Anak-anak Mandela

By , Senin, 31 Mei 2010 | 14:19 WIB

Jika kita berjalan kurang-lebih 500 kilometer ke timur laut Cape Town, hingga sejauh mungkin hingga kita sampai ke tempat yang belum pernah tersentuh manusia, kemungkinan besar kita berada di dataran tinggi Great Karoo. Pada awal 1800-an, inilah tempat bersembunyi penjahat, pencuri ternak, dan penyelundup senjata, di dataran yang luas di bawah Pegunungan Nuweveld. Sekarang pun hanya sedikit orang yang tangguh atau cukup gila untuk bercocok tanam di ladang batu yang beraroma lada ini, sehingga dianggap tempat yang sesuai untuk pengamat bintang—dan bagi mereka yang ingin melarikan diri dari dunia modern. Letaknya yang terpencil menarik van der Westhuizen, pria yang tidak mau menerima kenyataan pasca-transisi di Afrika Selatan, dan di tempat persembunyian di ladang sewaan inilah pemboman itu direncanakan.!break!

"Ketika pertama kali di penjara, saya meminta Alkitab," kata Coetzee menjelaskan bagaimana dia mulai melucuti kebencian yang menjebloskannya ke sel penuh sesak di penjara dengan pengamanan maksimum itu. "Tapi Alkitab yang diberikan tidak sama dengan yang saya pelajari ketika bersama van der Westhuizen. Saya menyadari bahwa Alkitab yang saya baca selama ini telah disalahtafsirkan. Itu yang pertama." Kemudian Coetzee dipindahkan ke Penjara Pusat Pretoria, tempat dia mempelajari manajemen kemarahan dan keadilan restoratif. Dia menyurati pihak berwenang di penjara, menanyakan apakah dia boleh meminta maaf kepada orang dan keluarga yang disakitinya. (Pihak berwenang tidak menyarankan tindakan itu.) Meskipun dia menyesali perbuatannya, saat itu Coetzee masih rasialis.

Pada awal 2002, lima tahun setelah penangkapannya, ia ditugaskan bekerja bersama tahanan yang lebih tua, Eugene de Kock. Sekarang, di usia awal 60-an, De Kock. menjalani dua hukuman seumur hidup plus 212 tahun atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya saat menjadi kolonel yang mengepalai unit keamanan rahasia terkenal di Kepolisian Afrika Selatan. (Anak buahnya menjulukinya "penjahat utama", julukan yang juga dipakai oleh media massa). Setiap beberapa jam sekali, mereka berdua mengepel lantai bersama. "Eugene selalu berkata kepada saya, 'Begini Stefaans, kamu harus berhenti meyakini bahwa kamu lebih unggul hanya karena warna kulitmu,'" ujar Coetzee. "Dia berkata, 'Percayalah, saya memahami hal itu dengan cara yang berat.' Saya katakan, 'Berhentilah menggangguku.' Tapi dia tak pernah berhenti mengatakannya. Dia berkata bahwa sampai saya berhenti menjadi rasialis, saya berada di dalam dua penjara—satu mengurung tubuh saya, dan satu lagi mengungkung hati saya."

Sebuah PercakapanMemang benar bahwa jika setiap anak dari rumah bermasalah di Afrika Selatan tumbuh dan melakukan tindakan brutal, tidak akan tersisa apa pun dan seorang pun di negeri ini. Saat ini pun, setiap hari terjadi 50 pembunuhan, dan ada 140 kasus pemerkosaan yang dilaporkan, sementara jumlah yang sebenarnya diyakini ratusan. "Ya, kebiasaan kekerasan sangat tertanam dalam budaya ini," kata Marjorie Jobson, direktur nasional Khulumani Support Group. "Anda harus ingat, anak-anak yang tumbuh dalam suasana apartheid—dengan semua didikan era itu—anak-anak itu sekarang telah  dewasa."

Saya menumpang mobil Jobson—dokter berusia 50-an yang berwatak lembut—dari Johannesburg, dan kami melewati pinggiran Pretoria pada suatu sore musim panas yang nyaman pada akhir 2009. Dari sini, ibu kota administratif Afrika Selatan ini semarak dengan bunga yang mekar—50.000 batang pohon jacaranda memberikan suasana glamor yang agak berlebihan, sementara di tepi jalan terhampar kembang agapanthus. Iklan Piala Dunia ada di mana-mana; sebuah jalur kereta api berkecepatan tinggi sedang dibangun sejajar dengan jalan.!break!

"Semua orang sudah kelelahan pada 1994. Menurutku mereka hanya ingin apartheid lenyap, dan pemerintah memperbaiki segalanya. Tapi itu tidak terjadi," ujar Jobson. "Setiap warga Afrika Selatan perlu berpartisipasi aktif dalam pemulihan kembali. Anda tahu, kekuatan satu orang. Setiap orang dapat berkontribusi untuk melanggengkan masa lalu kami yang kejam, atau dapat pula memberikan kontribusi untuk masyarakat yang adil dan damai." Dengan cara ini percakapan kami kembali beralih ke Coetzee. Suatu hari pada 2004, Jobson menerima telepon dari Eugene de Kock. Selama bertahun-tahun de Kock berusaha membantu Khulumani menemukan orang yang menghilang selama perjuangan, menjelaskan secara detail cara mereka menghilang, terutama karena dialah yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa mereka. De Kock memberi tahu Jobson bahwa selama beberapa tahun ini dia berteman dengan seorang pemuda bernama Stefaans Coetzee. "Stefaans ingin bertemu dengan korbannya dan meminta maaf atas perbuatannya," katanya. Jobson tidak menolak membantunya. Satu-satunya masalah adalah Coetzee tidak tahu siapa korbannya. Dia tidak tahu nama mereka dan—selain bahwa tiga korban yang tewas adalah anak-anak—tidak tahu ciri-ciri pengenal lainnya.

Kedua PresidenPada tahun 2005 Thabo Mbeki, dalam masa bakti keduanya sebagai presiden Afrika Selatan, memecat Jacob Zuma, wakil presiden. Zuma terlibat dalam skandal korupsi yang melibatkan kontrak senjata senilai empat puluh lima triliun. (Dakwaan ini dibatalkan pada April 2009.) Mbeki mungkin mengira penyingkiran wakilnya yang populer ini dapat dilakukan dengan aman. Tetapi, ini menjadi akhir karier politiknya, menyebabkan perpecahan mendalam dalam partai yang berkuasa, African National Congress, atau ANC. Pada akhir tahun itu pendukung Zuma membakar kaus dengan wajah Mbeki.

Zuma dan Mbeki, meskipun keduanya aktivis lama ANC, sangat bertolak belakang. Mbeki berasal dari suku Xhosa dari Eastern Cape, berpendidikan tinggi dan tidak mudah emosi. Zuma berasal dari suku Zulu dari KwaZulu-Natal tanpa pendidikan formal. Dia dipenjara sepuluh tahun di Pulau Robben karena menentang apartheid. Dia pria karismatis yang mementingkan tindakan, memiliki tiga istri, dan satu tuduhan perkosaan. (Dia dinyatakan tak bersalah pada 2006.)

Pada 2007, Mbeki mengumumkan kepada kedua majelis parlemen bahwa dia telah menyetujui dispensasi khusus untuk peminta grasi atas kejahatan bermotif politik yang terjadi antara 1994 dan 1999. Menurut penjelasan resminya, Mbeki ingin menyelesaikan urusan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Secara tidak resmi, langkah ini dipandang sebagian orang sebagai upaya untuk menggalang dukungan yang diperlukan oleh presiden yang melemah itu. Tahun berikutnya, perwakilan dari 15 partai politik resmi merekomendasikan 120 tahanan untuk menerima grasi presiden.!break!

"Ini upaya islah politik," kata Tshepo Madlingozi dari Universiteit van Pretoria. Tetapi, proses itu mengabaikan sesuatu yang menjadi inti moral, emosional, dan politik KKR—karena pendapat korban tidak akan dipertimbangkan sebelum para tahanan itu diberi grasi. Bagi kelompok hak asasi manusia, dispensasi khusus ini tidak ditujukan untuk rekonsiliasi; ini hanyalah langkah politik yang bertujuan menutup sejarah lama, dan menempuh hidup baru. Delapan organisasi, termasuk Khulumani Support Group, mengajukan gugatan, yang pada akhirnya mencapai Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, pengadilan tertinggi di negeri itu, pada 10 Nopember 2009. Pada saat itu Mbeki telah mengundurkan diri, dan Zuma—JZ nama populernya—menjabat sebagai presiden.

PerantaraDalam daftar tahanan politik yang diidentifikasi bisa mendapat grasi, ada satu nama yang menarik perhatian Marjorie Jobson: pria yang diceritakan Eugene de Kock dari penjara, Stefaans Coetzee. Sementara itu, Khulumani telah menghubungi para korban, termasuk Olga Macingwane, korban dari orang-orang dalam daftar itu.

Sekilas pandang di rumah sederhana Jobson yang terletak di Grahamstown di Eastern Cape, tampak buku di mana-mana, bertimbun di mebel di ruang duduk, menumpuk di lantai, di meja makan. "Di satu sisi, kelompok Khulumani merupakan bagian gugatan hukum untuk menjamin bahwa hak korban turut diperhitungkan dalam proses grasi," kata Jobson sambil menyingkirkan buku dari meja dapur supaya kami dapat makan siang. "Di sisi lain, saya semakin sering ditelepon pekerja sosial dan pendeta Stefaans, meminta saya mempertemukannya dengan korban-korbannya. Dapat diduga, para korban pemboman Worcester merasa ragu. Mereka bertanya-tanya. Mengapa dia ingin bertemu dengan kami sekarang? Apa manfaatnya bagi kami? Apakah dia sekarang merasa bersalah? Apakah dia benar-benar menyesalinya?" Jobson meletakkan semangkuk sup ayam di depan saya. Saking bersemangatnya, dia tidak makan sama sekali. "Saya tertarik pada keadilan," lanjutnya, "tapi saya paling tertarik pada proses rekonsiliasi, karena masih merupakan teka teki." Akhirnya, Jobson meminta bantuan seorang rekan tepercaya: Tshepo Madlingozi.