Anak-anak Mandela

By , Senin, 31 Mei 2010 | 14:19 WIB

Saat saya bertemu dengannya di kantor fakultas hukumnya, Madlingozi mengenakan celana jins hitam, kemeja biru lengan panjang yang digulung lengannya, dan sepatu kets kulit. Percakapan kami ditemani adat secangkir teh yang umum di Afrika Selatan. "Rooibos atau normal?" tanya Madlingozi, menawarkan teh herbal asli Afrika Selatan atau teh hitam biasa. Lalu, dia meniup cangkirnya sambil menatap saya. "Kami memutuskan agar saya menemui Coetzee dan melihat apakah dia bersungguh-sungguh. Saya sangat gugup, sangat skeptis. Saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana."!break!

Suatu hari pada pertengahan April 2009, diatur pertemuan Madlingozi dan Coetzee di kantor pekerja sosial di Penjara Pusat Pretoria. "Saya menunggu seseorang yang dalam bayangan saya tampak sangat rasialis, bukan pria yang berjalan ke kantor ini. Saya melihat pemuda seusia saya. Agak tampan, sangat pemalu. Dia juga tampak terkejut. Dia menyangka akan melihat aktivis ANC tua yang radikal dan militan."

Madlingozi berjabat tangan dengan Coetzee dan memperkenalkan diri. Coetzee menjabat tangan Madlingozi dan mengucapkan terima kasih atas kedatangannya. Kedua orang itu duduk mengobrol selama beberapa jam. "Sebagian besar tentang diri kami," kata Madlingozi. "Apa yang dirindukannya di penjara? Bagaimana saya menjadi pengacara? Bagaimana dia menjadi tahanan? Apa yang kami harapkan bagi diri kami sendiri? Apa yang kami harapkan bagi negara kami?"

Madlingozi lebih muda beberapa bulan dari Coetzee. Dia lahir di kota Mangaung, kawasan yang dikhususkan bagi orang kulit hitam, terletak di luar Bloemfontein di bekas Orange Free State—secara geografi tidak jauh dari tempat Coetzee lahir, tetapi secara budaya bagai dunia yang lain. "Kota itu setengah terbengkalai dan sangat keras," katanya. Ayah Madlingozi adalah buruh migran di tambang emas. "Buruh migran adalah salah satu aspek yang paling merusak dalam sistem apartheid," kata Madlingozi. "Menghancurkan keluarga. Menghancurkan masyarakat. Ini cara pemerintah apartheid memperoleh modal, tetapi mengebiri orang yang tidak bisa berada di rumah karena memberi nafkah bagi keluarga. Para ayah itu tidak bisa menurunkan cerita rakyat, budaya, nilai-nilai. Untuk keluarga yang ditinggalkan, itu berarti sang ayah pulang setelah tiga bulan dan tidak tahu tempatnya dalam keluarga. Banyak pria menegaskan posisi melalui kekerasan."

Ayah Madlingozi meninggal karena serangan jantung ketika putranya 14 tahun. "Saya dan ibu saya baru saja pindah ke kota tambang agar berdekatan dengannya. Kami baru saja menjalin persahabatan lagi. Dia sangat gemar membaca novel, dan kami sering membaca bersama."?Madlingozi menamatkan sekolah di Welkom, kota tambang yang dibangun pada akhir 1940-an oleh Anglo American Corporation. Tambang di dalam dan di sekitar kota itu sangat dalam. Setiap pagi, air payau dipompa dari tambang ke dalam panci-panci di permukaan. Kawanan flamingo, angsa mesir, dan burung sekendi suci berkumpul di atas panci. Udara menusuk hidung dengan aroma garam dan kotoran burung.!break!

Madlingozi memajukan tubuh. "Menemui Stefaans telah menyulut kembali keyakinan saya tentang masa depan Afrika Selatan," katanya. "Pandangan dunia saya adalah kesadaran kulit hitam, dan itu tidak berubah setelah mengenal Stefaans. Tetapi, pertemuan itu membuat saya menyadari bahwa rasialis yang paling bersemangat sekalipun—bahkan pembunuh—dapat berubah dan menjadi rendah hati. Ya, kecerdasan Stefaans, kerendahan hatinya, pemahamannya yang tajam tentang konsekuensi tindakannya dan sistem apartheid, serta pemahamannya bahwa rekonsiliasi bukan hanya soal menunjukkan itikad, telah banyak mengilhami saya." Madlingozi kini menaruh kedua tangan di bawah dagu. "Saya bisa memahami jika ada orang yang mengkritik saya dengan tuduhan berkhianat. Kok bisa saya mengunjungi orang ini? Kok bisa saya berempati? Tetapi, yang penting bukan soal menang. Tidak boleh mementingkan menang. Jika kami hanya ingin menang, akan selalu ada yang kalah, dan apa bedanya itu dengan situasi yang dulu? Selama ini, yang penting adalah gambaran keseluruhan, maju bersama-sama."?Lalu, ia tertawa dan memandang saya, hampir menantang. "Mmm, situasi ini memang rumit, jelimet—kadang sangat pribadi dan selalu dalam nuansa abu-abu. Tetapi, begitulah kenyataannya. Begitulah situasi kami sekarang. Begitulah yang harus kami hadapi. "

Sang KorbanDari Worcester ke Pretoria perlu berkendara dua hari—16 jam, kurang-lebih. Marjorie Jobson telah mengatur agar Olga Macingwane dan tiga warga Zwelethemba lain menyewa mobil untuk menghadiri sidang pengadilan konstitusional pada 10 November 2009. Mereka berempat bersedia menemui Stefaans Coetzee sehari sebelum sidang, tetapi hanya dengan syarat bahwa kunjungan itu tidak berarti mereka memaafkannya. "Saya ke sana bukan untuk memaafkannya," kata Macingwane tegas. "Saya ke sana untuk menghadapi orang yang ada kepala saya. Saya ingin mendengar pembelaannya. Tapi tidak, saya di sana bukan untuk memaafkannya. "

Hidup menjadi sulit bagi Olga Macingwane setelah pemboman, dan tidak hanya karena semua alasan yang jelas. Kader ANC memanfaatkan pemakaman sebagai sikap politik, mengarak korban cacat akibat serangan itu di jalan-jalan dalam kursi roda, sambil melantunkan lagu-lagu yang populer selama perjuangan. Kemudian, pada 2003 suami Macingwane meninggal, dan tanpa dukungannya, ia tidak mampu lagi membesarkan ketiga anak mereka. Anak-anak itu harus tinggal bersama kerabat. Foto suami Macingwane yang dilaminating menampilkan jodoh yang tampak serasi untuk Olga. Dia berdiri di depan Datsun kuning 1970-an yang berkilap, mengenakan jas tiga potong, terkesan orang pendiam yang konservatif. Mobil kuning itu masih diparkir di luar rumah Macingwane, tak terpakai di bawah selimut tebal abu-abu.

Pada 9 November hawa panas sekali. Macingwane dan tiga warga Zwelethemba lain—termasuk Harris Sibeko, suami wakil wali kota saat serangan bom—masuk ke kantor pekerja sosial di Penjara Pusat Pretoria dan melihat Coetzee berdiri di sudut, memakai seragam jingga yang dicap dengan kata "tahanan." "Saya terkejut," kata Macingwane nanti. "Yang saya lihat adalah anak-anak. Bukan pria yang saya bayangkan bertahun-tahun, hanya anak-anak. Sedang apa anak ini di sini? Bagaimana ini bisa terjadi? Itulah apa tiba-tiba terlintas di benak saya."!break!

Macingwane meminta mereka memulai dengan doa. Dalam keheningan yang menyusul, ia berlutut—dengan susah payah, karena dua hari dalam mobil sewaan malah memperparah nyeri di kakinya—dan mulai berdoa dalam bahasa Xhosa. Dia memuji Tuhan untuk kemuliaan-Nya. Dia bersyukur kepada Tuhan karena telah mendatangkan Afrika Selatan sehari lagi. Dia meminta Tuhan memaafkan kesalahannya, sebagaimana ia memaafkan yang bersalah kepadanya. Dia meminta Tuhan memastikan kehendak-Nya yang akan terjadi di ruangan tersebut hari ini. Lalu, ia duduk. Sementara rekan-rekannya menyeka dahi dan mengipasi diri menahan panas, sementara Macingwane tetap tenang.

Pertemuan berlangsung menggunakan campuran bahasa Xhosa, Afrikaans, dan Inggris. Macingwane sebagian besar diam. "Dia harus menjelaskan perbuatannya sebelum saya bicara," katanya di awal.

Coetzee tidak berbicara tentang masa kecilnya. Dia berbicara tentang perencanaan untuk pemboman itu, bagaimana ia dipilih karena memiliki keterampilan militer yang baik, tahun-tahun yang dilewatkannya di penjara. Dia meminta pertanyaan dari mereka, dan para pengunjung menanggapi. Bagaimana dia belajar membenci orang kulit hitam? Bagaimana dia melupakan kebencian ini? Bagaimana dia melewatkan waktu sekarang? Apakah dia menyesal? Dan jika menyesal, apa yang bisa dia berikan kepada mereka? Coetzee mengakui bahwa dia tidak bisa memberikan apa-apa kepada dunia selain ikat pinggang kulit yang membelit seragamnya. Tetapi, katanya, jika Tuhan berkehendak, jika dia keluar dari penjara, dia dapat mulai mencoba mengganti rugi atas perbuatannya. "Sekarang ada anak-anak di Afrika Selatan," katanya, "anak-anak tanpa orangtua. Mereka mungkin tergoda masuk ke geng kekerasan, mengikuti kemarahan, bukan kasih." Dia berkata," Saya dapat menunjukkan kepada mereka bahwa hidup pertama yang harus diubah adalah hidup kita sendiri."