Saat itu Collins adalah ahli biologi Inggris yang masih muda di Gombe. Dia mengenang 19 Mei 1975 itu sebagai "hari ketika dunia berubah, khususnya yang menyangkut Gombe." Collins tidak ada di situ malam itu, tetapi segera datang untuk membantu mengatasi akibat peristiwa itu. "Keadaan tidak sepenuhnya buruk," katanya. Hal yang disayangkan adalah bahwa para peneliti asing tidak lagi bisa bekerja di Gombe; Jane sendiri juga tidak bisa bekerja di situ tanpa kawalan tentara, selama beberapa tahun. "Segi baiknya dari peristiwa itu adalah bahwa tanggung jawab pengumpulan data langsung ditangani staf lapangan Tanzania, pada hari berikutnya." Hanya data satu hari yang hilang. !break!
Perang saudara bukan satu-satunya kesulitan yang melanda Gombe. Pertikaian di antara kawanan simpanse juga bisa berlangsung sengit. Mulai tahun 1974, kelompok Kasekela (fokus utama penelitian Gombe) melakukan serangkaian serangan berdarah terhadap subkelompok lebih kecil yang dinamakan Kahama. Dalam masa penyerangan itu, yang dikenal dalam sejarah Gombe sebagai Perang Empat Tahun, beberapa ekor simpanse tewas, subkelompok Kahama musnah, dan wilayah itu dikuasai oleh Kasekela. Bahkan dalam kelompok Kasekela pun perjuangan di antara simpanse jantan untuk merebut posisi pemimpin sangat politis dan mengandalkan kekuatan tubuh, sementara di antara kaum betina ada kasus seorang induk membunuh bayi induk saingannya. "Ketika pertama kali saya mulai bertugas di Gombe," Jane menulis, "saya kira kawanan simpanse lebih baik daripada kita. Namun, waktu mengungkapkan bahwa perkiraan saya keliru. Mereka bisa sama ganasnya.”
Gombe tidak pernah menyerupai taman firdaus. Penyakit juga datang merebak. Pada 1966, terjadi wabah penyakit yang sangat berbahaya (mungkin polio, yang menular dari manusia yang mendekati mereka), dan enam ekor simpanse mati atau hilang. Enam ekor lainnya lumpuh sebagian. Dua tahun kemudian, David Greybeard dan empat simpanse lainnya hilang ketika penyakit saluran napas (influenza? pneumonia akibat bakteri?) melanda. Sembilan ekor simpanse lagi tewas pada awal 1987 akibat pneumonia. Masa-masa ini, yang mencerminkan kerentanan simpanse terhadap patogen yang ditularkan manusia, membantu menjelaskan mengapa para ilmuwan di Gombe benar-benar mengkhawatirkan masalah penyakit menular.
Kekhawatiran itu semakin memuncak dengan terjadinya perubahan bentang alam di luar batas taman nasional itu. Selama puluhan tahun penduduk di desa-desa sekitarnya berjuang untuk menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja—mengambil kayu bakar dari lereng bukit yang curam, berkebun di lereng tersebut, membakar daerah berumput dan semak-semak setiap musim kemarau untuk mendapatkan abu sebagai pupuk. Pada awal 1990-an, pembalakan hutan dan erosi mengubah Gombe National Park menjadi sebuah pulau hunian yang terpencil. Di pulau itu hidup tidak lebih dari sekitar seratus ekor simpanse. Kondisi pulau itu tidak cukup baik untuk bisa membentuk populasi yang sanggup bertahan hidup untuk jangka panjang—tidak cukup baik untuk memastikan tidak ada efek negatif akibat perkawinan sedarah, dan tidak cukup baik untuk bisa bertahan melawan epidemi yang disebabkan oleh penyebab penyakit berikutnya. Jane sadar bahwa harus ada tindakan lain, selain melanjutkan penelitian terhadap populasi kera yang dicintainya yang mungkin bernasib buruk. Lebih jauh lagi, sesuatu harus dilakukan bukan saja untuk para simpanse, melainkan juga untuk penduduk.
Jane bertemu dengan seorang pakar pertanian kelahiran Jerman, George Strunden, dan dengan bantuannya mendirikan TACARE (proyek Lake Tanganyika Catchment Reforestation and Education), yang upaya pertamanya pada 1955 adalah mendirikan tiga taman pembibitan pohon di 24 desa. Sasarannya adalah menghijaukan kembali bukit yang gundul, melindungi daerah aliran sungai desa, dan mungkin akhirnya menghubungkan kembali Gombe dengan daerah hutan di luar kawasan itu (beberapa di antaranya juga dihuni simpanse) dengan membantu warga desa menanam pohon. Jika daerah itu dapat dihubungkan dengan Gombe melalui upaya reboisasi, kawanan simpanse bisa memetik manfaat karena lebih banyaknya lawan jenis untuk kawin dan semakin besarnya populasi mereka. Sebaliknya, mereka juga mungkin terancam terjangkit penyakit dari kawanan simpanse yang lain. !break!
Dari segi mana pun, hal ini merupakan tantangan yang sangat berat. Jane dan para pembantunya berhasil meraih beberapa keuntungan dalam bentuk kerja sama masyarakat, semakin sedikitnya pembakaran, dan penghijauan kembali hutan alam.
Pada pagi hari kedua kunjungan saya ke Gombe, di sepanjang jalan setapak yang lokasinya tidak jauh di atas rumah tempat tinggal Jane yang datang dan pergi sejak awal 1970-an, saya bertemu dengan sekawanan simpanse. Mereka sedang bergerak dengan santai, menyeberangi lereng untuk mencari sarapan. Di antara kawanan tersebut terdapat beberapa ekor yang namanya, atau setidaknya sejarah keluarga mereka, sudah dikenal. Ada Gremlin (anak Melissa, seekor simpanse betina yang masih muda ketika Jane pertama kali datang), anak Gremlin, Gaia (yang digelantungi simpanse bayi), adik Gaia bernama Golden, Pax (anak Passion yang terkenal suka melahap sesamanya), dan Fudge (anak Fanni, cucu Fifi, buyut Flo, induk berhidung jelek yang dicintai, yang sangat terkenal sebagai tokoh dalam buku-buku Jane yang pertama).
Ada juga Titan, simpanse jantan bertubuh sangat besar, 15 tahun, dan masih dalam pertumbuhan menjadi sosok pemimpin. Peraturan di Gombe National Park mengatakan bahwa kita tidak boleh menghampiri simpanse terlalu dekat, tetapi pada hari tertentu sulit juga menjaga agar simpanse tidak mendekati kita. Ketika Titan datang berjalan di jalan setapak, dengan tegap dan percaya diri, kami semua merapat ke tepi dan membiarkannya lewat dengan penuh keangkuhan dalam jarak beberapa sentimeter saja. Karena seumur hidupnya akrab dengan para manusia peneliti yang tidak berbahaya, yang membawa-bawa buku catatan dan lembar pemeriksaan, Titan tidak merasa canggung dengan kehadiran manusia.
Contoh lain sikap santai mereka: Gremlin buang air besar di jalan setapak, tidak jauh dari tempat kami berdiri, dan kemudian Golden juga melakukan hal yang sama. Begitu keduanya melenggang pergi, seorang peneliti memakai sarung tangan karet kuning dan bergerak menghampiri kotoran itu. Dia membungkuk di atas tumpukan kecil kotoran Gremlin yang berserat berwarna hijau kecokelatan untuk memasukkannya sedikit ke dalam tabung spesimen, yang kemudian ditempeli label yang mencantumkan jam, tanggal, lokasi, dan nama Gremlin. Tabung itu dan beberapa tabung serupa lainnya, yang merupakan satu sampel kotoran setiap bulan dari sebanyak mungkin simpanse, dibawa ke laboratorium Beatrice Hahn di University of Alabama di Birmingham, yang selama sepuluh tahun telah mempelajari SIV (Simian Immunodeficiency Virus), atau “HIV” versi kera, di Gombe.!break!
Simian immunodeficiency virus pada simpanse, yang nama teknisnya SIVcpz, adalah prekursor dan sumber asli HIV-1, virus yang menyebabkan sebagian besar kasus AIDS di seluruh dunia. (Ada juga HIV-2.) Meskipun namanya SIVcpz, belum pernah ditemukan virus yang menyebabkan kegagalan sistem kekebalan tubuh pada simpanse yang hidup di alam liar. Bahkan, SIVcpz dianggap tidak berbahaya bagi simpanse. Apakah sejumlah kecil mutasi yang berdampak besar telah mengubah virus yang tidak berbahaya bagi simpanse itu menjadi pembunuh manusia?
Garis pemikiran itu harus diubah setelah penerbitan sebuah artikel dalam jurnal Nature pada 2009, dengan Brandon Keele F. (yang saat itu bekerja di laboratorium Hahn) sebagai penulis pertama dan Beatrice Hahn serta Jane Goodall sebagai penulis pendamping. Artikel Keele mengemukakan bahwa simpanse pengidap SIV-positif di Gombe menghadapi risiko kematian sepuluh hingga enam belas kali lipat pada usia tertentu dibandingkan dengan simpanse yang SIV-negatif. Tiga mayat yang menunjukkan SIV-positif telah ditemukan, jaringan tubuh mereka (berdasarkan pemeriksaan pada tingkat molekul) menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang mirip AIDS. Implikasinya sangat mengerikan. Penyakit mirip-AIDS tampaknya telah menewaskan beberapa ekor simpanse Gombe.
"Sungguh mengerikan, mengetahui bahwa semakin banyak simpanse yang tampaknya mati muda," kata Jane. "Maksud saya, sudah berapa lama mereka ada di suaka ini? Dari mana asal virus itu? Bagaimana dampaknya bagi populasi lain?" Demi kelangsungan hidup simpanse di seluruh Afrika, berbagai pertanyaan mendesak itu perlu dikaji.