan zaman. Apalagi Cina kehilangan kontrol atas sebagian besar Jalan Sutra, dan Islam memulai migrasi panjangnya melewati pegunungan dari Asia Tengah. Pada awal abad ke-11, beberapa wilayah yang disebut wilayah barat (bagian dari Xinjiang modern masa kini, di Cina barat jauh) penduduknya mulai memeluk agama Islam, mendorong para biksu Buddha menyimpan puluhan ribu naskah dan lukisan di dalam ruangan samping berukuran kecil yang bersebelahan dengan gua Mogao berukuran besar.

Apakah para biksu menyembunyikan berbagai dokumen itu karena takut menghadapi serangan kaum Muslim yang akhirnya memang terjadi? Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, ruangan itu—yang sekarang dikenal sebagai Gua 17, atau Perpustakaan Gua—dihalangi sepenuhnya, diplaster, dan ditutupi oleh mural. Ruangan rahasia itu tetap terkubur selama 900 tahun.

Guratan diagonal yang terpahat akibat pergeseran pasir kuno masih tetap terlihat pada mural di luar Gua 17. Pada pergantian abad ke-20, ketika seorang pendeta Tao bernama Wang Yuanlu menunjuk dirinya sendiri menjadi wali tempat suci itu, banyak gua yang terlantar itu terkubur dalam pasir. Pada Juni 1900, ketika para pekerja menyingkirkan gundukan pasir, Wang menemukan pintu rahasia yang menuju ke sebuah gua kecil yang dipenuhi ribuan gulungan naskah. Dia memberikan beberapa gulungan kepada para pejabat setempat, dengan harapan dapat memperoleh sumbangan. Yang diterimanya justru perintah untuk menutup isi gua.

Hanya memerlukan satu kali kontak dengan Barat untuk mengungkap rahasia gua-gua itu—dan menyuarakan kegeraman Cina yang patriotik. Aurel Stein, cendekiawan kelahiran Hongaria yang bekerja untuk pemerintah Inggris di India dan British Museum, berhasil mencapai Dunhuang pada awal 1907 dengan menggunakan penjelasan Xuanzang yang ditulis pada abad ketujuh, untuk memandunya melintasi Gurun Taklimakan. Awalnya Wang tidak mengizinkan orang asing itu melihat berkas Perpustakaan Gua—sampai kemudian dia mendengar bahwa Stein juga seorang pengagum Xuanzang. Ternyata banyak di antara kumpulan naskah itu adalah terjemahan Xuanzang tentang “sutra” Buddha yang dibawanya dari India. !break!

Setelah berhari-hari membujuk Wang dan bermalam-malam mengeluarkan gulungan dari gua, Stein meninggalkan Dunhuang sambil membawa 24 peti naskah dan lima peti lagi yang diisi dengan lukisan dan berbagai benda peninggalan. Ini adalah salah satu perolehan terkaya dalam sejarah arkeologi—semuanya diperoleh hanya dengan imbalan sekitar Rp2 juta. Untuk jerih payahnya itu, Stein dianugerahi gelar kebangsawanan di Inggris, dan selamanya dicerca di Cina.

Hasil buruan Stein mengungkapkan sebuah dunia multibudaya yang lebih bergelora daripada yang selama ini dibayangkan orang. Hampir selusin bahasa muncul dalam naskah, termasuk bahasa Sansekerta, Turki, Tibet, dan bahkan Yudeo-Persia, selain bahasa Cina. Kertas bekas yang digunakan untuk menuliskan berbagai “sutra” itu mengungkapkan kilasan-kilasan mengejutkan tentang kehidupan sehari-hari di sepanjang Jalan Sutra: surat kontrak perdagangan budak, laporan penculikan anak, bahkan permintaan maaf yang santun atas perilaku saat mabuk. Salah satu benda yang paling berharga adalah Sutra Berlian, gulungan sepanjang 5 meter yang telah dicetak dari balok kayu pada tahun 868, hampir enam abad sebelum Injil Gutenberg.

Para cendekiawan lain—yang berasal dari Prancis, Rusia, Jepang, dan Cina—dengan cepat meniru Stein. Kemudian, pada 1924 datang sejarawan seni Amerika, Langdon Warner, seorang petualang yang mungkin menginspirasi munculnya tokoh fiktif Indiana Jones. Keindahan gua-gua itu mempesona Warner—"Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali terkesiap," begitu tulisnya—namun pada akhirnya Warner ikut berperan dalam kehancuran gua-gua itu. Ia mengeluarkan dengan paksa selusin fragmen mural dan memindahkan sebuah patung indah yang berasal dari masa Dinasti Tang, yakni patung Bodhisatwa yang sedang berlutut dari Gua 328. Karya seni itu hingga kini masih berada di bawah pengawasan cermat Harvard Art Museum. Namun, mural yang dirusak—dan ruang kosong tempat berlututnya patung itu—tetap saja sangat memilukan hati.

Beberapa orang pejabat Cina, yang bersuara seperti rekan-rekan mereka di Mesir dan Yunani, menyerukan agar artefak Mogao dikembalikan. Bahkan buku Akademi Dunhuang yang dinyatakan tidak memihak tentang gua-gua itu memiliki bab berjudul "Para Pemburu Harta Karun yang Tercela." Sementara itu, para kurator asing berdalih bahwa museum mereka telah menyelamatkan harta karun yang kalau tidak mereka tangani mungkin telah hilang untuk selama-lamanya—hancur dalam peperangan dan revolusi Cina abad ke-20. !break!

Apa pun pandangan orang tentang masalah itu, ada fakta yang tak terbantahkan: Penyebaran artefak Mogao ke sejumlah museum di tiga benua telah melahirkan bidang penelitian baru, Dunhuangology, dan para cendekiawan masa kini di seluruh dunia berupaya melestarikan kekayaan Jalan Sutra.

Mulanya Fan Jinshi tidak berencana menjadi penjaga gua-gua itu. Pada 1963, ketika dia menghubungi Akademi Dunhuang, gadis asli Shanghai berusia 23 tahun itu tidak pernah membayangkan dirinya bisa bertahan selama setahun di pos yang ditelantarkan itu, apalagi seumur hidup. Gua Mogao tentu saja sangat mengesankan, namun sejujurnya Fan tidak menyukai makanan di situ, apalagi ditambah sulitnya mendapatkan air bersih, dan kenyataan bahwa segalanya—rumah, tempat tidur, kursi—tampaknya terbuat dari lumpur.

Kemudian, meletuslah Revolusi Kebudayaan pada 1966, ketika rezim Ketua Mao menghancurkan kuil Buddha, artefak budaya, dan berbagai lambang asing di seluruh Cina. Gua Mogao tentu saja menjadi sasaran. Kelompok Fan tidak terhindar dari malapetaka tersebut; staf yang berjumlah 48 orang tercerai-berai menjadi sekitar selusin faksi revolusioner, lalu menghabiskan waktu mereka untuk saling mengutuk dan menginterogasi. Namun, meskipun terjadi pertikaian yang begitu getir, semua faksi itu menyepakati satu prinsip: Gua Mogao tidak boleh disentuh. Fan berkata, "Kami menutup semua gerbang gua dengan paku."

Hampir setengah abad kemudian, Fan memimpin semacam revolusi kebudayaan yang sangat berbeda. Ketika sinar matahari sore memancar memasuki kantornya di Akademi Dunhuang, sang direktur—seorang wanita mungil berambut pendek dan sudah mulai beruban—memberi isyarat keluar jendela ke tebing berwarna cokelat keabu-abuan. "Gua-gua itu ibarat terjangkit oleh hampir semua penyakit," katanya, tak henti-hentinya terus bercerita tentang kerusakan yang disebabkan oleh pasir, air, jelaga dari api, garam, serangga, sinar matahari—dan wisatawan. Fan mengawasi staf yang terdiri atas 500 orang, tetapi dia masih ingat bahwa sejak 1980-an pun Akademi Dunhuang sebenarnya sudah memerlukan bantuan para pakar pelestarian berkebangsaan asing. Mungkin sepertinya mengada-ada, tetapi bekerja sama dengan orang asing merupakan masalah rawan di situs budaya warisan Cina—dan penjarahan gua Mogao satu abad yang lalu menjadi pelajaran yang sangat berharga. !break!

Langit di luar jendela kantor Fan, yang tak berawan dan berwarna biru cerah selama berhari-hari, tiba-tiba mulai gelap. Badai pasir mulai terbentuk. Fan mengamatinya sejenak, namun segera saja teringat pada proyek pertama yang digarapnya bersama salah satu mitranya yang paling lama berkiprah di Akademi, yaitu Getty Conservation Institute (GCI). Untuk mencegah serbuan pasir yang pernah mengubur beberapa gua dan lukisan—dan merusak sejumlah lukisan—GCI mendirikan pagar miring di bukit pasir di atas tebing, dan ini berhasil mengurangi kecepatan angin sampai setengahnya dan menurunkan keganasan padang pasir hingga 60 persen. Sekarang perlindungan tempat tersebut dilakukan Akademi dengan menggunakan buldoser dan sejumlah pekerja untuk menanam rumput padang pasir dalam petak-petak lebar.

Upaya paling sungguh-sungguh berlangsung di dalam gua. GCI mendirikan peralatan untuk memantau kelembapan dan suhu di dalam gua dan sekarang juga untuk memantau arus wisatawan. Proyek terbesar GCI berlangsung di Gua 85, sebuah gua dinasti Tang, dan di sini GCI serta para pakar pelestarian dari Akademi bekerja selama delapan tahun merancang semen khusus untuk memasang kembali bagian mural yang terpisah dari permukaan batu.

Pada situs setua ini, mengemuka etika yang bertolak belakang. Di dalam Gua 260, gua abad keenam yang digunakan University of London Courtauld Institute of Art sebagai “gua kajian", seorang mahasiswa Cina baru-baru ini menggunakan sikat debu berukuran mikro untuk membersihkan permukaan tiga gambar Buddha kecil. Jubah merah sang Buddha tiba-tiba tampak berkilau, padahal sebelumnya hampir tidak terlihat . "Sangat menyenangkan bisa melihat lukisan itu," kata Stephen Rickerby, seorang pakar pelestarian yang mengelola proyek tersebut. "Namun, kami masih tetap bimbang. Debunya mengandung garam yang dapat merusak cat, tapi membersihkan debu dapat menyebabkan lukisan itu kena cahaya, dan hal ini dapat menyebabkan warnanya memudar."

Inilah dilema yang dihadapi Fan Jinshi: bagaimana melestarikan gua seraya membukanya untuk dinikmati oleh khalayak yang lebih luas. Jumlah wisatawan yang mengunjungi Mogao mencapai lebih dari setengah juta orang pada 2006. Penghasilan dari sini sangat bermanfaat bagi Akademi Dunhuang, tetapi lembap dari napas para wisatawan merupakan faktor yang paling merusak mural. Wisatawan kini dibatasi hanya dapat mengunjungi satu set yang terdiri atas 40 gua yang dibuka bergiliran, dan sepuluh di antaranya dibuka pada waktu tertentu. !break!

Teknologi digital mungkin dapat memberikan satu solusi. Menindaklanjuti proyek mendigitalkan foto yang sudah menyelesaikan 23 gua bersama Mellon International Dunhuang Archive, Akademi Dunhuang meluncurkan proyek maratonnya sendiri yang berlangsung selama beberapa tahun untuk mendigitalkan 492 gua berhias (sejauh ini, staf telah menyelesaikan 20). Upaya ini mencerminkan anjuran internasional untuk mendigitalkan gulungan naskah yang berserakan dari Gua 17.

Impian Fan adalah menyatukan semua arsip digital dari Timur dan Barat untuk menciptakan kembali pengalaman gua tiga-dimensi yang lengkap—bukan di situs itu sendiri, tetapi di sebuah pusat wisatawan baru yang megah, yang diusulkan untuk dibangun di sebuah tempat yang berjarak 24 kilometer dari situ. Proyek ini baru sampai tahapan perencanaan. Namun, Fan yakin bahwa menyatukan semua kekayaan Mogao di satu tempat, bahkan dalam bentuk rekayasa pun, dapat menjamin bahwa keagungannya tidak akan pernah lagi terkubur dalam pasir. "Ini adalah cara untuk melestarikannya selama-lamanya," kata Fan.