Prahara di Taman Nirwana

By , Senin, 31 Oktober 2011 | 14:22 WIB

Sang mwami (sebutan untuk ketua, atau kepala) masih ingat saat dia menjadi “raja”. Keputusannya selalu disetujui, kekuasaannya mutlak. Sejak 1954, seperti ayah dan kakeknya, dia adalah pemimpin masyarakat Bashali di Distrik Masisi, padang gembala berbukit-bukit di Republik Demokrasi Kongo (DRC) bagian timur. Meskipun namanya Sylvestre Bashali Mokoto, para pemimpin lain menyebutnya doyen saja—artinya yang paling senior. Pada se­bagian besar masa dewasanya, para pendatang baru memberinya hewan ternak atau hadiah lain­nya. Sebagai balasan, dia membagi-bagikan tanah yang menurutnya layak diberikan.!break!

Kini sang pemimpin duduk di sofa kotor di sebuah rumah kumuh di Goma, kota yang ber­jarak beberapa jam di selatan Masisi. Wilayah kekuasaannya sekarang menjadi pusat krisis ke­manusiaan. Kongo timur diserbu ribuan warga Tutsi, Hutu, dan Hunde yang bertikai perihal lahan yang diakui sebagai milik sah mereka, oleh pasukan milisi yang berniat menguasai la­han dengan tangan besi, oleh para peternak yang mencari padang gembala yang tidak terlalu dipadati ternak, oleh gerombolan pengungsi dari semua penjuru Afrika Timur yang subur dan rawan oleh padatnya penduduk yang men­cari tempat berteduh di mana saja asal dapat bertahan hidup. Beberapa tahun yang lalu, ang­gota pasukan pemberontak merampas lahan milik sang mwami seluas 80 hektare, me­maksanya menyelamatkan diri ke gubuknya di Goma, dengan penuh nista dan khawatir akan keselamatan dirinya.

Kota itu sangat padat dan rawan. Dua dasa­warsa yang lalu, penduduk Goma mungkin hanya 50.000 orang. Sekarang paling sedikit jum­lah­nya 20 kali lipat. Para lelaki bersenjata yang berpakaian seragam berpatroli di jalanan kumuh tanpa penerangan, tanpa pemimpin. Dari hutan, orang berbondong-bondong ke pasar di kota, setiap saat, mengangkut arang dalam karung-karung besar dengan naik sepeda atau skuter kayu yang disebut chukudus. Di utara batas kota terdapat gunung api Nyiragongo yang masih aktif dan terakhir kali meletus pada 2002; saat itu laharnya mengalir deras melanda kota dan menyapu bersih kawasan bisnis Goma. Di tepi selatan kota terdapat kawah perak Danau Kivu—begitu sarat dengan karbon dioksida dan metana sehingga sejumlah ilmuwan mem­perkirakan letupan gas di danau itu suatu hari kelak dapat menewaskan semua penduduk Goma dan sekitarnya.

Sang mwami, seperti banyak orang yang tidak seberuntung dirinya, tidak punya pilihan lagi. Sorot matanya memancarkan kesendirian seorang bangsawan. Namun, meskipun me­nge­na­kan manset dan berjanggut abu-abu yang rapi, dia bukanlah pemimpin di Goma ini. Dia hanyalah Sylvestre Mokoto, orang yang tidak lagi memiliki tanah untuk dibagi-bagikan. “Ya, tentu saja kekuasaan saya sangat terpengaruh,” sang mwami menjawab dengan ketus.

Kawasan itu telah menjadi ajang kekerasan dahsyat selama beberapa dasawarsa terakhir: pem­bunuhan dan penculikan puluhan ribu orang di Uganda utara, pembantaian lebih dari satu juta orang di Rwanda dan Burundi, di­ikuti oleh dua perang di Kongo timur; yang terakhir disebut perang Afrika Raya karena be­gitu banyak negara tetangga yang terlibat, yang diperkirakan menewaskan lebih dari lima juta orang, sebagian besar karena penyakit dan kelaparan—perang paling mematikan sejak Perang Dunia II. Konflik bersenjata yang dimulai di satu negara meluas melampaui per­batasan dan berubah menjadi perang yang melibatkan pasukan lain, sementara pe­merintahan di kawasan itu masing-masing men­dukung berbagai kelompok pemberontak, sejumlah pasukan milisi—LRA, FDLR, CNDP, RCD, AFDL, MLC, dan seterusnya—saling bersaing merebut kekuasaan dan sumber daya di salah satu bentang alam terkaya di Afrika.

Kekerasan mengerikan yang melanda tem­pat ini mustahil dapat dipahami orang luar. Yang pasti, geografi ikut berperan. Jika kita meniadakan garis perbatasan Uganda, DRC, Rwanda, Burundi, dan Tanzania, tampak jelas satu hal yang sama-sama dimiliki berbagai ke­kuasaan politik itu: bentang alam yang di­bentuk oleh kekuatan dahsyat pergeseran lempeng tektonik. Sistem Lembah Afrika Timur membelah dua tanduk Afrika itu—lempeng Nubia ke barat bergerak menjauhi lempeng Somalia ke timur—kemudian bercabang dan mengikuti salah satu sisi Uganda.

Lembah barat meliputi pegunungan Virunga dan Rwenzori serta beberapa danau besar di Afrika, yaitu lembah dalam yang dipenuhi air. Lembah Albertine (dari nama Danau Albert)—lipatan geologi sepanjang 1.480 kilometer di hutan dataran tinggi, pegunungan yang puncak­nya bersalju, sabana, rangkaian danau, dan lahan basah—adalah kawasan paling subur dan paling beragam hayatinya di benua Afrika, habitat gorila, okapi, singa, kuda nil, dan gajah, puluhan spesies burung dan ikan langka, belum lagi aneka mineral yang berlimpah, mulai dari emas dan timah hingga unsur utama mikrocip yang disebut coltan. Pada abad ke-19, para penjelajah asal Eropa seperti David Livingstone dan John Hanning Speke datang ke sini untuk mencari hulu Sungai Nil. Mereka terpesona memandang bentangan tetumbuhan yang tumbuh subur dan danau yang sangat luas.

Paradoks Lembah Albertine adalah bahwa kekayaan berlimpah yang diperebutkan itu menyusut begitu cepat. Orang berduyun-duyun mendatangi kawasan ini karena lahan vulkaniknya yang subur, curah hujannya yang tinggi, keragaman hayatinya, dan ketinggiannya, yang membuatnya tidak cocok bagi nyamuk malaria dan nyamuk tsetse beserta penyakit yang mereka bawa. Dengan melesatnya jumlah populasi, semakin banyak pula hutan yang di­babat untuk lahan pertanian dan peng­gembalaan. Bahkan, pada abad ke-19, taman firdaus yang memukau para pengunjungnya itu sudah mengundang pertanyaan: Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang?Pertanyaan itu kini membebani se­tiap jengkal tanah di Lembah Albertine, yang tingkat ke­suburannya termasuk yang paling baik di du­nia, dan tempat meletusnya kekerasan antar­manusia dan dengan satwa—dalam adegan mengerikan perebutan lahan, gelombang arus pengungsi, perkosaan massal, dan taman nasional yang dijarah. Padahal, itulah satu-satunya tempat berlindung di Bumi bagi margasatwa.!break!

Orang yang diduga pembunuh singa duduk di dekat pesisir Danau George dan me­mainkan permainan papan yang semarak ber­nama omweso dengan salah seorang rekan­nya sesama peternak. Dia menengadah, mem­perkenalkan diri sebagai Eirfazi Wanama, dan berkata bahwa dia tidak dapat memberi tahu usianya dan jumlah anaknya. “Orang Afrika tidak pernah menghitung jumlah anak,” ujar­nya, “karena kalian muzungu tidak ingin kami memiliki banyak anak.” Muzungu adalah juluk­an orang kulit putih di bagian dunia ini. Wanama menyeringai dan berkata, “Anda tidak perlu bicara berputar-putar. Ada singa tewas di sini, dan jagawana datang tengah malam, lalu menangkap saya.”

Pada akhir Mei 2010, dua jagawana di Taman Nasional Queen Elizabeth di Uganda melihat sekawanan burung nazar sedang berkerumun di suatu padang di dalam taman, sekitar 1,5 kilo­meter dari desa Hamukungu tempat ting­gal Wanama dan menemukan bangkai lima ekor singa yang diracun. Di dekatnya terlihat dua bangkai sapi yang disaput dengan pestisida berwarna kebiruan. Penyelidikan awal mengarah ke Wanama; tersangka lainnya melarikan diri. “Saya ditahan sehari,” ujar Wanama. “Saya di­lepaskan dari penyelidikan. Saya tidak kabur.”

Hamukungu berada dalam garis batas taman, dengan populasi singa sebagai daya tarik utama wisatawan; jumlah singa menyusut 40 persen dalam waktu kurang dari satu dasawarsa. “Jum­lah penduduk desa meningkat,” kata Wilson Ka­goro, pengawas pelestarian komunitas taman, “seperti juga jumlah hewan ternak. Dan hal ini menimbulkan konflik besar antara mereka dan kami. Mereka menyelinap ke dalam taman saat larut malam untuk menggembalakan ter­nak. Ketika hal ini terjadi, kawanan singa me­nyergap hewan ternak itu.” Dan, karena meng­gembalakan ternak di taman itu ilegal, para peternak tidak berhak mengklaim kerugian atas kematian ternak mereka. Namun, tidak ber­arti mereka tidak berdaya sama sekali. “Ka­mi mengandalkan kasih sayang Tuhan,” kata Wanama ketika saya menanyakan berapa banyak orang yang bisa bertahan, padahal lahan mereka sangat sempit. “Pembuatan taman nasional ini membuat kami sangat melarat! Oranglah yang harus tinggal di lahan itu!” Ini keluhan yang lazim dilontarkan di pedesaan padat itu.

Taman Nasional Virunga di Kongo timur—taman tertua di Afrika, didirikan pada 1925—adalah salah satu yang paling terancam karena banyak orang yang bermukim di dalam garis batasnya. Daerah pedesaan, yang pernah di­penuhi megafauna yang memesona, sekarang sepi. Pondok penginapan wisatawan diruntuhkan. Sejak pembantaian penduduk Rwanda pada 1994, kebanyakan taman ditutup untuk wisatawan.

Taman itu menjadi medan perang. Rodrigue Mugaruka adalah pengawas sektor tengah Virunga, Rwindi. Dia mantan tentara anak yang pada 1997 ikut menggulingkan Mobutu Sese Seko, diktator DRC (saat itu bernama Zaire) yang lama berkuasa. Di Kongo timur, keadaan vakum sepeninggal Mobutu menimbulkan per­saingan sengit di antara pasukan negara lain dan berbagai milisi yang mengincar emas, arang, timah, dan coltan. Sekarang Mugaruka bertempur melawan pasukan milisi—disebut pejuang Mai-Mai—yang mengendalikan pe­nangkapan ikan dan produksi arang ilegal di banyak desa yang secara acak menghuni ba­gian dalam taman di pantai barat Danau Edward. Belum lama ini dia merebut kembali sektor miliknya dari ribuan tentara Kongo yang bermarkas di situ untuk melawan pasukan milisi. Karena pemerintah jarang menggaji para tentara ini,  mereka berburu margasatwa untuk dimakan dagingnya.