Gua Iman

By , Kamis, 27 Mei 2010 | 13:02 WIB

Kanvas mereka hanya terdiri atas lumpur sungai yang dicampur dengan jerami, tetapi para seniman Dunhuang, selama berabad-abad, menatahkan evolusi kesenian Cina pada permukaan yang bersahaja ini—sekaligus mengungkapkan perubahan ajaran Buddha menjadi keimanan Cina.

Salah satu puncak kreatif Mogao muncul selama abad ketujuh dan kedelapan, ketika Cina menggalakkan keterbukaan dan kekuasaan. Saat itulah Jalan Sutra maju pesat, demikian juga ajaran Buddha, dan Dunhuang membayar pajak ke ibukota Cina. Pada masa itu para pelukis gua Dinasti Tang menampilkan gaya Cina yang penuh percaya diri, menutupi seluruh dinding dengan aneka kisah Buddha yang sangat terperinci, dimana warna, gerak, dan aliran naturalisme menjadikan bentang alam khayalan itu seakan-akan hidup. Hinga kemudian Kerajaan Tengah mulai berpaling ke dalam, yang pada akhirnya menutup diri dari dunia pada masa Dinasti Ming di abad ke-14.

"Tidak seperti penganut Buddha di India, kaum Buddha di Cina ingin tahu secara terperinci semua bentuk kehidupan akhirat," kata Zhao Shengliang, seorang sejarawan seni di Akademi Dunhuang. "Tujuan dari semua warna dan gerak ini adalah untuk menunjukkan keindahan nirwana kepada para peziarah—serta untuk meyakinkan mereka bahwa semua itu nyata. Para pelukis membuat kita merasa seakan-akan seluruh alam semesta sedang bergerak."

Hiruk pikuk yang bersifat lebih duniawi juga sesekali dialami Dunhuang. Namun, bahkan ketika kota itu ditaklukkan oleh sejumlah dinasti yang saling bersaing, keluarga bangsawan setempat, dan kekuasaan asing—Tibet memerintah di sini dari 781 hingga 847—kegiatan kreatif di Mogao terus berlangsung tanpa jeda. Apa yang menyebabkannya tetap gigih bertahan? Pasti lebih dari sekadar rasa hormat akan keindahan atau ajaran Buddha. Ketimbang menghapus jejak para pendahulunya, para penguasa berikutnya justru bertindak sebaliknya. Mereka membiayai pembuatan gua baru, masing-masing lebih indah daripada gua sebelumnya—dan menghiasinya dengan sosok mereka sendiri yang ditampilkan sebagai sosok orang saleh. Deretan penguasa yang kaya raya digambarkan di bagian bawah mural, yang ukurannya semakin besar dengan berjalannya waktu berabad-abad kemudian sehingga mengerdilkan para tokoh agama dalam lukisan. Penguasa yang paling menonjol mungkin Kaisar Wanita Wu Zetian, yang keinginannya untuk digambarkan sebagai orang saleh—dan sebagai pelindung—menjadikannya pada tahun 695, mengawasi pembuatan patung terbesar di kompleks itu, sosok Buddha sedang duduk setinggi 35 meter. !break!

Pada akhir abad kesepuluh, pesona Jalan Sutera mulai memudar. Banyak gua lain digali dan dihiasi, termasuk satu gua yang mural tantranya menampilkan adegan seksual ,yang dibangun pada 1267 di bawah Kekaisaran Mongol yang didirikan oleh Genghis Khan. Tetapi, ketika jalan baru lewat laut dibuka dan kapal yang berlayar lebih cepat berhasil dibuat, kafilah darat pun mulai ketinggalan zaman. Apalagi Cina kehilangan kontrol atas sebagian besar Jalan Sutra, dan Islam memulai migrasi panjangnya melewati pegunungan dari Asia Tengah. Pada awal abad ke-11, beberapa wilayah yang disebut wilayah barat (bagian dari Xinjiang modern masa kini, di Cina barat jauh) penduduknya mulai memeluk agama Islam, mendorong para biksu Buddha menyimpan puluhan ribu naskah dan lukisan di dalam ruangan samping berukuran kecil yang bersebelahan dengan gua Mogao berukuran besar.

Apakah para biksu menyembunyikan berbagai dokumen itu karena takut menghadapi serangan kaum Muslim yang akhirnya memang terjadi? Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, ruangan itu—yang sekarang dikenal sebagai Gua 17, atau Perpustakaan Gua—dihalangi sepenuhnya, diplaster, dan ditutupi oleh mural. Ruangan rahasia itu tetap terkubur selama 900 tahun.

Guratan diagonal yang terpahat akibat pergeseran pasir kuno masih tetap terlihat pada mural di luar Gua 17. Pada pergantian abad ke-20, ketika seorang pendeta Tao bernama Wang Yuanlu menunjuk dirinya sendiri menjadi wali tempat suci itu, banyak gua yang terlantar itu terkubur dalam pasir. Pada Juni 1900, ketika para pekerja menyingkirkan gundukan pasir, Wang menemukan pintu rahasia yang menuju ke sebuah gua kecil yang dipenuhi ribuan gulungan naskah. Dia memberikan beberapa gulungan kepada para pejabat setempat, dengan harapan dapat memperoleh sumbangan. Yang diterimanya justru perintah untuk menutup isi gua.

Hanya memerlukan satu kali kontak dengan Barat untuk mengungkap rahasia gua-gua itu—dan menyuarakan kegeraman Cina yang patriotik. Aurel Stein, cendekiawan kelahiran Hongaria yang bekerja untuk pemerintah Inggris di India dan British Museum, berhasil mencapai Dunhuang pada awal 1907 dengan menggunakan penjelasan Xuanzang yang ditulis pada abad ketujuh, untuk memandunya melintasi Gurun Taklimakan. Awalnya Wang tidak mengizinkan orang asing itu melihat berkas Perpustakaan Gua—sampai kemudian dia mendengar bahwa Stein juga seorang pengagum Xuanzang. Ternyata banyak di antara kumpulan naskah itu adalah terjemahan Xuanzang tentang “sutra” Buddha yang dibawanya dari India. !break!

Setelah berhari-hari membujuk Wang dan bermalam-malam mengeluarkan gulungan dari gua, Stein meninggalkan Dunhuang sambil membawa 24 peti naskah dan lima peti lagi yang diisi dengan lukisan dan berbagai benda peninggalan. Ini adalah salah satu perolehan terkaya dalam sejarah arkeologi—semuanya diperoleh hanya dengan imbalan sekitar Rp2 juta. Untuk jerih payahnya itu, Stein dianugerahi gelar kebangsawanan di Inggris, dan selamanya dicerca di Cina.

Hasil buruan Stein mengungkapkan sebuah dunia multibudaya yang lebih bergelora daripada yang selama ini dibayangkan orang. Hampir selusin bahasa muncul dalam naskah, termasuk bahasa Sansekerta, Turki, Tibet, dan bahkan Yudeo-Persia, selain bahasa Cina. Kertas bekas yang digunakan untuk menuliskan berbagai “sutra” itu mengungkapkan kilasan-kilasan mengejutkan tentang kehidupan sehari-hari di sepanjang Jalan Sutra: surat kontrak perdagangan budak, laporan penculikan anak, bahkan permintaan maaf yang santun atas perilaku saat mabuk. Salah satu benda yang paling berharga adalah Sutra Berlian, gulungan sepanjang 5 meter yang telah dicetak dari balok kayu pada tahun 868, hampir enam abad sebelum Injil Gutenberg.

Para cendekiawan lain—yang berasal dari Prancis, Rusia, Jepang, dan Cina—dengan cepat meniru Stein. Kemudian, pada 1924 datang sejarawan seni Amerika, Langdon Warner, seorang petualang yang mungkin menginspirasi munculnya tokoh fiktif Indiana Jones. Keindahan gua-gua itu mempesona Warner—"Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali terkesiap," begitu tulisnya—namun pada akhirnya Warner ikut berperan dalam kehancuran gua-gua itu. Ia mengeluarkan dengan paksa selusin fragmen mural dan memindahkan sebuah patung indah yang berasal dari masa Dinasti Tang, yakni patung Bodhisatwa yang sedang berlutut dari Gua 328. Karya seni itu hingga kini masih berada di bawah pengawasan cermat Harvard Art Museum. Namun, mural yang dirusak—dan ruang kosong tempat berlututnya patung itu—tetap saja sangat memilukan hati.

Beberapa orang pejabat Cina, yang bersuara seperti rekan-rekan mereka di Mesir dan Yunani, menyerukan agar artefak Mogao dikembalikan. Bahkan buku Akademi Dunhuang yang dinyatakan tidak memihak tentang gua-gua itu memiliki bab berjudul "Para Pemburu Harta Karun yang Tercela." Sementara itu, para kurator asing berdalih bahwa museum mereka telah menyelamatkan harta karun yang kalau tidak mereka tangani mungkin telah hilang untuk selama-lamanya—hancur dalam peperangan dan revolusi Cina abad ke-20. !break!