Arkeologi Bawah Laut Nusantara

By , Senin, 7 Maret 2011 | 16:00 WIB

Siang itu, mendung menggayut di langit perairan laut Karang Delapan, sebuah gugusan karang di Bangka selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung (Babel). Sejak subuh, hujan tak kunjung usai.

Sebelum saya menyelam, muka laut tampak tenang. Sesaat setelah saya terjun, terasa arus di bawah riak air begitu kuat, membuat saya cemas dan meremas tali buoy—seutas tali ber¬ujung jangkar yang dipancang sebelum menyelam—semakin erat. Menyelam ke dasar, arus semakin liat. Samar-samar, di kedalaman 30 meter terlihat alas laut berupa samudra pasir dan gugusan karang, serta gundukan-gundukan batu tak beraturan dengan berbagai tumbuhan laut yang berebut hidup.

Lokasi penyelaman ini dijajaki lantaran selama hampir tiga bulan tim dari Direktorat Peninggalan Bawah Air (DPBA), Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala mencium anomali kandungan logam dari sekitar Karang Delapan. Saat dilakukan survei permukaan laut dengan alat magnetometer—pelacak medan magnet yang biasa dipancarkan logam—sinyalnya terendus di lokasi ini. Sinyal tersebut harus dikonfirmasi: apakah betul itu merupakan jejak kapal karam atau hal lain. Karena, biasanya, kapal paling sederhana dan tua sekalipun memiliki elemen berbahan logam.

Setelah berputar selama 10 menit, apa yang kami buru pun muncul. Di atas gugusan karang panjang, salah satu anggota tim yang menggapit pendeteksi logam terkejut. Suara alat pendeteksi ini semakin mengganggu gendang telinga saat kami berenang di ujung gugusan karang.!break!

Di balik dua gugusan karang yang menyerupai pagar itu terserak batang-batang kayu yang masih tersusun rapi seperti rusuk. Meski diselimuti pasir tebal, ujung-ujungnya sedikit tersingkap. Ya, inilah bagian papan lambung sisa kapal karam. Mungkin ikatan logam atau paku pada kayu inilah yang memancing metal detektor menjerit.

Yuri Romero, ketua tim penyelaman, lang¬sung mencari bentang alam permanen buat dijadikan pangkal ukur. Sebuah batu besar di selatan relik kapal jadi patokan. Semua temuan yang terserak dicatat dan diukur—jenis, derajat, dan jarak—sebarannya dari batu yang dijadikan datum point ini.

Begitulah sebuah kapal. Jika tenggelam di dasar laut, perlahan akan merengkah. Bagian-bagian tubuhnya terlepas satu per satu dari ikatan strukturnya. Otomatis, benda yang ada di perutnya akan dimuntahkan, terserak dibawa arus air. Proses ini akan segera diikuti penimbunan, baik oleh pasir maupun lumpur selama ratusan tahun. Jadilah bukit-bukit pasir atau lumpur yang menggunung. Biota laut akan sempurna menyembunyikan jejak kapal ini.

Kembali ke dasar laut, di sekitar lunas kapal yang tertanam pasir terserak sejumlah guci tambun, tempayan, dan mangkuk. Meski semua benda muatan ini bersimbur lumpur tebal, karang dan tumbuhan laut, bentuk aslinya masih mudah dikenali. Yang paling banyak adalah mata uang Tiongkok—mata uang bertuliskan aksara Tionghoa dengan lubang bulat di poros—berbahan perunggu dan masih bertumpuk, seperti sate. Dari semua benda yang terserak, ada sejumlah temuan unik, atau malah janggal. !break!

Di sekitar situs kapal karam ini ditemukan temali plastik. Sisa tali bahkan masih melilit di sejumlah pecahan benda muatan kapal. Bukan itu saja, alat-alat selam seperti selang udara, linggis, pemberat dari kaleng berisi semen—juga ditemukan di sekitar situs. Semua benda ini tidak seusia kapal, bahkan bisa dibilang anyar. Hal yang paling parah, di sekitar situs ini banyak terserak pecahan-pecahan keramik tak beraturan. Sepertinya di sekitar situs kapal karam ada penggalian sekaligus sampahnya.

Diduga kuat, situs kapal karam ini sudah dijarah. Skala kerusakan seperti ini biasanya disebabkan oleh penggunaan dinamit, karena selain banyaknya kepingan artefak, lokasi sebarannya tidak in-situ—tidak pada tempat aslinya. Jangankan mendapatkan temuan artefak dalam kondisi baik, apalagi masterpiece, untuk menerka-nerka jenis kapal yang karam saja sangat sulit. Padahal, selain untuk mendapatkan artefak berharga, situs kapal karam amatlah penting sebagai data arkeologis. Paling tidak, itu bisa dipakai buat menjelaskan asal-muasal kapal ini dan sejarah kebaharian Nusantara kuno.

Dari balik masker selam, raut wajah Yuri terlihat mengeras. Mungkin kecewa atau malah marah. Untuk kesekian kalinya, dirinya kalah cepat dibandingkan para pemburu harta karun. Selama tiga tahun terakhir, ia telah melakukan survei peninggalan arkeologi bawah air di sekitar pulau Bangka; sebanyak 38 situs kapal karam berhasil ditemukan, tapi sebagian besar telah dijarah. Tidak hanya Yuri, semua tim yang turun pada siang itu juga dibekap kegundahan yang mirip. Suhu 26 derajat Celsius yang tercatat pada dive comp saya sepertinya kalah beku dibandingkan suasana penyelaman siang itu. !break!

Laut Indonesia sudah lama dikenal sebagai lumbung bagi pemburu harta karun. Sebut saja kisah Flor de la Mar, yang tenggelam pada 1512. Kapal Portugis yang membawa emas dari Kerajaan Malaka itu tenggelam di perairan Riau, lengkap dengan pampasan perang. Catatan sejarah menunjukkan ada singa dan gajah emas, serta mahkota bertatahkan ratna mutu manikam dalam muatan Flor. Taksiran nilainya, delapan miliar dolar, setara Rp72,2 triliun pada kurs Rp9.000. Jadi, siapa yang tak tergiur?

Menurut Tony Wells, dalam bukunya Ship¬wreck and Sunken Treasure in Southeast Asia, 1995, ada sekitar 185 kapal karam di perairan Indonesia, atau 41 persen dari total kapal karam di seluruh perairan Asia Tenggara.