Arkeologi Bawah Laut Nusantara

By , Senin, 7 Maret 2011 | 16:00 WIB

Data Departemen Kelautan dan Perikanan, yang dikumpulkan dari catatan-catatan sejarah, lebih fantastis lagi: total titik kapal karam di Indonesia mencapai 2.046 lokasi, 10 persennya diduga memiliki nilai komersial. Sekurangnya ada 463 kapal yang karam pada 1508 sampai 1878 yang sudah diketahui lokasinya.

Kongsi dagang Belanda—Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)—juga menerbitkan sejumlah dokumen sejarah soal peta pelayaran dunia. Di sana disebutkan nama-nama kapal milik mereka yang tidak pernah kembali ke Amsterdam lantaran karam. Menariknya, dokumen tersebut tidak hanya mencatat tahun karam, melainkan juga menyebut muatan dan lokasinya. “Data seperti inilah yang jadi pegangan para pemburu harta karun,” kata Gatot Ghautama, Kepala Subdirektorat Perlindungan Peninggalan Bawah Air. !break!

Sejak silam, perairan Nusantara memang dilintasi berbagai kapal yang berlayar dari China, Vietnam, Thailand, Borneo, India, lalu menuju Jawa. Mulai dari kapal-kapal dagang hingga kapal perang. Ganasnya iklim ditengarai jadi penyebab utama tenggelamnya kapal-kapal tersebut. “Perairan Nusantara memang memiliki segudang perangkap alam,” kata Gita Arjakusuma, Nakhoda Kapal Phinisi Nusantara. Mulai dari lumpur yang tebal, karang-karang yang menyebar, perairan dangkal, hingga cuaca yang sulit diprediksi. “Masuk akal jika banyak kapal karam di Indonesia,” katanya.Perang jadi pemicu lain kapal karam. Misalnya kapal Portugis, Alioza de Caruailla, Saint Simon, dan Erasmus yang dibakar karena kalah perang melawan armada Belanda, pada 18 Agustus 1606 di Selat Malaka.

Pemburu harta karun menjadikan laut Indonesia sebagai target sejak ditemukannya kapal Vec De Geldermalsen milik VOC yang karam pada 1752 di Karang Heliputan, Tanjung Pinang. Pada 1986, muatan kapal diangkat. Pelaksananya adalah Lembaga Ekspedisi Pemanfaatan Umum Harta Pusaka Rakyat Indonesia yang bekerja dengan perusahaan asing, Swatberg Limited Hongkong pimpinan Berger Michael Hatcher.

Dari perut bangkai kapal Geldermalsen ditemukan 126 batang emas lantakan dan 160.000 artefak keramik dinasti Ming dan Qing. Setahun kemudian, seluruh benda cagar budaya ini dilelang di Balai Lelang Christie’s Amsterdam dengan nilai total 17 juta dolar. “Negara tidak mendapat sepeser pun,” kata Gatot. Karena, “sejak awal pengangkatan, instansi yang bertanggung jawab tidak tahu.” Lantaran begitu gampangnya mengeruk harta kapal karam di perairan Nusantara, Hatcher pun kembali. Setidaknya inilah yang terjadi pada 1997; meski sudah ditangkal masuk Indonesia—terkait kasus Geldermalsen—ia bisa dengan mudah menyelami laut sekitar Pulau Bangka.

Pada Mei 1999, ia menemukan onggokan kapal Tek Sin Cargo, kapal China dari Dinasti Qing yang tenggelam pada 1822 di Selat Gelasa, Sumatra Selatan. Pemerintah buru-buru meng¬ancam mengumumkan harta karun itu ilegal, sebelum Hatcher melelang temuannya. Tak kurang dari 450.000 keramik berbagai jenis diterbangkan Hatcher ke Stuttgart, Jerman. Meski di bawah ancaman pemerintah Indonesia, lelang tetap digelar pada 17-25 November 2000 oleh Balai Lelang Nagel Auction. “Lagi-lagi negara kalah,” jelas Toye, panggilan akrab Gatot. !break!

Pemburu lainnya adalah Tilman Walterfang, 47 tahun, dari Seabed Exploration, Jerman. Walterfang berhasil melelang muatan kapal Intan, dari dinasti Song—abad ke-11—yang di¬temu¬kannya di perairan antara Riau dan Kalimantan. Harta karun itu diangkat pada 1997, lalu disimpan di Selandia Baru. Nilai muatan terakhir—adanya artefak batu hitam (satam)—diperkirakan mencapai 40 juta dolar. Ia juga diduga menjadi otak di belakang pengangkatan kapal dinasti Tang (abad ke-7) dari perairan Belitung.

Sebenarnya, pemerintah memiliki sepe¬rangkat alat hukum buat menjerat pemburu alas samudra ini. Sejak kasus Geldermalsen, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 43/1989 soal pembentukan Pani¬tia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Asal Muatan Kapal Tenggelam (Pannas BMKT). “Kala itu, yang ditunjuk sebagai ketua adalah Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan,” kata Toye. Diharapkan, dengan hadirnya Pannas, pem¬berian izin dan proses pengangkatan akan semakin tertib. “Ternyata tidak, malah muncul kasus Tek Sin Cargo.”

Menurut Surya Helmi, Direktur Peninggalan Bawah Air, Ditjen Sejarah dan Purbakala, struktur organisasi Pannas terlalu gemuk. Sekurangnya ada 15 institusi yang tergabung di dalamnya. “Ujungnya, birokrasi jadi pan¬jang dan lambat,” jelasnya. Padahal, Surya me-lanjutkan, buat menjerat para pemburu harta karun dibutuhkan lembaga yang ramping agar bisa bergerak cepat dan fleksibel. “Para pemburu bisa tiba-tiba muncul di lokasi perairan Indo¬nesia yang luas dan lari membawa hasil rampokan harta karun,” dia menjelaskan.

Karenanya, usai sengkarut lelang isi perut kapal Tek Sin Cargo, pemerintah bergerak sigap. Kep¬pres No. 43/1989 diperbaharui dengan Keppres No. 107 tahun 2000, tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga asal Muatan Kapal yang Tenggelam, dengan ketua Pannas dipindahkan ke Menteri Kelautan dan Perikanan, dan struktur yang lebih ramping.

UNESCO, badan dunia yang mengurus ke¬budayaan juga didorong oleh pemerintah Indonesia buat melahirkan konvensi yang men¬dukung perlindungan situs arkeologi bawah air. Maka muncullah Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage pada 2001. “Meski terlambat, payung hukum perlindungan situs arkeologi bawah air jadi lebih kuat,” tambah Helmi.Berbekal perangkat itu, polisi berhasil me¬nekuk pemburu harta karun yang menggunakan kapal tongkang Swissco Marine 9 berbendera Belize di Kepulauan Riau, atau kapal Resless M  yang sedang menggerayangi lokasi kapal karam di Bangka. “Sedikitnya 32.150 temuan keramik berhasil diselamatkan,” ujar Helmi.  Dan sejak itu, laut Indonesia sunyi dari badai pencarian harta karun.!break!

Kesan tua segera muncul dari tubuhnya yang keriput. Namun, untuk ukuran orang berusia 70 tahun, ia jelas cekatan. Dengan tabung oksigen di punggungnya ia terjun, dan tak lama kemudian ditelan ge¬lombang. Begitu muncul, lelaki ini langsung me¬lempar senyum sumringah. Seperti seorang anak yang dibelikan mainan, ia memamerkan temuannya: piring China. Tampak beberapa kali ia menyelam, dan saban naik ia membawa mangkuk atau vas.