Anak-anak Mandela

By , Senin, 31 Mei 2010 | 14:19 WIB

Hari Perhitungan

Worcester adalah kota menawan yang melenakan, dengan jajaran menara putih gereja, yang berjarak satu setengah jam perjalanan di timur laut Cape Town. Pada musim dingin, puncak pegunungan di sekitarnya berselimut salju. Saat musim panas, udara lembap dan panas membuat lembah itu terasa seperti neraka dan mencairkan aspal. Jalannya lebar dan teratur. Rumah di sana runcing dan indah; halaman rumputnya tertata rapi; ada mawar yang diberi zat pengatur tumbuh dan tanaman merambat yang menggantung di anjang-anjang. Ini jenis kota yang membuat kita merasa kurang rapi.!break!

Pada pertengahan 1990-an, masih terlihat jelas garis pemisah geografi dan jiwa yang tertanam dalam oleh apartheid di tempat itu, tetapi tidak lebih parah daripada tempat lain di negara ini. Orang kulit hitam sebagian besar masih tinggal di kota Zwelethemba—kembaran Worcester yang kurang gizi di seberang Sungai Hex—sementara kulit putih masih tinggal di jalan kota itu yang diteduhi pohon pelindung atau di peternakan di kaki gunung. Namun, Worcester telah memilih wali kota kulit Berwarna (ras campuran) yang pertama dan wakil wali kota kulit hitam pertamanya. Selain itu, pada Juni 1996, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)—badan mirip pengadilan yang dibentuk setelah penghapusan apartheid—telah mengadakan sidang di kota ini. Korban dan pelaku penyiksaan dan penganiayaan selama apartheid maju dan bersaksi. Masa lalu yang penuh kekerasan tentunya sudah berakhir.

Tak heran semua orang terpukul ketika pada suatu sore, sehari sebelum Natal 1996, dua bom mengoyak pusat perbelanjaan tak jauh dari kantor polisi dan Gereja Reformasi Belanda. Ledakan itu menewaskan empat orang—tiga di antaranya anak-anak. Hampir 70 orang luka-luka. Semua korban adalah orang kulit hitam dan Berwarna. Bom pertama meledak sekitar pukul 1.20, menghantam Olga Macingwane sedemikian rupa sehingga kakinya langsung membengkak seukuran ban traktor. Beberapa menit kemudian, bom kedua meledak, dan dia terlontar pingsan.

"Selama 13 tahun saya tidak pernah melihat orang yang melakukan hal ini kepada saya," kata Macingwane, berbicara di ruang duduknya di Zwelethemba pada Minggu pagi yang sangat panas di akhir November 2009. Macingwane adalah seorang wanita bermartabat di usia senjanya. Dia memakai rok lurus semata kaki berwarna merah jambu, serta baju yang serasi. Di luar rumahnya, sedang ada misa di lapangan terbuka, dan Macingwane harus melantangkan suara agar terdengar. Dia berdiri dengan kaku—jelas dia kesakitan saat berjalan—dan menutup pintu ke halaman dan pada dunia. Toh suara nyanyian gereja tetap tak berkurang di dalam rumahnya. "Dalam benak saya," lanjutnya, sementara paduan suara dari sedikitnya tiga gereja beradu keras di udara yang sangat panas, "saya membayangkan sosoknya. Dalam benak saya, dia pria berusia 50 tahun, sangat besar, berjanggut panjang dan berwajah sangat keras. Itulah orang yang melakukan hal ini. Itulah orang yang saya lihat dalam mimpi buruk."

Titik BalikPemilihan Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010 melonjakkan kepercayaan diri warganya. Bangsa mereka kini dapat diingat sebagai penyelenggara sepak bola dunia, bukan lagi apartheid. Infrastruktur modern Afrika Selatan, bandara keren yang mengagumkan, restoran kosmopolitan—menjadi penampilan luar yang mendukung kesan bahwa sejarah tragisnya hanya tinggal sejarah. Sebagian besar Soweto, kawasan terkenal di Johannesburg tempat kekerasan era apartheid dilaporkan media asing, kini menjadi kawasan pemukiman pinggir kota yang damai: arsitektur mirip Florida dengan halaman rumput rapi, mobil asing yang ramping di garasi. (Memang, di pinggirannya masih ada kawasan kumuh.) Afrika Selatan memiliki kelas menengah kulit hitam yang terus berkembang, dan sejak 1994 pemerintah telah membangun hampir tiga juta rumah. Di Johannesburg, tepat di seberang kasino dan taman hiburan, wisatawan dapat mengunjungi Museum Apartheid yang mengesankan.!break!

Namun, jika kita amati secara saksama di semua masyarakat, kata-A(partheid) selalu membayang dalam berbagai bentuknya. Pada Mei 2008, lebih dari 60 orang tewas dan puluhan ribu mengungsi dalam kerusuhan anti-asing, yang terutama menargetkan orang Mozambik dan Zimbabwe. Apartheid menanamkan ketidakpercayaan yang mendalam pada pihak "lain" dan rasa kepemilikan sumber daya—yang didasari oleh jenis ras, bukan sumbangsih pada masyarakat—yang terbawa hingga masa kini.

Demikian dahsyatnya efek apartheid yang meluas dan sangat brutal itu. Hingga kemudian antara 1948 dan 1994, ketika sistem itu dilucuti, Afrikaans National Party menerapkan pemisahan ras yang ekstrem untuk hampir setiap aspek kehidupan. "Apartheid begitu berhasil memperkaya segelintir orang dengan menindas mayoritas—di samping penahanan demikian banyak orang, pengasingan, penghilangan, kematian tragis—sehingga berakhirnya sistem itu saja tidak cukup untuk memulai perbaikan," ujar Tshepo Madlingozi. Madlingozi adalah dosen hukum senior berusia 31 tahun di Universiteit van Pretoria, dan koordinator advokasi untuk Khulumani Support Group, organisasi yang beranggotakan 58.000 korban kekerasan politik, terutama selama era apartheid. "Kita bisa saja mengatakan, Semua orang kini setara; mari kita kembali ke hidup normal. Itu bisa saja dilakukan orang yang diuntungkan sistem—tetapi hal itu tidak akan menegakkan keadilan restoratif, dan tidak dapat meniadakan kebiasaan rasialisme, kebencian terbuka, atau perasaan rendah diri yang telah berlangsung selama beberapa generasi."

Sang TahananTak sampai sebulan setelah pemboman Worcester, seorang pemuda berusia 19 tahun bernama Daniel Stephanus "Stefaans" Coetzee, menelepon polisi dari tempat persembunyiannya di sebuah peternakan di tengah dataran tinggi Great Karoo—daerah semigersang yang jarang penduduknya di barat tengah negara itu—dan mengaku bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam kejahatan itu. Coetzee memanggil polisi dengan panggilan hormat: "Oom" yang berarti paman bagi orang Afrikaans. Dia mengatakan telah mendengar ada anak-anak yang tewas, dan karena itu dia tak punya pilihan selain menyerahkan diri. Pemuda itu memiliki sopan santun khas pedesaan, dan sikap berjaga-jaga khas pedesaan, seperti kucing.

Pada saat dia ditahan, dan selama beberapa tahun setelahnya, Coetzee adalah anggota hampir semua kelompok supremasi kulit putih sayap kanan ekstrem di Afrika Selatan, termasuk satu-dua organisasi yang begitu rahasia dan tak dikenal, sehingga anggotanya pun tampak tak mampu menjelaskan apa persisnya organisasi itu: Wit Wolwe, Israel Visie, Boere Aanvals Troepe. Dari penjara Coetzee terus berkomunikasi dengan anggota Ku Klux Klan di Amerika Serikat dan kelompok neo-Nazi di Jerman, untuk menyemangati perjuangan mereka. Jabatannya dalam struktur pseudo-militer kelompok-kelompok di negara itu pun naik. Dalam dunia supremasi kulit putih, Coetzee sangat dihormati. Namun, dalam urutan kekuasaan di Penjara Keamanan Maksimum Helderstroom di Provinsi Western Cape, dia berada di tempat terendah. "Saya 19 tahun dan berkulit putih. Semua orang ingin memerkosa saya," ujar Coetzee tentang tahun-tahun pertamanya di sel umum sesak yang berisi 60 hingga 120 orang. "Saya tidak mendapat tempat tidur bawah. Bahkan tidak bisa mendapatkan tempat tidur atas. Saya tidak mendapat ranjang sama sekali." Coetzee tidur di lantai.!break!

Ketika saya bertemu dengannya di Penjara Pusat Pretoria pada November 2009, tempat dia ditahan selama lebih dari satu dasawarsa, Coetzee baru saja menginjak usia 32. Setelah tidak merasakan matahari begitu lama, kulitnya kehilangan warna hingga tinggal abu-abu, dan meskipun dia masih terlihat muda, terlihat kerut halus di sekitar matanya yang biasanya hanya terlihat pada pria yang jauh lebih tua. Rambutnya hitam, halus dan dipotong sangat pendek. Sabuk kulit yang dipakainya mengikat seragam jingga penjaranya diketatkan hingga ke lubang terakhir. Tak mengejutkan mengetahui bahwa sebelum dipenjarakan dia mampu berlari jauh dan cepat dalam cuaca panas dengan hanya sedikit makan atau air. "Saya suka lari," ujarnya, seolah-olah katanya dapat membebaskan kakinya lagi. "Ja, saya bisa lari."

Kami duduk berhadapan dengan lutut bersentuhan, di ruangan kuning besar standar yang dirancang untuk kunjungan penjara. Cahaya redup yang melewati lima-enam jendela di dinding tidak menambah terang cahaya lampu pendar yang kehijauan. Saat itu menjelang siang dan hujan deras, yang turun sejak awal tadi malam. Akibatnya, hawa terasa dingin, dan kami berdua menggigil.

Coetzee bercerita bahwa dia lahir pada 1977 dari ibu tak perhatian dan ayah pemabuk. Ia tidak ingat apakah orangtuanya pernah hidup bersama. Pada mulanya dia tinggal bersama ayahnya di Orange Free State (sekarang Free State). Ketika ia berumur delapan-sembilan tahun, ayahnya meninggal. Setelah beberapa lama di panti asuhan, Coetzee dipindahkan untuk tinggal bersama ibunya di Upington di Northern Cape. Selama enam-tujuh tahun berikutnya, Coetzee terabaikan oleh berbagai pihak serta berpindah-pindah keluarga asuh dan rumah singgah, sampai pada usia 15-16 tahun dia mendapat bimbingan Johannes van der Westhuizen. Van der Westhuizen adalah pemimpin kultus supremasi kulit putih sayap ultra kanan, Israel Visie,  seorang vegetarian yang ketat, tidak minum obat, tidak minum alkohol, dan mempelajari Injil yang telah dirombak untuk memperkuat gagasan bahwa siapa pun yang tidak berkulit putih hanyalah binatang. Di mata Coetzee, van der Westhuizen menjadi sosok ayah.