Arkeologi Bawah Laut Nusantara

By , Senin, 7 Maret 2011 | 16:00 WIB

Kunjungan ke alas laut bukan hal baru bagi Riyadi, penyelam tradisional Bangka. Bermukim di perkampungan nelayan Sadai, ujung selatan pulau, darah lelaki keturunan Bugis ini seakan telah larut dengan asinnya air laut. Dibantu alat-alat selam sederhana, seperti masker, tabung zat asam, selang dan sebuah kompresor, ia terjun ke laut tanpa dihantui cemas.

Lelaki 45 tahun ini memilih menjadi pem¬buru harta karun karena alasan ekonomi. Untuk itu, ia mengandalkan bakat alam dan pengalaman. Berbahaya atau tidak, soal kedua. “Alhamdulillah, selama ini saya terhindar dari maut yang selalu mengancam,” ungkap lelaki bertubuh ceking ini. Karena, menurut dia, ada dua bahaya yang selalu menunggu: diterkam makhluk laut atau kehabisan zat asam, seperti dialami ayahnya yang juga seorang pemburu.!break!

Sekitar tahun 1990-an, hampir seluruh anak muda di Sadai berprofesi sebagai pencari harta karun. Tak heran lantaran Sadai terkenal dengan “penyelam kompresor”-nya yang andal. Tidak sedikit nelayan yang kaya mendadak karena profesi itu. “Walaupun hanya berbekal sepotong informasi,” kata Riyadi. Ya, informasi nelayan kerap menjadi rujukan paling potensial buat mencari lokasi kapal karam bagi pencari harta karun profesional. Riyadi ingat betul, pada masa-masa itu banyak kapal dengan perlengkapan modern mondar-mandir di pekarangan lautnya.

Soal informasi nelayan, Alejandro Mirabel Jorge, arkeolog dari Arquenautus Worldwide Portugas, rekanan PT Bangun Bahari Nusantara yang melakukan pemetaan lokasi kapal karam di Bangka, menyakini itu sebagai rujukan penting. “Biasanya buat memastikan,” kata Alejandro. Tapi, lanjut Alejandro, banyak pula situs arkeologi bawah air yang rusak lantaran ulah nelayan yang bersalin profesi sebagai pencari harta dasar laut. “Di sejumlah situs di Bangka, banyak sisa jejak nelayan jenis ini,” katanya. “Salah satunya sisa dinamit.”

Soal dinamit, Riyadi mengakui. Meski ia sendiri belum pernah melakukan, ayahnya pernah mencoba. Tanpa benda ini, para pe¬nyelam tak mungkin menerobos ke dalam ruangan kapal yang karam. Buat mencari lokasi kapal karam, Riyadi tidak menggunakan detektor logam, cukup dengan besi berani atau magnet yang kuat. Terikat pada kawat baja, magnet itu diulur sampai menyentuh dasar laut, kemudian ditarik dengan kapal motor yang hilir mudik. Nah, bila tersentuh badan kapal, pasti magnet akan melekat. Tapi jika badan kapal terbuat dari kayu, menurut Mohamad Said, juga penyelam tradisional Sadai, “caranya hampir sama, tapi menggunakan jangkar.”

Mencari kapal karam, kini bukan lagi pe¬kerjaan menarik buat anak muda Sadai. Selain tidak seleluasa 20 tahun silam, pekerjaan ini terlalu berisiko. Kini, warga menggunakan pe¬nge¬tahuan nautika dan keahlian “selam kompresor” buat memasang bubu—kerangkeng perangkap ikan—yang diselipkan di antara karang di dasar laut. “Atau menjadi ne¬layan timah,” kata Ahmad Rifai, ketua perkumpulan nelayan Sadai. “Itu lebih menjanjikan.”!break!

Dua buah mangkuk berbibir gripis yang tertempeli karang dan binatang mati itu diangkat perlahan. Sebelumnya lokasi mangkuk diukur dari datum point. Begitu pun sejumlah uang Tiongkok yang berjarak dua meter arah barat dari mangkuk. Ketiga artefak ini dimasukkan ke dalam kantung jaring bertali yang melilit di pergelangan Yuri. Setelah 15 menit, kami menyeruak ke udara Bangka yang mulai hangat. Sebuah kapal karet menyambut. Satu persatu anggota tim naik, dan langsung menuju Discovery: kapal sepanjang 35 meter milik Historical-Nautical Archaeology Foundation yang disewa oleh Arquenautus Worldwide Portugas. Di sinilah semua contoh artefak dari situs bawah air dianalisis, diukur, dan didokumentasikan.

Discovery adalah potret nyata gagapnya Indonesia menangani warisan budaya bawah laut. Bagaimana tidak? Survei, pemetaan, dan pengangkatan muatan kapal karam ini semuanya dikomandani orang asing. Jangan¬kan kemampuan memetakan isi perut laut,  Indonesia juga tidak memiliki kapal yang mumpuni buat mengendus lokasi kapal karam. Supratikno Rahardjo mengamini. “Dibanding negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia yang paling ‘buncit’,” jelas staf pengajar Arkeologi Maritim, Universitas Indonesia ini. “Indonesia masih pada tataran teori,” imbuh Supratikno. Padahal, buat melahirkan sumber daya manusia yang kuat, teori dan praktik harus beriringan.

Saat ini, hanya ada empat universitas yang menyelenggarakan kuliah arkeo¬logi; Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanudin, dan Universitas Udayana. Tapi belum semuanya mengembangkan arkeologi bawah air. Di buritan Discovery, di atas meja, artefak hasil survei tersusun rapi. Alejandro serius mengamati setumpuk koin Tiongkok. Sesekali ia memerhatikan mangkuk berwarna hijau yang tak utuh itu. “Saya perkirakan benda ini berasal dari abad 14 masehi,” jelasnya yakin. Alasannya jelas, komoditas itu adalah barang yang populer diperdagangkan sekitar tahun 1250 hingga 1350 Masehi. Melihat teknologi pembuatan keramik, diduga berasal dari provinsi Zheijang, China.

Hanya itu yang bisa terjelaskan. Sedangkan bentuk kapal, besaran atau malah asalnya gelap. Tidak ada lagi kepingan sejarah yang bisa disusun buat merunut peta pelayaran dagang Nusantara. Semua hilang, atau tepatnya hancur.

Saya memandang permukaan laut Bangka yang tenang dengan takjub. Sesekali berusaha menebak rahasia di balik riaknya. Mungkinkah bangkai kapal karam beserta muatannya masih ada yang terselamatkan? Atau tinggal kumpulan puing sisa jarahan pemburu harta karun?