Itulah Michael Hatcher, jawara pemburu harta karun, seperti disajikan sebuah film dokumenter yang dirilis medio 2010. Dari wajah pribumi para awak kapal, diduga Hatcher tengah beraksi di perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat.
Teks dalam bahasa Inggris yang menjadi pembuka film itu blak-blakan menyatakan Hatcher berada di Indonesia: Penemuan Kapal Karam 2009. Sebuah kapal karam dari zaman Dinasti Ming telah ditemukan di Laut Jawa oleh pemburu dan penyelamat harta karun terkemuka Michael Hatcher.
Dalam film itu, Hatcher berkacak-pinggang di atas kapal berukuran sekitar 58 x 28 meter, yang membawa tak kurang dari satu juta aneka rupa porselen peninggalan Dinasti Ming. Semua¬nya diangkat sekitar empat bulan. Film itu juga menampilkan rekaman pemandangan menakjubkan di dasar laut: gunungan porselen aneka rupa yang sebagian besar masih dalam kondisi utuh. Nilai tiap-tiap porselen langka itu, dalam film, disebutkan 10 ribu dolar (sekitar Rp90 juta) hingga 20 ribu dolar (Rp180 juta). Jika dihitung-hitung, nilai total semua porselen itu diperkirakan mencapai 200 juta dolar atau sekitar Rp1,8 triliun.!break!
Film ini seperti menampar wajah Pannas. Bagai¬mana tidak? Orang yang sudah dicekal, dan dua kali terbukti melakukan kejahatan atas situs arkeologi bawah air kembali leluasa menjarah. “Polisi sedang memburunya,” komentar Fadel Muhamad, ketua Pannas BMKT, waktu itu.“Inilah bukti lemahnya perlindungan situs arkeologi bawah air,” jelas Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Bahkan, agar lebih laku dijual, temu¬an dari kapal-kapal yang karam disalin penyebutannya dengan harta karun. “Padahal ini adalah benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang,” ujar Bambang.
Selain uang, obsesi petualangan bisa membuat seorang pemburu bertaruh nyawa. Seperti dialami Mel Ficher, legenda pemburu harta karun asal California. Sejak umur 16 tahun, ia menyimpan impian menemukan Nuestra Senora de Atocha, kapal Spanyol yang tenggelam pada 1622 di Pantai Florida dengan muatan penuh emas dari suku Aztec. Ia menjual seluruh harta¬nya untuk memburu Nuestra Senora. Istri dan anaknya tewas tatkala kapal survei yang mereka tumpangi tenggelam pada 1975.
Fischer jatuh bangkrut dan tak mampu membayar para penyelam, tapi emas Aztec itu tak kunjung datang. Baru pada 20 Juli 1985, muatan Nuestra senilai 400 juta dolar itu bisa dikeduk. Fischer, yang pernah berkali-kali lolos dari ganasnya laut, meninggal sebagai orang terhormat pada 1998, sembari mewariskan sebuah museum harta karun di Florida.!break!
Lalu, bagaimana agar situs arkeologi bawah air bisa bermanfat buat khayalak, dan tidak hanya jadi makanan empuk pemburu harta? Apakah pengangkatan dan lelang bisa jadi solusi?Anjuran UNESCO agar membiarkannya sebagai cagar budaya di bawah laut sepertinya bukanlah pilihan yang tepat. “Saya yakin akan habis. Nelayan dan sindikat yang mengambil secara ilegal makin banyak,” ujar Bambang.Menurutnya, yang diperlukan adalah upaya penyelamatan yang nyata, pengangkatan bisa jadi alternatif. “Asal dilakukan dengan benar dan berdasarkan kaidah arkeologi,” katanya.
Selain itu, lanjut Bambang, diperlukan desain pemanfaatan aset budaya bawah air yang berorientasi pada penguatan jati diri. “Dan yang bisa meningkatan kesejahteraan.” Buat langkah awal, pemerintah sempat membikin proyek percontohan. Digandenglah PT Paradigma Putra Sejahtera, yang bermitra dengan perusahaan asing PT Cosmix buat mengangkat kapal yang karam di laut Cirebon pada 2004.
Berbeda dengan pengangkatan muatan kapal karam sebelumnya, sejak awal dilakukan survei yang baku dengan pengawasan yang ketat. “Data arkeologis dan sejarah dicatat sebelum isi muatan kapal diangkat,” kata Junus Satrio Atmodjo, Direktur Peninggalan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Begitu pun soal pelelangannya. “Pannas dan lembaga terkait ikut terlibat aktif,” jelas Junus. Tidak bisa dinafikan, dalam tiap temuan muatan kapal karam di Indonesia atau belahan dunia mana pun, potensi ekonominya memang besar.
Dari perut laut Cirebon ini berhasil dikeruk tak kurang 500.000 artefak dalam berbagai jenis dan kondisi. Dugaannya, kapal yang karam adalah kapal niaga milik Kerajaan Sriwijaya. Ada keramik China dari zaman Lima Dinasti (907-960 Masehi). Ada cermin abad ke-10 yang kembarannya hanya ada separuh di Museum Sichia China. Ada batu-batu kristal, gelas berukirkan huruf Arab Kufi, pecahan rubi yang diperkirakan dari Dinasti Fatimiyah, patung kecil manusia berkepala anjing, peralatan upacara agama Buddha, dan cepuk-cepuk berisi candu. !break!
Yang paling menarik adalah ditemukannya artefak berbentuk seperti gagang pedang berbahan emas murni. Jumlahnya dua buah, satu masih utuh dan lainnya rusak, dengan panjang 17,9 sentimeter dan berat sekitar 300 gram. Semua disimpan oleh pemerintah, sebagian jadi koleksi museum dan sisanya dilelang.
Meski belakangan lelang gagal dan tidak menghasilkan profit, setidaknya langkah te¬robosan ini telah menciutkan nyali pemburu. Pesan¬nya jelas, pemerintah serius menangani aset budaya bawah air. “Kita harus berani,” kata Junus tegas.