Anak-anak Mandela

By , Senin, 31 Mei 2010 | 14:19 WIB

Hari Perhitungan

Worcester adalah kota menawan yang melenakan, dengan jajaran menara putih gereja, yang berjarak satu setengah jam perjalanan di timur laut Cape Town. Pada musim dingin, puncak pegunungan di sekitarnya berselimut salju. Saat musim panas, udara lembap dan panas membuat lembah itu terasa seperti neraka dan mencairkan aspal. Jalannya lebar dan teratur. Rumah di sana runcing dan indah; halaman rumputnya tertata rapi; ada mawar yang diberi zat pengatur tumbuh dan tanaman merambat yang menggantung di anjang-anjang. Ini jenis kota yang membuat kita merasa kurang rapi.!break!

Pada pertengahan 1990-an, masih terlihat jelas garis pemisah geografi dan jiwa yang tertanam dalam oleh apartheid di tempat itu, tetapi tidak lebih parah daripada tempat lain di negara ini. Orang kulit hitam sebagian besar masih tinggal di kota Zwelethemba—kembaran Worcester yang kurang gizi di seberang Sungai Hex—sementara kulit putih masih tinggal di jalan kota itu yang diteduhi pohon pelindung atau di peternakan di kaki gunung. Namun, Worcester telah memilih wali kota kulit Berwarna (ras campuran) yang pertama dan wakil wali kota kulit hitam pertamanya. Selain itu, pada Juni 1996, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)—badan mirip pengadilan yang dibentuk setelah penghapusan apartheid—telah mengadakan sidang di kota ini. Korban dan pelaku penyiksaan dan penganiayaan selama apartheid maju dan bersaksi. Masa lalu yang penuh kekerasan tentunya sudah berakhir.

Tak heran semua orang terpukul ketika pada suatu sore, sehari sebelum Natal 1996, dua bom mengoyak pusat perbelanjaan tak jauh dari kantor polisi dan Gereja Reformasi Belanda. Ledakan itu menewaskan empat orang—tiga di antaranya anak-anak. Hampir 70 orang luka-luka. Semua korban adalah orang kulit hitam dan Berwarna. Bom pertama meledak sekitar pukul 1.20, menghantam Olga Macingwane sedemikian rupa sehingga kakinya langsung membengkak seukuran ban traktor. Beberapa menit kemudian, bom kedua meledak, dan dia terlontar pingsan.

"Selama 13 tahun saya tidak pernah melihat orang yang melakukan hal ini kepada saya," kata Macingwane, berbicara di ruang duduknya di Zwelethemba pada Minggu pagi yang sangat panas di akhir November 2009. Macingwane adalah seorang wanita bermartabat di usia senjanya. Dia memakai rok lurus semata kaki berwarna merah jambu, serta baju yang serasi. Di luar rumahnya, sedang ada misa di lapangan terbuka, dan Macingwane harus melantangkan suara agar terdengar. Dia berdiri dengan kaku—jelas dia kesakitan saat berjalan—dan menutup pintu ke halaman dan pada dunia. Toh suara nyanyian gereja tetap tak berkurang di dalam rumahnya. "Dalam benak saya," lanjutnya, sementara paduan suara dari sedikitnya tiga gereja beradu keras di udara yang sangat panas, "saya membayangkan sosoknya. Dalam benak saya, dia pria berusia 50 tahun, sangat besar, berjanggut panjang dan berwajah sangat keras. Itulah orang yang melakukan hal ini. Itulah orang yang saya lihat dalam mimpi buruk."

Titik BalikPemilihan Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010 melonjakkan kepercayaan diri warganya. Bangsa mereka kini dapat diingat sebagai penyelenggara sepak bola dunia, bukan lagi apartheid. Infrastruktur modern Afrika Selatan, bandara keren yang mengagumkan, restoran kosmopolitan—menjadi penampilan luar yang mendukung kesan bahwa sejarah tragisnya hanya tinggal sejarah. Sebagian besar Soweto, kawasan terkenal di Johannesburg tempat kekerasan era apartheid dilaporkan media asing, kini menjadi kawasan pemukiman pinggir kota yang damai: arsitektur mirip Florida dengan halaman rumput rapi, mobil asing yang ramping di garasi. (Memang, di pinggirannya masih ada kawasan kumuh.) Afrika Selatan memiliki kelas menengah kulit hitam yang terus berkembang, dan sejak 1994 pemerintah telah membangun hampir tiga juta rumah. Di Johannesburg, tepat di seberang kasino dan taman hiburan, wisatawan dapat mengunjungi Museum Apartheid yang mengesankan.!break!

Namun, jika kita amati secara saksama di semua masyarakat, kata-A(partheid) selalu membayang dalam berbagai bentuknya. Pada Mei 2008, lebih dari 60 orang tewas dan puluhan ribu mengungsi dalam kerusuhan anti-asing, yang terutama menargetkan orang Mozambik dan Zimbabwe. Apartheid menanamkan ketidakpercayaan yang mendalam pada pihak "lain" dan rasa kepemilikan sumber daya—yang didasari oleh jenis ras, bukan sumbangsih pada masyarakat—yang terbawa hingga masa kini.

Demikian dahsyatnya efek apartheid yang meluas dan sangat brutal itu. Hingga kemudian antara 1948 dan 1994, ketika sistem itu dilucuti, Afrikaans National Party menerapkan pemisahan ras yang ekstrem untuk hampir setiap aspek kehidupan. "Apartheid begitu berhasil memperkaya segelintir orang dengan menindas mayoritas—di samping penahanan demikian banyak orang, pengasingan, penghilangan, kematian tragis—sehingga berakhirnya sistem itu saja tidak cukup untuk memulai perbaikan," ujar Tshepo Madlingozi. Madlingozi adalah dosen hukum senior berusia 31 tahun di Universiteit van Pretoria, dan koordinator advokasi untuk Khulumani Support Group, organisasi yang beranggotakan 58.000 korban kekerasan politik, terutama selama era apartheid. "Kita bisa saja mengatakan, Semua orang kini setara; mari kita kembali ke hidup normal. Itu bisa saja dilakukan orang yang diuntungkan sistem—tetapi hal itu tidak akan menegakkan keadilan restoratif, dan tidak dapat meniadakan kebiasaan rasialisme, kebencian terbuka, atau perasaan rendah diri yang telah berlangsung selama beberapa generasi."

Sang TahananTak sampai sebulan setelah pemboman Worcester, seorang pemuda berusia 19 tahun bernama Daniel Stephanus "Stefaans" Coetzee, menelepon polisi dari tempat persembunyiannya di sebuah peternakan di tengah dataran tinggi Great Karoo—daerah semigersang yang jarang penduduknya di barat tengah negara itu—dan mengaku bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam kejahatan itu. Coetzee memanggil polisi dengan panggilan hormat: "Oom" yang berarti paman bagi orang Afrikaans. Dia mengatakan telah mendengar ada anak-anak yang tewas, dan karena itu dia tak punya pilihan selain menyerahkan diri. Pemuda itu memiliki sopan santun khas pedesaan, dan sikap berjaga-jaga khas pedesaan, seperti kucing.

Pada saat dia ditahan, dan selama beberapa tahun setelahnya, Coetzee adalah anggota hampir semua kelompok supremasi kulit putih sayap kanan ekstrem di Afrika Selatan, termasuk satu-dua organisasi yang begitu rahasia dan tak dikenal, sehingga anggotanya pun tampak tak mampu menjelaskan apa persisnya organisasi itu: Wit Wolwe, Israel Visie, Boere Aanvals Troepe. Dari penjara Coetzee terus berkomunikasi dengan anggota Ku Klux Klan di Amerika Serikat dan kelompok neo-Nazi di Jerman, untuk menyemangati perjuangan mereka. Jabatannya dalam struktur pseudo-militer kelompok-kelompok di negara itu pun naik. Dalam dunia supremasi kulit putih, Coetzee sangat dihormati. Namun, dalam urutan kekuasaan di Penjara Keamanan Maksimum Helderstroom di Provinsi Western Cape, dia berada di tempat terendah. "Saya 19 tahun dan berkulit putih. Semua orang ingin memerkosa saya," ujar Coetzee tentang tahun-tahun pertamanya di sel umum sesak yang berisi 60 hingga 120 orang. "Saya tidak mendapat tempat tidur bawah. Bahkan tidak bisa mendapatkan tempat tidur atas. Saya tidak mendapat ranjang sama sekali." Coetzee tidur di lantai.!break!

Ketika saya bertemu dengannya di Penjara Pusat Pretoria pada November 2009, tempat dia ditahan selama lebih dari satu dasawarsa, Coetzee baru saja menginjak usia 32. Setelah tidak merasakan matahari begitu lama, kulitnya kehilangan warna hingga tinggal abu-abu, dan meskipun dia masih terlihat muda, terlihat kerut halus di sekitar matanya yang biasanya hanya terlihat pada pria yang jauh lebih tua. Rambutnya hitam, halus dan dipotong sangat pendek. Sabuk kulit yang dipakainya mengikat seragam jingga penjaranya diketatkan hingga ke lubang terakhir. Tak mengejutkan mengetahui bahwa sebelum dipenjarakan dia mampu berlari jauh dan cepat dalam cuaca panas dengan hanya sedikit makan atau air. "Saya suka lari," ujarnya, seolah-olah katanya dapat membebaskan kakinya lagi. "Ja, saya bisa lari."

Kami duduk berhadapan dengan lutut bersentuhan, di ruangan kuning besar standar yang dirancang untuk kunjungan penjara. Cahaya redup yang melewati lima-enam jendela di dinding tidak menambah terang cahaya lampu pendar yang kehijauan. Saat itu menjelang siang dan hujan deras, yang turun sejak awal tadi malam. Akibatnya, hawa terasa dingin, dan kami berdua menggigil.

Coetzee bercerita bahwa dia lahir pada 1977 dari ibu tak perhatian dan ayah pemabuk. Ia tidak ingat apakah orangtuanya pernah hidup bersama. Pada mulanya dia tinggal bersama ayahnya di Orange Free State (sekarang Free State). Ketika ia berumur delapan-sembilan tahun, ayahnya meninggal. Setelah beberapa lama di panti asuhan, Coetzee dipindahkan untuk tinggal bersama ibunya di Upington di Northern Cape. Selama enam-tujuh tahun berikutnya, Coetzee terabaikan oleh berbagai pihak serta berpindah-pindah keluarga asuh dan rumah singgah, sampai pada usia 15-16 tahun dia mendapat bimbingan Johannes van der Westhuizen. Van der Westhuizen adalah pemimpin kultus supremasi kulit putih sayap ultra kanan, Israel Visie,  seorang vegetarian yang ketat, tidak minum obat, tidak minum alkohol, dan mempelajari Injil yang telah dirombak untuk memperkuat gagasan bahwa siapa pun yang tidak berkulit putih hanyalah binatang. Di mata Coetzee, van der Westhuizen menjadi sosok ayah.

Jika kita berjalan kurang-lebih 500 kilometer ke timur laut Cape Town, hingga sejauh mungkin hingga kita sampai ke tempat yang belum pernah tersentuh manusia, kemungkinan besar kita berada di dataran tinggi Great Karoo. Pada awal 1800-an, inilah tempat bersembunyi penjahat, pencuri ternak, dan penyelundup senjata, di dataran yang luas di bawah Pegunungan Nuweveld. Sekarang pun hanya sedikit orang yang tangguh atau cukup gila untuk bercocok tanam di ladang batu yang beraroma lada ini, sehingga dianggap tempat yang sesuai untuk pengamat bintang—dan bagi mereka yang ingin melarikan diri dari dunia modern. Letaknya yang terpencil menarik van der Westhuizen, pria yang tidak mau menerima kenyataan pasca-transisi di Afrika Selatan, dan di tempat persembunyian di ladang sewaan inilah pemboman itu direncanakan.!break!

"Ketika pertama kali di penjara, saya meminta Alkitab," kata Coetzee menjelaskan bagaimana dia mulai melucuti kebencian yang menjebloskannya ke sel penuh sesak di penjara dengan pengamanan maksimum itu. "Tapi Alkitab yang diberikan tidak sama dengan yang saya pelajari ketika bersama van der Westhuizen. Saya menyadari bahwa Alkitab yang saya baca selama ini telah disalahtafsirkan. Itu yang pertama." Kemudian Coetzee dipindahkan ke Penjara Pusat Pretoria, tempat dia mempelajari manajemen kemarahan dan keadilan restoratif. Dia menyurati pihak berwenang di penjara, menanyakan apakah dia boleh meminta maaf kepada orang dan keluarga yang disakitinya. (Pihak berwenang tidak menyarankan tindakan itu.) Meskipun dia menyesali perbuatannya, saat itu Coetzee masih rasialis.

Pada awal 2002, lima tahun setelah penangkapannya, ia ditugaskan bekerja bersama tahanan yang lebih tua, Eugene de Kock. Sekarang, di usia awal 60-an, De Kock. menjalani dua hukuman seumur hidup plus 212 tahun atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya saat menjadi kolonel yang mengepalai unit keamanan rahasia terkenal di Kepolisian Afrika Selatan. (Anak buahnya menjulukinya "penjahat utama", julukan yang juga dipakai oleh media massa). Setiap beberapa jam sekali, mereka berdua mengepel lantai bersama. "Eugene selalu berkata kepada saya, 'Begini Stefaans, kamu harus berhenti meyakini bahwa kamu lebih unggul hanya karena warna kulitmu,'" ujar Coetzee. "Dia berkata, 'Percayalah, saya memahami hal itu dengan cara yang berat.' Saya katakan, 'Berhentilah menggangguku.' Tapi dia tak pernah berhenti mengatakannya. Dia berkata bahwa sampai saya berhenti menjadi rasialis, saya berada di dalam dua penjara—satu mengurung tubuh saya, dan satu lagi mengungkung hati saya."

Sebuah PercakapanMemang benar bahwa jika setiap anak dari rumah bermasalah di Afrika Selatan tumbuh dan melakukan tindakan brutal, tidak akan tersisa apa pun dan seorang pun di negeri ini. Saat ini pun, setiap hari terjadi 50 pembunuhan, dan ada 140 kasus pemerkosaan yang dilaporkan, sementara jumlah yang sebenarnya diyakini ratusan. "Ya, kebiasaan kekerasan sangat tertanam dalam budaya ini," kata Marjorie Jobson, direktur nasional Khulumani Support Group. "Anda harus ingat, anak-anak yang tumbuh dalam suasana apartheid—dengan semua didikan era itu—anak-anak itu sekarang telah  dewasa."

Saya menumpang mobil Jobson—dokter berusia 50-an yang berwatak lembut—dari Johannesburg, dan kami melewati pinggiran Pretoria pada suatu sore musim panas yang nyaman pada akhir 2009. Dari sini, ibu kota administratif Afrika Selatan ini semarak dengan bunga yang mekar—50.000 batang pohon jacaranda memberikan suasana glamor yang agak berlebihan, sementara di tepi jalan terhampar kembang agapanthus. Iklan Piala Dunia ada di mana-mana; sebuah jalur kereta api berkecepatan tinggi sedang dibangun sejajar dengan jalan.!break!

"Semua orang sudah kelelahan pada 1994. Menurutku mereka hanya ingin apartheid lenyap, dan pemerintah memperbaiki segalanya. Tapi itu tidak terjadi," ujar Jobson. "Setiap warga Afrika Selatan perlu berpartisipasi aktif dalam pemulihan kembali. Anda tahu, kekuatan satu orang. Setiap orang dapat berkontribusi untuk melanggengkan masa lalu kami yang kejam, atau dapat pula memberikan kontribusi untuk masyarakat yang adil dan damai." Dengan cara ini percakapan kami kembali beralih ke Coetzee. Suatu hari pada 2004, Jobson menerima telepon dari Eugene de Kock. Selama bertahun-tahun de Kock berusaha membantu Khulumani menemukan orang yang menghilang selama perjuangan, menjelaskan secara detail cara mereka menghilang, terutama karena dialah yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa mereka. De Kock memberi tahu Jobson bahwa selama beberapa tahun ini dia berteman dengan seorang pemuda bernama Stefaans Coetzee. "Stefaans ingin bertemu dengan korbannya dan meminta maaf atas perbuatannya," katanya. Jobson tidak menolak membantunya. Satu-satunya masalah adalah Coetzee tidak tahu siapa korbannya. Dia tidak tahu nama mereka dan—selain bahwa tiga korban yang tewas adalah anak-anak—tidak tahu ciri-ciri pengenal lainnya.

Kedua PresidenPada tahun 2005 Thabo Mbeki, dalam masa bakti keduanya sebagai presiden Afrika Selatan, memecat Jacob Zuma, wakil presiden. Zuma terlibat dalam skandal korupsi yang melibatkan kontrak senjata senilai empat puluh lima triliun. (Dakwaan ini dibatalkan pada April 2009.) Mbeki mungkin mengira penyingkiran wakilnya yang populer ini dapat dilakukan dengan aman. Tetapi, ini menjadi akhir karier politiknya, menyebabkan perpecahan mendalam dalam partai yang berkuasa, African National Congress, atau ANC. Pada akhir tahun itu pendukung Zuma membakar kaus dengan wajah Mbeki.

Zuma dan Mbeki, meskipun keduanya aktivis lama ANC, sangat bertolak belakang. Mbeki berasal dari suku Xhosa dari Eastern Cape, berpendidikan tinggi dan tidak mudah emosi. Zuma berasal dari suku Zulu dari KwaZulu-Natal tanpa pendidikan formal. Dia dipenjara sepuluh tahun di Pulau Robben karena menentang apartheid. Dia pria karismatis yang mementingkan tindakan, memiliki tiga istri, dan satu tuduhan perkosaan. (Dia dinyatakan tak bersalah pada 2006.)

Pada 2007, Mbeki mengumumkan kepada kedua majelis parlemen bahwa dia telah menyetujui dispensasi khusus untuk peminta grasi atas kejahatan bermotif politik yang terjadi antara 1994 dan 1999. Menurut penjelasan resminya, Mbeki ingin menyelesaikan urusan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Secara tidak resmi, langkah ini dipandang sebagian orang sebagai upaya untuk menggalang dukungan yang diperlukan oleh presiden yang melemah itu. Tahun berikutnya, perwakilan dari 15 partai politik resmi merekomendasikan 120 tahanan untuk menerima grasi presiden.!break!

"Ini upaya islah politik," kata Tshepo Madlingozi dari Universiteit van Pretoria. Tetapi, proses itu mengabaikan sesuatu yang menjadi inti moral, emosional, dan politik KKR—karena pendapat korban tidak akan dipertimbangkan sebelum para tahanan itu diberi grasi. Bagi kelompok hak asasi manusia, dispensasi khusus ini tidak ditujukan untuk rekonsiliasi; ini hanyalah langkah politik yang bertujuan menutup sejarah lama, dan menempuh hidup baru. Delapan organisasi, termasuk Khulumani Support Group, mengajukan gugatan, yang pada akhirnya mencapai Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, pengadilan tertinggi di negeri itu, pada 10 Nopember 2009. Pada saat itu Mbeki telah mengundurkan diri, dan Zuma—JZ nama populernya—menjabat sebagai presiden.

PerantaraDalam daftar tahanan politik yang diidentifikasi bisa mendapat grasi, ada satu nama yang menarik perhatian Marjorie Jobson: pria yang diceritakan Eugene de Kock dari penjara, Stefaans Coetzee. Sementara itu, Khulumani telah menghubungi para korban, termasuk Olga Macingwane, korban dari orang-orang dalam daftar itu.

Sekilas pandang di rumah sederhana Jobson yang terletak di Grahamstown di Eastern Cape, tampak buku di mana-mana, bertimbun di mebel di ruang duduk, menumpuk di lantai, di meja makan. "Di satu sisi, kelompok Khulumani merupakan bagian gugatan hukum untuk menjamin bahwa hak korban turut diperhitungkan dalam proses grasi," kata Jobson sambil menyingkirkan buku dari meja dapur supaya kami dapat makan siang. "Di sisi lain, saya semakin sering ditelepon pekerja sosial dan pendeta Stefaans, meminta saya mempertemukannya dengan korban-korbannya. Dapat diduga, para korban pemboman Worcester merasa ragu. Mereka bertanya-tanya. Mengapa dia ingin bertemu dengan kami sekarang? Apa manfaatnya bagi kami? Apakah dia sekarang merasa bersalah? Apakah dia benar-benar menyesalinya?" Jobson meletakkan semangkuk sup ayam di depan saya. Saking bersemangatnya, dia tidak makan sama sekali. "Saya tertarik pada keadilan," lanjutnya, "tapi saya paling tertarik pada proses rekonsiliasi, karena masih merupakan teka teki." Akhirnya, Jobson meminta bantuan seorang rekan tepercaya: Tshepo Madlingozi.

Saat saya bertemu dengannya di kantor fakultas hukumnya, Madlingozi mengenakan celana jins hitam, kemeja biru lengan panjang yang digulung lengannya, dan sepatu kets kulit. Percakapan kami ditemani adat secangkir teh yang umum di Afrika Selatan. "Rooibos atau normal?" tanya Madlingozi, menawarkan teh herbal asli Afrika Selatan atau teh hitam biasa. Lalu, dia meniup cangkirnya sambil menatap saya. "Kami memutuskan agar saya menemui Coetzee dan melihat apakah dia bersungguh-sungguh. Saya sangat gugup, sangat skeptis. Saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana."!break!

Suatu hari pada pertengahan April 2009, diatur pertemuan Madlingozi dan Coetzee di kantor pekerja sosial di Penjara Pusat Pretoria. "Saya menunggu seseorang yang dalam bayangan saya tampak sangat rasialis, bukan pria yang berjalan ke kantor ini. Saya melihat pemuda seusia saya. Agak tampan, sangat pemalu. Dia juga tampak terkejut. Dia menyangka akan melihat aktivis ANC tua yang radikal dan militan."

Madlingozi berjabat tangan dengan Coetzee dan memperkenalkan diri. Coetzee menjabat tangan Madlingozi dan mengucapkan terima kasih atas kedatangannya. Kedua orang itu duduk mengobrol selama beberapa jam. "Sebagian besar tentang diri kami," kata Madlingozi. "Apa yang dirindukannya di penjara? Bagaimana saya menjadi pengacara? Bagaimana dia menjadi tahanan? Apa yang kami harapkan bagi diri kami sendiri? Apa yang kami harapkan bagi negara kami?"

Madlingozi lebih muda beberapa bulan dari Coetzee. Dia lahir di kota Mangaung, kawasan yang dikhususkan bagi orang kulit hitam, terletak di luar Bloemfontein di bekas Orange Free State—secara geografi tidak jauh dari tempat Coetzee lahir, tetapi secara budaya bagai dunia yang lain. "Kota itu setengah terbengkalai dan sangat keras," katanya. Ayah Madlingozi adalah buruh migran di tambang emas. "Buruh migran adalah salah satu aspek yang paling merusak dalam sistem apartheid," kata Madlingozi. "Menghancurkan keluarga. Menghancurkan masyarakat. Ini cara pemerintah apartheid memperoleh modal, tetapi mengebiri orang yang tidak bisa berada di rumah karena memberi nafkah bagi keluarga. Para ayah itu tidak bisa menurunkan cerita rakyat, budaya, nilai-nilai. Untuk keluarga yang ditinggalkan, itu berarti sang ayah pulang setelah tiga bulan dan tidak tahu tempatnya dalam keluarga. Banyak pria menegaskan posisi melalui kekerasan."

Ayah Madlingozi meninggal karena serangan jantung ketika putranya 14 tahun. "Saya dan ibu saya baru saja pindah ke kota tambang agar berdekatan dengannya. Kami baru saja menjalin persahabatan lagi. Dia sangat gemar membaca novel, dan kami sering membaca bersama."?Madlingozi menamatkan sekolah di Welkom, kota tambang yang dibangun pada akhir 1940-an oleh Anglo American Corporation. Tambang di dalam dan di sekitar kota itu sangat dalam. Setiap pagi, air payau dipompa dari tambang ke dalam panci-panci di permukaan. Kawanan flamingo, angsa mesir, dan burung sekendi suci berkumpul di atas panci. Udara menusuk hidung dengan aroma garam dan kotoran burung.!break!

Madlingozi memajukan tubuh. "Menemui Stefaans telah menyulut kembali keyakinan saya tentang masa depan Afrika Selatan," katanya. "Pandangan dunia saya adalah kesadaran kulit hitam, dan itu tidak berubah setelah mengenal Stefaans. Tetapi, pertemuan itu membuat saya menyadari bahwa rasialis yang paling bersemangat sekalipun—bahkan pembunuh—dapat berubah dan menjadi rendah hati. Ya, kecerdasan Stefaans, kerendahan hatinya, pemahamannya yang tajam tentang konsekuensi tindakannya dan sistem apartheid, serta pemahamannya bahwa rekonsiliasi bukan hanya soal menunjukkan itikad, telah banyak mengilhami saya." Madlingozi kini menaruh kedua tangan di bawah dagu. "Saya bisa memahami jika ada orang yang mengkritik saya dengan tuduhan berkhianat. Kok bisa saya mengunjungi orang ini? Kok bisa saya berempati? Tetapi, yang penting bukan soal menang. Tidak boleh mementingkan menang. Jika kami hanya ingin menang, akan selalu ada yang kalah, dan apa bedanya itu dengan situasi yang dulu? Selama ini, yang penting adalah gambaran keseluruhan, maju bersama-sama."?Lalu, ia tertawa dan memandang saya, hampir menantang. "Mmm, situasi ini memang rumit, jelimet—kadang sangat pribadi dan selalu dalam nuansa abu-abu. Tetapi, begitulah kenyataannya. Begitulah situasi kami sekarang. Begitulah yang harus kami hadapi. "

Sang KorbanDari Worcester ke Pretoria perlu berkendara dua hari—16 jam, kurang-lebih. Marjorie Jobson telah mengatur agar Olga Macingwane dan tiga warga Zwelethemba lain menyewa mobil untuk menghadiri sidang pengadilan konstitusional pada 10 November 2009. Mereka berempat bersedia menemui Stefaans Coetzee sehari sebelum sidang, tetapi hanya dengan syarat bahwa kunjungan itu tidak berarti mereka memaafkannya. "Saya ke sana bukan untuk memaafkannya," kata Macingwane tegas. "Saya ke sana untuk menghadapi orang yang ada kepala saya. Saya ingin mendengar pembelaannya. Tapi tidak, saya di sana bukan untuk memaafkannya. "

Hidup menjadi sulit bagi Olga Macingwane setelah pemboman, dan tidak hanya karena semua alasan yang jelas. Kader ANC memanfaatkan pemakaman sebagai sikap politik, mengarak korban cacat akibat serangan itu di jalan-jalan dalam kursi roda, sambil melantunkan lagu-lagu yang populer selama perjuangan. Kemudian, pada 2003 suami Macingwane meninggal, dan tanpa dukungannya, ia tidak mampu lagi membesarkan ketiga anak mereka. Anak-anak itu harus tinggal bersama kerabat. Foto suami Macingwane yang dilaminating menampilkan jodoh yang tampak serasi untuk Olga. Dia berdiri di depan Datsun kuning 1970-an yang berkilap, mengenakan jas tiga potong, terkesan orang pendiam yang konservatif. Mobil kuning itu masih diparkir di luar rumah Macingwane, tak terpakai di bawah selimut tebal abu-abu.

Pada 9 November hawa panas sekali. Macingwane dan tiga warga Zwelethemba lain—termasuk Harris Sibeko, suami wakil wali kota saat serangan bom—masuk ke kantor pekerja sosial di Penjara Pusat Pretoria dan melihat Coetzee berdiri di sudut, memakai seragam jingga yang dicap dengan kata "tahanan." "Saya terkejut," kata Macingwane nanti. "Yang saya lihat adalah anak-anak. Bukan pria yang saya bayangkan bertahun-tahun, hanya anak-anak. Sedang apa anak ini di sini? Bagaimana ini bisa terjadi? Itulah apa tiba-tiba terlintas di benak saya."!break!

Macingwane meminta mereka memulai dengan doa. Dalam keheningan yang menyusul, ia berlutut—dengan susah payah, karena dua hari dalam mobil sewaan malah memperparah nyeri di kakinya—dan mulai berdoa dalam bahasa Xhosa. Dia memuji Tuhan untuk kemuliaan-Nya. Dia bersyukur kepada Tuhan karena telah mendatangkan Afrika Selatan sehari lagi. Dia meminta Tuhan memaafkan kesalahannya, sebagaimana ia memaafkan yang bersalah kepadanya. Dia meminta Tuhan memastikan kehendak-Nya yang akan terjadi di ruangan tersebut hari ini. Lalu, ia duduk. Sementara rekan-rekannya menyeka dahi dan mengipasi diri menahan panas, sementara Macingwane tetap tenang.

Pertemuan berlangsung menggunakan campuran bahasa Xhosa, Afrikaans, dan Inggris. Macingwane sebagian besar diam. "Dia harus menjelaskan perbuatannya sebelum saya bicara," katanya di awal.

Coetzee tidak berbicara tentang masa kecilnya. Dia berbicara tentang perencanaan untuk pemboman itu, bagaimana ia dipilih karena memiliki keterampilan militer yang baik, tahun-tahun yang dilewatkannya di penjara. Dia meminta pertanyaan dari mereka, dan para pengunjung menanggapi. Bagaimana dia belajar membenci orang kulit hitam? Bagaimana dia melupakan kebencian ini? Bagaimana dia melewatkan waktu sekarang? Apakah dia menyesal? Dan jika menyesal, apa yang bisa dia berikan kepada mereka? Coetzee mengakui bahwa dia tidak bisa memberikan apa-apa kepada dunia selain ikat pinggang kulit yang membelit seragamnya. Tetapi, katanya, jika Tuhan berkehendak, jika dia keluar dari penjara, dia dapat mulai mencoba mengganti rugi atas perbuatannya. "Sekarang ada anak-anak di Afrika Selatan," katanya, "anak-anak tanpa orangtua. Mereka mungkin tergoda masuk ke geng kekerasan, mengikuti kemarahan, bukan kasih." Dia berkata," Saya dapat menunjukkan kepada mereka bahwa hidup pertama yang harus diubah adalah hidup kita sendiri."

Ketika ditanya tentang mimpinya untuk masa depan, Coetzee berkata dia ingin menikah. Dia berkata, dia harus memberi tahu anak-istrinya nanti bahwa ia pembunuh.!break!

Saat itulah Harris Sibeko menyela. "Dengar, sobat, kau harus menunggu sampai seorang anak sudah cukup besar untuk memahami hal yang kauberitahukan. Kalau tidak, anak itu akan membencimu."  Sibeko menoleh kepada kelompoknya dan bertanya, "Apakah kalian merasa kita bisa menyebut pemuda ini pembunuh?  Apa kira-kira sebutan yang lebih cocok untuknya?" Lalu, Sibeko menjawab pertanyaannya sendiri.  "Menurut saya, Anda lebih tepat disebut operasi militer.  Ya, itu lebih cocok."

Yang lain sepakat dengan Sibeko. Lalu, Sibeko bertanya kepada Coetzee apakah dia mendapat pengunjung di penjara. Coetzee menjawab, salah satu mantan tahanan kadang datang. Sibeko terkejut. "Tak ada keluargamu yang berkunjung?" Sibeko menjawab, "Tidak."

Wawancara itu berlangsung selama dua jam. Akhirnya, Olga Macingwane berdiri. Tidak seperti biasanya, dia harus melawan emosi. Ujarnya, "Stefaans, saat memandangmu, saya melihat putra saudara saya dalam dirimu, dan saya tak bisa membencimu." Dia mengulurkan tangan. "Kemarilah, Nak," katanya dalam bahasa Xhosa. Coetzee masuk ke pelukannya. "Saya memaafkanmu," kata Macingwane lembut. " Saya sudah mendengar ucapanmu, dan saya memaafkanmu."

HukumPada hari itu Daniel Stephanus Coetzee menjadi satu-satunya di antara 120 tahanan politik, yang memenuhi syarat mendapat grasi presiden, yang bertemu dengan korbannya. Keesokan harinya, 10 November, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, dengan empat hakim baru yang diangkat oleh Presiden Zuma, bersidang. Agenda pertama adalah mendengar argumen tentang apakah presiden sebaiknya diperbolehkan memberi grasi kepada tahanan politik tanpa diadakan dengar pendapat bagi korbannya. Pengacara Zuma berargumen mendukung kuasa grasi tanpa batas. Pengacara yang mewakili salah seorang tahanan juga berargumen mendukung kuasa seperti itu. Tetapi, pengacara untuk kelompok hak asasi manusia mendesak bahwa penjahat politik tidak boleh diberi grasi sebelum korban dari kejahatannya didengar. (Pada 23 Februari 2010, mahkamah konstitusi memutuskan mendukung pihak korban.)!break!

Dalam sidang itu hadir tiga puluhan korban kejahatan politik yang melibatkan sejumlah pelaku. Beberapa korban mengenakan kaus yang bertulisan, "Tak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran, perbaikan, dan ganti rugi."?Di antara mereka ada Olga Macingwane.

"Saya memaafkan dia, tapi tidak berarti saya mengampuni dia," kata Macingwane kepada saya sesudahnya. "Kami sekarang negara hukum. Kami negara yang menghormati suara dari semua warga. Hukum negara sayalah yang harus memutuskan apakah Stefaans diampuni. "

Sudah terlalu lama pemisahan dan kecurigaan dimandatkan oleh hukum Afrika Selatan. Sekarang undang-undang dasar negara menjunjung martabat dan kesetaraan semua orang, tetapi kekuasaannya hanya berlaku jika rakyatnya bersedia menegakkannya. Pada 23 Januari 2010—sebagaimana yang sudah lama dibayangkan oleh pendeta Deon Snyman—wakil dari kota Worcester dan kota Zwelethemba berkumpul di Gereja Reformasi Belanda di Worcester. Di taman luas yang rindang di seberang jalan terletak monumen kecil bagi empat orang yang tewas dalam pemboman 1996. Sidang dimulai dengan doa. Lalu, Macingwane dan Sibeko berbicara tentang perjalanan ke Pretoria, pertemuan dengan Coetzee, pemberian maaf mereka kepadanya. Pemulihan dibahas—di antaranya tentang karang taruna dan pusat lowongan kerja. Kelompok sepakat untuk mengundang Coetzee ke kebaktian gereja di Worcester jika diizinkan pihak berwenang penjara. Tanggal pertemuan selanjutnya ditetapkan. Olga Macingwane dipilih sebagai anggota panitia pengarah, yang mengawasi proses restitusi pada bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang.

"Ketika saya memaafkan Stefaans," kata Macingwane, "label 'korban' itu tidak lagi memiliki kekuasaan atas diri saya. Secara fisik, tentu saja nyeri itu akan selalu ada. Secara mental, saya akhirnya menemukan kedamaian. Saya bukan lagi Olga si korban. Sekarang saya Olga. Saya Ny. Olga Macingwane."