Sebagian besar dari kita tidak merencanakan takdir dengan rapi. Namun, itulah yang dilakukan Jane Goodall.
Pada pagi hari tanggal 14 Juli 1960, Jane melangkah ke pesisir terpencil di pantai timur Danau Tanganyika. Itulah kedatangan pertamanya di tempat yang di kemudian hari dinamakan Gombe Stream Game Reserve, sebuah kawasan terlindung kecil. Dia membawa tenda, beberapa piring kaleng, cangkir tanpa pegangan, teropong yang sudah jelek, seorang koki Afrika bernama Dominic, dan—atas desakan orang-orang yang mencemaskan keselamatan dirinya—juga mengajak ibunya sebagai pendamping. Dia datang ke tempat itu untuk meneliti simpanse. Atau katakanlah, mencoba meneliti simpanse. Para pengamat yang tidak terlibat dalam penelitian ini memperkirakan Jane akan gagal. Namun, John Leakey, ahli paleontologi yang merekrutnya untuk bertugas di Nairobi, berpendapat sebaliknya.!break!
Sekelompok nelayan setempat menyambut rombongan Goodall dan membantunya membawakan perlengkapan. Jane dan ibunya menghabiskan siang itu menata perkemahan mereka. Kemudian, ada orang yang melaporkan melihat seekor simpanse. "Maka, kami pun berangkat," tulis Jane malam itu dalam jurnalnya, "dan memang ada simpanse." Dia hanya melihatnya sekilas dari jauh, tidak jelas. "Hewan itu menjauh saat kami menyaksikannya bersama-sama dengan kelompok nelayan, dan meskipun sudah memanjat lereng di dekat tempat itu, kami tidak melihatnya lagi." Tetapi, Jane mengamati, dan mencatat, bahwa beberapa ranting pohon yang bengkok tampak diratakan menjadi satu kesatuan di dalam sebatang pohon di dekat situ. Ini sarang simpanse. Tanggal itu, sarang pertama itu, menjadi titik awal dari perjalanan paling penting dalam bidang biologi lapangan modern: penelitian 50 tahun yang berkesinambungan dan sangat terperinci yang dilakukan oleh Jane Goodall dan rekan-rekannya, tentang perilaku simpanse Gombe.
Sejarah ilmu pengetahuan, dengan daya pikat legenda dongeng, mencatat beberapa temuan sangat penting dan informasi yang mencengangkan dalam kisah itu. Goodall yang masih belia tidak memiliki pengalaman ilmiah ketika memulai penelitian ini. Bahkan, gelar sarjana S1 pun tidak. Dia lulusan sekolah sekretaris dari Inggris. Otaknya cerdas dan memiliki motivasi tinggi. Jane, yang seorang penyayang binatang, juga bercita-cita meneliti simpanse di Afrika. Dia berasal dari keluarga yang terdiri atas beberapa orang perempuan berpendirian kuat, tidak berpunya, dan tidak mengenal ayah. Selama minggu-minggu awal di Gombe, dia berjuang, mencari-cari metodologi, kehilangan waktu karena terserang demam yang mungkin malaria.
Mula-mula dia hanya sempat melihat sekilas beberapa ekor simpanse, sampai kemudian seekor simpanse jantan yang sudah tua dengan bulu dagu beruban menunjukkan tanda-tanda memercayainya, dan hal ini sungguh mencengangkan. Dia menamai simpanse tua itu David Greybeard. Berkat David, Jane melakukan tiga pengamatan yang menggoyahkan teori antropologi fisik yang sudah lama berterima—ternyata simpanse (yang selama ini dianggap vegetarian), suka makan daging, dapat menggunakan alat (dahan tanaman yang ditusukkan ke gundukan rayap), dan membuat perkakas (membuang daun dari ranting), yang seharusnya merupakan sifat unik manusia, yakni berpikir sebelum bertindak (premeditasi). Setiap temuan itu selanjutnya mempersempit kesenjangan yang dianggap ada dalam hal kecerdasan dan budaya antara Homo sapiens dan Pan troglodytes.
Pengamatan tentang pembuatan perkakas adalah yang paling penting dari ketiga pengamatan Jane, menimbulkan kehebohan di dunia antropologi karena "manusia si pembuat perkakas” adalah keyakinan yang sudah berterima sebagai definisi yang boleh dikatakan unik bagi spesies kita. Louis Leakey, yang senang mendengar berita dari Jane, menulis kepadanya: "Sekarang kita harus mendefinisikan kembali 'perkakas,' mendefinisikan 'manusia', atau menerima simpanse sebagai manusia." Kalimat itu adalah kalimat yang tak terlupakan, menandai tahap baru yang sangat penting dalam pemikiran tentang hakikat manusia. Hal lain yang menarik untuk diingat adalah bahwa, ketiga temuan yang paling terkenal itu diperoleh Jane dalam waktu empat bulan pertamanya di lapangan. Dia mendapatkan temuan dengan sangat cepat. Tetapi, ukuran nyata tentang penelitiannya di Gombe tidak dapat ditentukan dari sudut pandang yang sempit.!break!
Hal yang hebat tentang Gombe bukanlah bahwa Jane Goodall “mendefinisikan kembali” manusia, melainkan bahwa dia menetapkan standar yang sangat tinggi untuk penelitian perilaku kera di alam liar, berfokus pada karakteristik individual serta karakteristik sebagai pola kelompok. Dia menciptakan sebuah program penelitian, seperangkat tata cara dan etika, momentum intelektual—dia bahkan menciptakan hubungan antara dunia ilmiah dan komunitas simpanse—yang telah tumbuh jauh melampaui hal-hal yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan. Proyek Gombe meluas dalam banyak dimensi, mampu bertahan menghadapi berbagai kesulitan, dan dengan penuh gairah menggunakan berbagai metode (pemetaan lewat satelit, endokrinologi, genetika molekul) dan menjawab sejumlah pertanyaan yang bahkan di luar bidang perilaku satwa. Misalnya, teknik analisis molekul, mengungkapkan wawasan baru tentang hubungan genetik antara sesama simpanse dan kehadiran mikroba penyakit pada beberapa ekor di antara mereka. Namun, terlepas dari prestasi ilmiah yang memukau ini, pada ulang tahun emasnya, ada satu ironi yang menyedihkan: semakin banyak yang kita ketahui tentang simpanse Gombe, semakin banyak pula alasan bagi kita untuk mengkhawatirkan kelangsungan hidup mereka.
Setidaknya ada dua hal yang menimbulkan kekhawatiran. Pertama tentang geografi, dan yang kedua tentang penyakit. Populasi simpanse yang paling dicintai dan dikaji dengan baik di dunia ini terkucil di sebuah pulau dalam habitat yang terlalu sempit untuk kelangsungan hidup mereka dalam jangka panjang. Dan sekarang beberapa ekor tampaknya dalam keadaan sekarat karena terserang AIDS khas simpanse.
Cara meneliti simpanse, dan hal-hal yang bisa disimpulkan dari pengamatan perilaku mereka, telah dipikirkan oleh Jane Goodall sejak awal kariernya. Hal-hal tersebut mulai menjadi jelas setelah masa penelitiannya yang pertama di lapangan, ketika Louis Leakey mengutarakan gagasan cemerlangnya untuk “membentuk” kehidupan wanita peneliti itu: Louis menganjurkannya untuk mengikuti program doktor dalam bidang etologi (perilaku satwa) di Cambridge University.
Program doktor ini tampak mustahil karena dua alasan. Pertama, Jane tidak memiliki gelar sarjana apa pun. Kedua, dia selalu bercita-cita menjadi seorang pengkaji dan pencinta alam, atau mungkin wartawan, namun kata “ilmuwan” tidak pernah diangankannya. Setelah mendaftar di Cambridge, Jane mendapati dirinya bertentangan dengan para senior di departemen itu dan para tokoh terpandang di bidang itu. "Sungguh mengejutkan ketika mereka mengatakan bahwa semua yang saya lakukan itu salah. Semuanya." Pada saat itu Jane telah mengantongi data lapangan dari Gombe yang dikumpulkannya selama 15 bulan, sebagian besar diperoleh melalui pengamatan yang penuh kesabaran atas beberapa ekor simpanse yang masing-masing diberinya nama, seperti David Greybeard, Mike, Olly, dan Fifi. !break!
Personifikasi seperti itu dianggap sesuatu yang tidak bisa diterima di Cambridge; menganggap hewan yang bukan-manusia sebagai sosok yang masing-masing memiliki kepribadian dan emosi adalah antropomorfisme, bukan etologi. "Untunglah, saya mengingat kembali guru saya yang pertama, ketika saya masih kecil, yang mengajarkan bahwa anggapan seperti itu tidak benar." Guru pertama Jane adalah anjingnya, Rusty. "Jika kita bergaul akrab setiap hari dengan binatang yang memiliki otak yang cukup berkembang dengan baik, pasti kita menyadari bahwa binatang juga memiliki kepribadian." Secara terang-terangan Jane menentang pandangan umum pada saat itu—satu hal yang perlu diketahui tentang Jane yang berhati lembut adalah bahwa dia berpendirian teguh—dan pada 9 Februari 1966, namanya menjadi Dr. Jane Goodall.
Pada 1968, suaka margasatwa yang kecil itu berubah menjadi Gombe National Park Tanzania. Saat itu Jane menerima dana penelitian dari National Geographic Society. Dia sudah menikah, sudah menjadi ibu, dan terkenal di seluruh dunia, antara lain berkat artikelnya dalam majalah ini dan kehadirannya yang mantap dan memikat dalam film televisi, Miss Goodall and the Wild Chimpanzees. Dia melembagakan perkemahannya, untuk mendanai dan melestarikannya sebagai Gombe Stream Research Center atau GSRC. Pada 1971, ia menerbitkan In the Shadow of Man, pandangannya tentang penelitian dan petualangan awalnya di Gombe, yang menjadi buku laris. Kira-kira pada waktu yang sama, Jane mulai mengundang sejumlah mahasiswa dan peneliti pascasarjana untuk membantunya mengumpulkan data tentang simpanse dan penelitian lain di Gombe. Pengaruhnya pada primatologi modern, yang digembar-gemborkan oleh Leakey, dengan lebih bersahaja dikukuhkan oleh daftar panjang para alumni Gombe yang telah menggarap karya ilmiah penting.
Penelitian yang berlangsung selama 50 tahun itu mengalami satu gangguan yang traumatis. Pada 19 Mei 1975 malam, tiga pemuda Amerika dan seorang wanita Belanda diculik oleh tentara pemberontak yang menyeberangi Danau Tanganyika dari Zaire. Keempat sandera itu akhirnya dibebaskan, tetapi tampaknya tidak lagi aman bagi GSRC untuk menerima peneliti dan pembantu asing—demikian dijelaskan Anthony Collins kepada saya.
Saat itu Collins adalah ahli biologi Inggris yang masih muda di Gombe. Dia mengenang 19 Mei 1975 itu sebagai "hari ketika dunia berubah, khususnya yang menyangkut Gombe." Collins tidak ada di situ malam itu, tetapi segera datang untuk membantu mengatasi akibat peristiwa itu. "Keadaan tidak sepenuhnya buruk," katanya. Hal yang disayangkan adalah bahwa para peneliti asing tidak lagi bisa bekerja di Gombe; Jane sendiri juga tidak bisa bekerja di situ tanpa kawalan tentara, selama beberapa tahun. "Segi baiknya dari peristiwa itu adalah bahwa tanggung jawab pengumpulan data langsung ditangani staf lapangan Tanzania, pada hari berikutnya." Hanya data satu hari yang hilang. !break!
Perang saudara bukan satu-satunya kesulitan yang melanda Gombe. Pertikaian di antara kawanan simpanse juga bisa berlangsung sengit. Mulai tahun 1974, kelompok Kasekela (fokus utama penelitian Gombe) melakukan serangkaian serangan berdarah terhadap subkelompok lebih kecil yang dinamakan Kahama. Dalam masa penyerangan itu, yang dikenal dalam sejarah Gombe sebagai Perang Empat Tahun, beberapa ekor simpanse tewas, subkelompok Kahama musnah, dan wilayah itu dikuasai oleh Kasekela. Bahkan dalam kelompok Kasekela pun perjuangan di antara simpanse jantan untuk merebut posisi pemimpin sangat politis dan mengandalkan kekuatan tubuh, sementara di antara kaum betina ada kasus seorang induk membunuh bayi induk saingannya. "Ketika pertama kali saya mulai bertugas di Gombe," Jane menulis, "saya kira kawanan simpanse lebih baik daripada kita. Namun, waktu mengungkapkan bahwa perkiraan saya keliru. Mereka bisa sama ganasnya.”
Gombe tidak pernah menyerupai taman firdaus. Penyakit juga datang merebak. Pada 1966, terjadi wabah penyakit yang sangat berbahaya (mungkin polio, yang menular dari manusia yang mendekati mereka), dan enam ekor simpanse mati atau hilang. Enam ekor lainnya lumpuh sebagian. Dua tahun kemudian, David Greybeard dan empat simpanse lainnya hilang ketika penyakit saluran napas (influenza? pneumonia akibat bakteri?) melanda. Sembilan ekor simpanse lagi tewas pada awal 1987 akibat pneumonia. Masa-masa ini, yang mencerminkan kerentanan simpanse terhadap patogen yang ditularkan manusia, membantu menjelaskan mengapa para ilmuwan di Gombe benar-benar mengkhawatirkan masalah penyakit menular.
Kekhawatiran itu semakin memuncak dengan terjadinya perubahan bentang alam di luar batas taman nasional itu. Selama puluhan tahun penduduk di desa-desa sekitarnya berjuang untuk menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja—mengambil kayu bakar dari lereng bukit yang curam, berkebun di lereng tersebut, membakar daerah berumput dan semak-semak setiap musim kemarau untuk mendapatkan abu sebagai pupuk. Pada awal 1990-an, pembalakan hutan dan erosi mengubah Gombe National Park menjadi sebuah pulau hunian yang terpencil. Di pulau itu hidup tidak lebih dari sekitar seratus ekor simpanse. Kondisi pulau itu tidak cukup baik untuk bisa membentuk populasi yang sanggup bertahan hidup untuk jangka panjang—tidak cukup baik untuk memastikan tidak ada efek negatif akibat perkawinan sedarah, dan tidak cukup baik untuk bisa bertahan melawan epidemi yang disebabkan oleh penyebab penyakit berikutnya. Jane sadar bahwa harus ada tindakan lain, selain melanjutkan penelitian terhadap populasi kera yang dicintainya yang mungkin bernasib buruk. Lebih jauh lagi, sesuatu harus dilakukan bukan saja untuk para simpanse, melainkan juga untuk penduduk.
Jane bertemu dengan seorang pakar pertanian kelahiran Jerman, George Strunden, dan dengan bantuannya mendirikan TACARE (proyek Lake Tanganyika Catchment Reforestation and Education), yang upaya pertamanya pada 1955 adalah mendirikan tiga taman pembibitan pohon di 24 desa. Sasarannya adalah menghijaukan kembali bukit yang gundul, melindungi daerah aliran sungai desa, dan mungkin akhirnya menghubungkan kembali Gombe dengan daerah hutan di luar kawasan itu (beberapa di antaranya juga dihuni simpanse) dengan membantu warga desa menanam pohon. Jika daerah itu dapat dihubungkan dengan Gombe melalui upaya reboisasi, kawanan simpanse bisa memetik manfaat karena lebih banyaknya lawan jenis untuk kawin dan semakin besarnya populasi mereka. Sebaliknya, mereka juga mungkin terancam terjangkit penyakit dari kawanan simpanse yang lain. !break!
Dari segi mana pun, hal ini merupakan tantangan yang sangat berat. Jane dan para pembantunya berhasil meraih beberapa keuntungan dalam bentuk kerja sama masyarakat, semakin sedikitnya pembakaran, dan penghijauan kembali hutan alam.
Pada pagi hari kedua kunjungan saya ke Gombe, di sepanjang jalan setapak yang lokasinya tidak jauh di atas rumah tempat tinggal Jane yang datang dan pergi sejak awal 1970-an, saya bertemu dengan sekawanan simpanse. Mereka sedang bergerak dengan santai, menyeberangi lereng untuk mencari sarapan. Di antara kawanan tersebut terdapat beberapa ekor yang namanya, atau setidaknya sejarah keluarga mereka, sudah dikenal. Ada Gremlin (anak Melissa, seekor simpanse betina yang masih muda ketika Jane pertama kali datang), anak Gremlin, Gaia (yang digelantungi simpanse bayi), adik Gaia bernama Golden, Pax (anak Passion yang terkenal suka melahap sesamanya), dan Fudge (anak Fanni, cucu Fifi, buyut Flo, induk berhidung jelek yang dicintai, yang sangat terkenal sebagai tokoh dalam buku-buku Jane yang pertama).
Ada juga Titan, simpanse jantan bertubuh sangat besar, 15 tahun, dan masih dalam pertumbuhan menjadi sosok pemimpin. Peraturan di Gombe National Park mengatakan bahwa kita tidak boleh menghampiri simpanse terlalu dekat, tetapi pada hari tertentu sulit juga menjaga agar simpanse tidak mendekati kita. Ketika Titan datang berjalan di jalan setapak, dengan tegap dan percaya diri, kami semua merapat ke tepi dan membiarkannya lewat dengan penuh keangkuhan dalam jarak beberapa sentimeter saja. Karena seumur hidupnya akrab dengan para manusia peneliti yang tidak berbahaya, yang membawa-bawa buku catatan dan lembar pemeriksaan, Titan tidak merasa canggung dengan kehadiran manusia.
Contoh lain sikap santai mereka: Gremlin buang air besar di jalan setapak, tidak jauh dari tempat kami berdiri, dan kemudian Golden juga melakukan hal yang sama. Begitu keduanya melenggang pergi, seorang peneliti memakai sarung tangan karet kuning dan bergerak menghampiri kotoran itu. Dia membungkuk di atas tumpukan kecil kotoran Gremlin yang berserat berwarna hijau kecokelatan untuk memasukkannya sedikit ke dalam tabung spesimen, yang kemudian ditempeli label yang mencantumkan jam, tanggal, lokasi, dan nama Gremlin. Tabung itu dan beberapa tabung serupa lainnya, yang merupakan satu sampel kotoran setiap bulan dari sebanyak mungkin simpanse, dibawa ke laboratorium Beatrice Hahn di University of Alabama di Birmingham, yang selama sepuluh tahun telah mempelajari SIV (Simian Immunodeficiency Virus), atau “HIV” versi kera, di Gombe.!break!
Simian immunodeficiency virus pada simpanse, yang nama teknisnya SIVcpz, adalah prekursor dan sumber asli HIV-1, virus yang menyebabkan sebagian besar kasus AIDS di seluruh dunia. (Ada juga HIV-2.) Meskipun namanya SIVcpz, belum pernah ditemukan virus yang menyebabkan kegagalan sistem kekebalan tubuh pada simpanse yang hidup di alam liar. Bahkan, SIVcpz dianggap tidak berbahaya bagi simpanse. Apakah sejumlah kecil mutasi yang berdampak besar telah mengubah virus yang tidak berbahaya bagi simpanse itu menjadi pembunuh manusia?
Garis pemikiran itu harus diubah setelah penerbitan sebuah artikel dalam jurnal Nature pada 2009, dengan Brandon Keele F. (yang saat itu bekerja di laboratorium Hahn) sebagai penulis pertama dan Beatrice Hahn serta Jane Goodall sebagai penulis pendamping. Artikel Keele mengemukakan bahwa simpanse pengidap SIV-positif di Gombe menghadapi risiko kematian sepuluh hingga enam belas kali lipat pada usia tertentu dibandingkan dengan simpanse yang SIV-negatif. Tiga mayat yang menunjukkan SIV-positif telah ditemukan, jaringan tubuh mereka (berdasarkan pemeriksaan pada tingkat molekul) menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang mirip AIDS. Implikasinya sangat mengerikan. Penyakit mirip-AIDS tampaknya telah menewaskan beberapa ekor simpanse Gombe.
"Sungguh mengerikan, mengetahui bahwa semakin banyak simpanse yang tampaknya mati muda," kata Jane. "Maksud saya, sudah berapa lama mereka ada di suaka ini? Dari mana asal virus itu? Bagaimana dampaknya bagi populasi lain?" Demi kelangsungan hidup simpanse di seluruh Afrika, berbagai pertanyaan mendesak itu perlu dikaji.
Namun, temuan yang menyedihkan ini juga mungkin sangat berarti untuk penelitian AIDS pada manusia. Anthony Collins menunjukkan bahwa meskipun SIV telah ditemukan di komunitas simpanse di tempat lain, "tidak satu pun dari komunitas itu merupakan populasi subjek penelitian yang terbiasa bergaul dengan manusia sebagai pengamat; dan yang jelas tidak satu pun dari komunitas itu merupakan komunitas yang memiliki informasi silsilah turun-temurun langsung yang tercakup dalam rentang waktu yang lama; dan tidak ada komunitas yang begitu jinak sehingga kita dapat mengambil sampel kotoran setiap ekor setiap bulan." Setelah beberapa saat, ia menambahkan, "Sungguh sangat menyedihkan bahwa virus itu ada di sini, tapi banyak manfaat berupa pengetahuan yang bisa dipetik dari kondisi ini. Dan pemahaman."!break!
Metode baru genetika molekul yang serba canggih juga memiliki kemampuan yang menggembirakan dan memacu semangat untuk menyibak misteri tentang dinamika sosial dan evolusi simpanse. Misalnya: Siapa simpanse yang berstatus ayah di Gombe? Siapa yang menjadi induk sudah jelas, dan hubungan mesra antara induk dan bayinya telah diteliti dengan baik oleh Jane, Anne Pusey, dan para peneliti lain. Namun, karena simpanse betina biasanya kawin sesuka hati dengan beberapa simpanse jantan, sosok ayah jauh lebih sulit ditentukan. Bagaimana persaingan antara simpanse jantan untuk memperoleh status tinggi dalam hierarki itu berkorelasi dengan keberhasilan memiliki keturunan? Seorang ilmuwan muda bernama Emily Wroblewski, yang menganalisis DNA dari sampel kotoran yang dikumpulkan oleh tim lapangan, memperoleh jawabannya. Dia mendapati bahwa simpanse jantan yang berperingkat tinggi memang berhasil menjadi ayah dari banyak bayi simpanse—tetapi, beberapa simpanse jantan berperingkat rendah pun berhasil memiliki keturunan. Kiatnya adalah berusaha menjalin hubungan mesra—kurun waktu eksklusif yang digunakan sebagai sepasang kekasih, bepergian bersama-sama, dan kawin—sering kali dengan simpanse betina muda yang kurang menarik.
Jane sendiri telah meramalkan temuan ini, dari data pengamatan, dua dasawarsa sebelumnya. "Simpanse jantan yang berhasil memulai dan memelihara hubungan mesra dengan simpanse betina yang subur," tulisnya, "mungkin memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menjadi ayah anak simpanse betina itu daripada seandainya dia berada dalam kelompok, bahkan juga seandainya dia simpanse alfa."
Karena terdorong untuk menyikapi masalah dengan lebih menyeluruh, Jane mengakhiri kariernya sebagai ahli biologi lapangan pada tahun 1986, segera setelah penerbitan buku ilmiahnya yang hebat, The Chimpanzees of Gombe. Sejak itu dia menjalani kehidupan sebagai penggiat. Alasan pertamanya, yang timbul setelah bertahun-tahun tinggal di Gombe, adalah memperbaiki perlakuan memprihatinkan terhadap simpanse yang berada di banyak laboratorium penelitian medis. Berkat ketangguhan dan wibawanya, Jane meraih beberapa keberhasilan dalam negosiasi. Dia juga mendirikan beberapa tempat perlindungan untuk simpanse yang bisa dilepaskan dari kerangkeng, termasuk sejumlah simpanse yatim piatu karena orang tuanya menjadi korban para pemburu yang memperdagangkan daging simpanse.
Dia mendirikan program yang dinamakan Jane Goodall's Roots & Shoots, yang menganjurkan anak muda di seluruh dunia untuk aktif terlibat dalam berbagai proyek yang menggalakkan kepedulian yang lebih besar untuk hewan, lingkungan, dan komunitas manusia. Dalam kurun waktu inilah Jane menjadi explorer-in-residence di National Geographic Society. Sekarang dia bepergian sekitar 300 hari setahun, memberikan banyak sekali wawancara dan pelajaran di kelas, ceramah dalam sejumlah acara besar, menggalang dana untuk membiayai kegiatan Lembaga Jane Goodall. Sesekali dia menyelinap masuk ke hutan atau ke padang rumput, menyaksikan simpanse atau burung sandhill crane (Grus canadensis) atau Ferret berkaki hitam (Mustela nigripes), dan untuk mengembalikan energi serta menjernihkan pikiran.!break!
Lima puluh tahun yang lalu, Louis Leakey mengirim Jane untuk meneliti simpanse karena menurutnya perilaku hewan itu mungkin bisa memberikan informasi baru tentang nenek moyang manusia. Jane mengabaikan bagian tersebut dan meneliti simpanse untuk kepentingan hewan itu sendiri. Sambil melakukan hal-hal itu, Jane juga mendirikan lembaga dan membuka kesempatan yang telah memberikan begitu banyak nilai tambah dalam penelitian ilmuwan lainnya, serta secara pribadi menjadi inspirasi bagi banyak kaum muda untuk menekuni ilmu pengetahuan dan pelestarian. Sangat perlu diingat bahwa pengaruh Gombe, setelah setengah abad, lebih besar daripada kehidupan dan karya Jane Goodall. Namun, jangan lupa: Kehidupan dan karyanya sendiri sudah amat bermakna.