Prahara di Taman Nirwana

By , Senin, 31 Oktober 2011 | 14:22 WIB

Sang mwami (sebutan untuk ketua, atau kepala) masih ingat saat dia menjadi “raja”. Keputusannya selalu disetujui, kekuasaannya mutlak. Sejak 1954, seperti ayah dan kakeknya, dia adalah pemimpin masyarakat Bashali di Distrik Masisi, padang gembala berbukit-bukit di Republik Demokrasi Kongo (DRC) bagian timur. Meskipun namanya Sylvestre Bashali Mokoto, para pemimpin lain menyebutnya doyen saja—artinya yang paling senior. Pada se­bagian besar masa dewasanya, para pendatang baru memberinya hewan ternak atau hadiah lain­nya. Sebagai balasan, dia membagi-bagikan tanah yang menurutnya layak diberikan.!break!

Kini sang pemimpin duduk di sofa kotor di sebuah rumah kumuh di Goma, kota yang ber­jarak beberapa jam di selatan Masisi. Wilayah kekuasaannya sekarang menjadi pusat krisis ke­manusiaan. Kongo timur diserbu ribuan warga Tutsi, Hutu, dan Hunde yang bertikai perihal lahan yang diakui sebagai milik sah mereka, oleh pasukan milisi yang berniat menguasai la­han dengan tangan besi, oleh para peternak yang mencari padang gembala yang tidak terlalu dipadati ternak, oleh gerombolan pengungsi dari semua penjuru Afrika Timur yang subur dan rawan oleh padatnya penduduk yang men­cari tempat berteduh di mana saja asal dapat bertahan hidup. Beberapa tahun yang lalu, ang­gota pasukan pemberontak merampas lahan milik sang mwami seluas 80 hektare, me­maksanya menyelamatkan diri ke gubuknya di Goma, dengan penuh nista dan khawatir akan keselamatan dirinya.

Kota itu sangat padat dan rawan. Dua dasa­warsa yang lalu, penduduk Goma mungkin hanya 50.000 orang. Sekarang paling sedikit jum­lah­nya 20 kali lipat. Para lelaki bersenjata yang berpakaian seragam berpatroli di jalanan kumuh tanpa penerangan, tanpa pemimpin. Dari hutan, orang berbondong-bondong ke pasar di kota, setiap saat, mengangkut arang dalam karung-karung besar dengan naik sepeda atau skuter kayu yang disebut chukudus. Di utara batas kota terdapat gunung api Nyiragongo yang masih aktif dan terakhir kali meletus pada 2002; saat itu laharnya mengalir deras melanda kota dan menyapu bersih kawasan bisnis Goma. Di tepi selatan kota terdapat kawah perak Danau Kivu—begitu sarat dengan karbon dioksida dan metana sehingga sejumlah ilmuwan mem­perkirakan letupan gas di danau itu suatu hari kelak dapat menewaskan semua penduduk Goma dan sekitarnya.

Sang mwami, seperti banyak orang yang tidak seberuntung dirinya, tidak punya pilihan lagi. Sorot matanya memancarkan kesendirian seorang bangsawan. Namun, meskipun me­nge­na­kan manset dan berjanggut abu-abu yang rapi, dia bukanlah pemimpin di Goma ini. Dia hanyalah Sylvestre Mokoto, orang yang tidak lagi memiliki tanah untuk dibagi-bagikan. “Ya, tentu saja kekuasaan saya sangat terpengaruh,” sang mwami menjawab dengan ketus.

Kawasan itu telah menjadi ajang kekerasan dahsyat selama beberapa dasawarsa terakhir: pem­bunuhan dan penculikan puluhan ribu orang di Uganda utara, pembantaian lebih dari satu juta orang di Rwanda dan Burundi, di­ikuti oleh dua perang di Kongo timur; yang terakhir disebut perang Afrika Raya karena be­gitu banyak negara tetangga yang terlibat, yang diperkirakan menewaskan lebih dari lima juta orang, sebagian besar karena penyakit dan kelaparan—perang paling mematikan sejak Perang Dunia II. Konflik bersenjata yang dimulai di satu negara meluas melampaui per­batasan dan berubah menjadi perang yang melibatkan pasukan lain, sementara pe­merintahan di kawasan itu masing-masing men­dukung berbagai kelompok pemberontak, sejumlah pasukan milisi—LRA, FDLR, CNDP, RCD, AFDL, MLC, dan seterusnya—saling bersaing merebut kekuasaan dan sumber daya di salah satu bentang alam terkaya di Afrika.

Kekerasan mengerikan yang melanda tem­pat ini mustahil dapat dipahami orang luar. Yang pasti, geografi ikut berperan. Jika kita meniadakan garis perbatasan Uganda, DRC, Rwanda, Burundi, dan Tanzania, tampak jelas satu hal yang sama-sama dimiliki berbagai ke­kuasaan politik itu: bentang alam yang di­bentuk oleh kekuatan dahsyat pergeseran lempeng tektonik. Sistem Lembah Afrika Timur membelah dua tanduk Afrika itu—lempeng Nubia ke barat bergerak menjauhi lempeng Somalia ke timur—kemudian bercabang dan mengikuti salah satu sisi Uganda.

Lembah barat meliputi pegunungan Virunga dan Rwenzori serta beberapa danau besar di Afrika, yaitu lembah dalam yang dipenuhi air. Lembah Albertine (dari nama Danau Albert)—lipatan geologi sepanjang 1.480 kilometer di hutan dataran tinggi, pegunungan yang puncak­nya bersalju, sabana, rangkaian danau, dan lahan basah—adalah kawasan paling subur dan paling beragam hayatinya di benua Afrika, habitat gorila, okapi, singa, kuda nil, dan gajah, puluhan spesies burung dan ikan langka, belum lagi aneka mineral yang berlimpah, mulai dari emas dan timah hingga unsur utama mikrocip yang disebut coltan. Pada abad ke-19, para penjelajah asal Eropa seperti David Livingstone dan John Hanning Speke datang ke sini untuk mencari hulu Sungai Nil. Mereka terpesona memandang bentangan tetumbuhan yang tumbuh subur dan danau yang sangat luas.

Paradoks Lembah Albertine adalah bahwa kekayaan berlimpah yang diperebutkan itu menyusut begitu cepat. Orang berduyun-duyun mendatangi kawasan ini karena lahan vulkaniknya yang subur, curah hujannya yang tinggi, keragaman hayatinya, dan ketinggiannya, yang membuatnya tidak cocok bagi nyamuk malaria dan nyamuk tsetse beserta penyakit yang mereka bawa. Dengan melesatnya jumlah populasi, semakin banyak pula hutan yang di­babat untuk lahan pertanian dan peng­gembalaan. Bahkan, pada abad ke-19, taman firdaus yang memukau para pengunjungnya itu sudah mengundang pertanyaan: Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang?Pertanyaan itu kini membebani se­tiap jengkal tanah di Lembah Albertine, yang tingkat ke­suburannya termasuk yang paling baik di du­nia, dan tempat meletusnya kekerasan antar­manusia dan dengan satwa—dalam adegan mengerikan perebutan lahan, gelombang arus pengungsi, perkosaan massal, dan taman nasional yang dijarah. Padahal, itulah satu-satunya tempat berlindung di Bumi bagi margasatwa.!break!

Orang yang diduga pembunuh singa duduk di dekat pesisir Danau George dan me­mainkan permainan papan yang semarak ber­nama omweso dengan salah seorang rekan­nya sesama peternak. Dia menengadah, mem­perkenalkan diri sebagai Eirfazi Wanama, dan berkata bahwa dia tidak dapat memberi tahu usianya dan jumlah anaknya. “Orang Afrika tidak pernah menghitung jumlah anak,” ujar­nya, “karena kalian muzungu tidak ingin kami memiliki banyak anak.” Muzungu adalah juluk­an orang kulit putih di bagian dunia ini. Wanama menyeringai dan berkata, “Anda tidak perlu bicara berputar-putar. Ada singa tewas di sini, dan jagawana datang tengah malam, lalu menangkap saya.”

Pada akhir Mei 2010, dua jagawana di Taman Nasional Queen Elizabeth di Uganda melihat sekawanan burung nazar sedang berkerumun di suatu padang di dalam taman, sekitar 1,5 kilo­meter dari desa Hamukungu tempat ting­gal Wanama dan menemukan bangkai lima ekor singa yang diracun. Di dekatnya terlihat dua bangkai sapi yang disaput dengan pestisida berwarna kebiruan. Penyelidikan awal mengarah ke Wanama; tersangka lainnya melarikan diri. “Saya ditahan sehari,” ujar Wanama. “Saya di­lepaskan dari penyelidikan. Saya tidak kabur.”

Hamukungu berada dalam garis batas taman, dengan populasi singa sebagai daya tarik utama wisatawan; jumlah singa menyusut 40 persen dalam waktu kurang dari satu dasawarsa. “Jum­lah penduduk desa meningkat,” kata Wilson Ka­goro, pengawas pelestarian komunitas taman, “seperti juga jumlah hewan ternak. Dan hal ini menimbulkan konflik besar antara mereka dan kami. Mereka menyelinap ke dalam taman saat larut malam untuk menggembalakan ter­nak. Ketika hal ini terjadi, kawanan singa me­nyergap hewan ternak itu.” Dan, karena meng­gembalakan ternak di taman itu ilegal, para peternak tidak berhak mengklaim kerugian atas kematian ternak mereka. Namun, tidak ber­arti mereka tidak berdaya sama sekali. “Ka­mi mengandalkan kasih sayang Tuhan,” kata Wanama ketika saya menanyakan berapa banyak orang yang bisa bertahan, padahal lahan mereka sangat sempit. “Pembuatan taman nasional ini membuat kami sangat melarat! Oranglah yang harus tinggal di lahan itu!” Ini keluhan yang lazim dilontarkan di pedesaan padat itu.

Taman Nasional Virunga di Kongo timur—taman tertua di Afrika, didirikan pada 1925—adalah salah satu yang paling terancam karena banyak orang yang bermukim di dalam garis batasnya. Daerah pedesaan, yang pernah di­penuhi megafauna yang memesona, sekarang sepi. Pondok penginapan wisatawan diruntuhkan. Sejak pembantaian penduduk Rwanda pada 1994, kebanyakan taman ditutup untuk wisatawan.

Taman itu menjadi medan perang. Rodrigue Mugaruka adalah pengawas sektor tengah Virunga, Rwindi. Dia mantan tentara anak yang pada 1997 ikut menggulingkan Mobutu Sese Seko, diktator DRC (saat itu bernama Zaire) yang lama berkuasa. Di Kongo timur, keadaan vakum sepeninggal Mobutu menimbulkan per­saingan sengit di antara pasukan negara lain dan berbagai milisi yang mengincar emas, arang, timah, dan coltan. Sekarang Mugaruka bertempur melawan pasukan milisi—disebut pejuang Mai-Mai—yang mengendalikan pe­nangkapan ikan dan produksi arang ilegal di banyak desa yang secara acak menghuni ba­gian dalam taman di pantai barat Danau Edward. Belum lama ini dia merebut kembali sektor miliknya dari ribuan tentara Kongo yang bermarkas di situ untuk melawan pasukan milisi. Karena pemerintah jarang menggaji para tentara ini,  mereka berburu margasatwa untuk dimakan dagingnya.

Upaya Mugaruka untuk menegakkan per­aturan taman tidak digubris oleh puluhan ribu warga Kongo yang menyelamatkan diri dari daerah konflik dan bermukim di pedesaan. Di dusun nelayan Vitshumbi, sang pengawas me­merintahkan para jagawana mencacah, me­nyiramkan bensin, lalu membakar beberapa perahu nelayan tak berizin, jaring ilegal, dan berkarung-karung arang, sementara penduduk desa hanya bisa menatap dengan getir. Dengan perahu nelayan yang penyok akibat tembakan senjata, dia mengajak kami ke desa Lulimbi, dan dari situ kami berkendara ke Sungai Ishasha yang berbatasan dengan Uganda; di situ 96 persen populasi kuda nil milik taman dijagal sejak 1976 dan dagingnya dijual oleh pasukan milisi. Kemudian, kami menuju subsektor Gu­nung Tshiaberimu, dan di situ pasukan bersenjata berpatroli 24 jam sehari untuk me­lindungi 15 ekor gorila dataran rendah timur dari pasukan milisi dan penduduk desa yang dihasut oleh para politisi untuk mengklaim lahan taman.Rodrigue Mugaruka tahu bahwa dirinya di­incar. Mai-Mai—dan para pengusaha Kongo yang mendanai mereka—mengincarnya. “Tujuan mereka adalah mengusir kami keluar dari taman untuk selamanya,” kata sang pe­ngawas. “Ketika kami menyita perahu dan ja­ring, para pengusaha itu berkata kepada Mai-Mai, ‘Sebelum kita menebar jaring lagi, kalian harus membunuh seorang jagawana.’ Tiga orang jagawana saya ditemukan tewas di danau. Jika dihitung di seluruh daerah ini, lebih dari 20 jagawana telah menjadi korban.”

Januari yang lalu, anak buah Mugaruka di­serang dengan granat roket oleh pasukan milisi di jalan menuju pusat taman. Tiga jagawana dan lima tentara Kongo tewas. Tidak lama kemu­dian, pejabat pemerintah menerima petisi yang ditandatangani 100.000 penduduk desa yang menuntut agar Taman Nasional Virunga dikurangi luasnya sebesar hampir 90 persen. Para pengaju petisi memberi pemerintah waktu tiga bulan untuk membebaskan lahan, yang di­klaim sebagai milik mereka. Setelah itu, petisi tersebut mengingatkan, penduduk desa akan berladang di dalam taman—dan melindungi kegiatan mereka dengan senjata.

“Kami butuh lahan!” Juru bicaranya me­ngaku bernama Charles, 24 tahun, duduk di atas gelondongan kayu yang baru ditebang di hutan, sambil memegang parang. Dia tidak berhak berada di situ, di Suaka Hutan Kagombe, Uganda. Tetapi, mungkin dia justru punya hak. Diperlukan tidak kurang dari perintah presiden untuk menghentikan pe­ngusiran para pelanggar batas suaka hutan dan lahan basah.

Charles dan beberapa pemuda desa yang men­jadi perintis pindah ke hutan itu pada 2006. “Selama ini kami menempati lahan milik orang tua kami, tetapi sudah ter­lalu padat,” katanya. “Kami dengar orang berbicara tentang mendapatkan lahan gratis dengan cara ini.” Kelompok migran Bakiga sudah mulai ber­mukim di Kagombe, dan ketika National Forestry Authority mencoba mengusir mereka, Presiden Uganda, Yoweri Museveni—yang juga menghadapi pemilu untuk masa jabatan kedua—mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang pengusiran. Akibatnya, beberapa poli­tisi daerah mendesak kaum pribumi Banyoro, termasuk Charles dan teman-temannya, untuk merebut lahan hutan juga agar jangan sampai seluruh Kagombe akhirnya dihuni pendatang.

Charles dan teman-temannya masing-masing mendapatkan sekitar tiga hektare lahan hutan dan mulai membabatnya. Mereka membangun pondok beratap rumbia, gudang penyimpanan makanan, jalan, dan gereja. Mereka menanam jagung, pisang, singkong, dan kentang. Lalu, mereka mendatangkan istri mereka ke situ dan mulai beranak-pinak. Sekarang, Charles adalah salah satu dari sekitar 3.000 penghuni suaka hutan. “Kami makmur di sini,” katanya.!break!

Sementara itu, hutan kadang terlihat se­per­ti lahan kosong berasap karena orang mem­bakarnya untuk dijadikan ladang. Ke­rusak­an­nya tidak hanya di permukaan: Kagombe berfungsi sebagai salah satu dari serangkaian hutan penghubung yang mencakup koridor marga­satwa untuk simpanse dan fauna lain. Seperti yang diamati oleh Sarah Prinsloo dari Wildlife Conservation Society, “Kesehatan populasi marga­satwa di taman-taman ini bergantung pada koridor seperti Kagombe.” Perusakan habitat ikut berperan dalam menyusutkan populasi fauna di seluruh kawasan itu. Di Ka­gom­be saja, kebanyakan margasatwa diburu sampai mereka keluar dari situ.

Bagaimana mungkin lahan kaya raya ini sampai jadi lahan jarahan massal? Jika kita meng­gali sejarahnya lebih dalam, ternyata Lembah Albertine dibentuk oleh gagasan keliru tentang jati diri penduduknya. Bukti arkeologi dan bahasa menunjukkan bahwa pada awal 500 SM berbagai suku bermigrasi ke kawasan itu dan membentuk masyarakat heterogen yang menggunakan beberapa bahasa Bantu yang bermiripan dan mencari nafkah dengan bertani dan beternak. Pada abad ke-15, beberapa kerajaan yang terpusat seperti Bunyoro dan Rwanda muncul, bersama dengan kelompok gembala eksklusif, yang membedakan diri mereka dengan petani melalui cara berpakaian dan pola makan yang mengandung susu, daging, dan darah. Seiring waktu, para gembala ini men­jadi semakin berbeda dengan penduduk lain, dan pengaruh mereka pun meluas.

Pada waktu penjelajah asal Eropa, John Hanning Speke, tiba pada akhir abad ke-19, dia tercengang menemukan sejumlah kerajaan yang sangat terorganisasi, lengkap dengan pengadilan dan diplomat. Dia memperkirakan para gembala kalangan atas, yang dikenal sebagai Hima atau Tutsi, adalah ras superior kelompok Nilot (dari Etiopia masa kini) yang menyerbu Danau Besar dan menaklukkan kelompok yang menurut pan­dang­an­nya adalah petani Bantu kaum pribumi kelas bawah, seperti Iru atau Hutu. “Peradaban di Danau Besar itu menyanggah pandangan rasialis yang merendahkan kecendekiaan dan kemampuan bangsa Afrika,” ujar ahli arkeologi Andrew Reid. Cerita penyerbuan ke­lompok Nilot adalah cara untuk menutup-nutup­i ke­beradaan kerajaan modern di jantung Afrika itu. Satu-satunya masalah: Hal itu tidak benar.

Namun, hal itu tidak menyebabkan Tutsi dan kalangan atas lainnya berhenti mengumbar kisah tentang asal-usul mereka yang eksotis untuk semakin membedakan diri mereka dari mayoritas Hutu. Dan setelah Afrika Timur ter­cerai-berai dikuasai sejumlah kekuatan Eropa pada akhir abad ke-19, bangsa Jerman dan Belgia dengan gembira mendukung tatanan ma­sya­rakat yang tampaknya seperti hierarki sosial yang wajar dan berpihak kepada kaum yang mereka yakini superior, yakni Tutsi.

Meskipun perbedaan fisik sering disebut-sebut antara kedua kelompok itu—orang Tutsi berperawakan lebih tinggi, berkulit lebih terang, dan berbibir lebih tipis daripada orang Hutu—amatlah sulit membedakan keduanya sehingga pada 1933 penguasa Belgia memutuskan untuk menerbitkan kartu identitas: Sebanyak 15 persen yang memiliki hewan ternak atau ciri fisik ter­tentu ditetapkan sebagai Tutsi, sisanya dianggap Hutu. Kartu identitas ini, yang secara resmi me­netapkan sistem kasta yang memecahkan satu bangsa menjadi dua, digunakan pada saat genosida Rwanda untuk memutuskan siapa yang dibiarkan hidup dan siapa yang harus dibunuh.

Namun, genosida Rwanda jelas bukan sekadar akibat kebencian antarsuku Hutu-Tutsi. Tahun-tahun terakhir abad ke-20 menyeruakkan ke­nyataan yang membuat kita sadar bahwa Lem­bah Albertine memang tidak memadai un­tuk mencukupi kebutuhan semua orang. Peningkatan populasi yang mencemaskan terjadi bersamaan dengan merosotnya harga kopi dan teh pada 1980-an, menyebabkan kekurangan yang parah; kemiskinan menyebabkan lahan juga semakin rusak. Mekipun memang benar bahwa penduduk negara seperti Belanda sama padatnya dengan Rwanda sekarang, negeri itu memetik manfaat dari pertanian berhasil-tinggi yang menggunakan mesin. Ketergantungan Rwanda pada pertanian subsisten tradisional menyiratkan bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi adalah dengan pindah ke lahan yang bahkan lebih terpencil.!break!

Ahli ekonomi Belgia, Catherine André dan Jean-Philippe Platteau meneliti pertikaian lahan di suatu wilayah di Rwanda sebelum ter­jadinya genosida dan mendapati semakin banyak orang berjuang keras memberi makan keluarga mereka dari lahan yang sempit. Dengan mewawancarai penduduk setelah genosida, para peneliti mendapati sudah sangat lazim mendengar warga Rwanda berdebat, “perang diperlukan untuk mengurangi jumlah penduduk, supaya jumlahnya sesuai dengan sumber daya lahan yang tersedia.”

André dan Platteau tidak mengatakan bahwa genosida adalah kejadian tak terelakkan akibat padatnya populasi, mengingat pembunuhan itu jelas dihasut oleh keputusan para politisi yang haus kekuasaan. Namun, sejumlah ilmuwan, termasuk ahli sejarah asal Prancis, Gérard Prunier, yakin bahwa kelangkaan lahan merupakan salah satu faktor pembunuhan mas­sal itu. Singkatnya, genosida itu membuat orang Hutu yang tidak punya tanah menjadi punya alasan untuk memulai perang saudara.

Seorang wanita bernama Faida me­nangis tanpa suara saat teringat kejadian yang me­nimpanya setahun yang lalu. Perawakannya mu­ngil, dengan mata sayu dan suara lirih nya­ris tak terdengar. Dia memegang surat dari suami­nya, yang menyuruhnya meninggalkan rumah me­reka karena sang suami khawatir dia tertulari virus HIV dari para lelaki pemerkosanya.

Pada hari nahas itu, Faida berada di jalan yang biasa dilaluinya setelah bekerja di ladang kacang tanah. Dia biasa berjalan satu setengah jam ke pasar di Minova, Desa Sasha di Kongo, sambil memanggul buntalan kacang, lalu pulang membawa kayu bakar. Faida berusia 32 tahun waktu itu, berasal dari suku Hunde, bersuami dan punya enam anak, dan selama 16 tahun melakukan perjalanan yang sama. Dia mengira tidak mungkin ada orang berani menyerang perempuan di siang hari bolong.

Ketiga lelaki itu pemberontak Hutu. Faida ber­usaha lari, tetapi beban di punggungnya sangat berat. Para lelaki itu menyuruhnya memilih, mau hidup atau mati. Sekarang dia dan anak-anaknya tinggal di rumah tetangganya, dan tidak bisa bekerja. Suaminya kawin lagi. Cedera fisiknya sangat parah. “Saya benar-benar menderita,” katanya. “Tolong beri saya obat.”

Sekitar 200.000 wanita di Kongo diperkosa antara 1996 dan 2008, dan lebih dari 8.000 orang di provinsi kawasan timur di Kivu Utara dan Kivu Selatan pada 2009 saja. Meskipun muncul perhatian dunia internasional setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pada 2009, perkosaan masih saja terjadi. “Karena lokasinya sebagai tempat ber­kumpul­nya pasukan pemberontak, Shasha me­rupakan tempat terburuk di kawasan itu dan menjadi tempat perkosaan massal,” ujar Marie Gorette, aktivis perempuan. “Mereka meng­gunakan perkosaan sebagai senjata untuk meng­hancurkan satu generasi.”

Saya berada di Rwanda ketika mobil saya mo­gok. Seorang lelaki berhenti dan me­nawar­kan bantuan untuk mengantarkan saya sejauh 100 kilometer lagi ke Kigali. “Kalau saja Anda wanita Kongo, Anda menghadapi masalah besar,” katanya sambil tertawa.

Lelaki berusia 41 tahun itu bernama Samuel, seorang tukang kayu. Menurut standar kawasan itu, keluarga Samuel termasuk kecil. “Hanya empat anak,” katanya. Untuk biaya sekolah, Samuel menghabiskan Rp600.000 per anak per tahun. “Bagi saya, pen­didikan adalah jalan keluar.” Lelaki berwajah lebar itu tersenyum dan berkata, “Saya optimistis tentang negara saya. Masa depan pasti cerah.”

Presiden Rwanda, Paul Kagame, memang ber­hasil men­ciptakan sta­bilitas dan per­tumbuhan ekonomi. Namun, sejumlah ahli sejarah me­mandang rezimnya sebagai pemerintahan pe­nindas yang berpihak kepada kaum mino­ritas Tutsi. Dia menuai kritik pedas perihal pe­langgaran HAM terhadap para pembangkang, juga karena menggunakan ke­lom­pok paramiliter untuk mengalihkan kekayaan dari Kongo timur ke Rwanda.

Meski demikian, tidak terbantahkan banyak­nya keberhasilan Kagame. Rwanda kini adalah salah satu negara teraman dan paling stabil di bagian Afrika ini. Jalanan diaspal, bentang alam dibenahi, dan pemerintah meluncurkan program ambisius untuk melestarikan sedikit hutan yang masih tersisa di Rwanda. Sebuah undang-undang diloloskan Juni lalu, yang mem­berikan ganti rugi atas setiap hewan ternak—atau manusia—yang cedera atau tewas oleh se­rangan margasatwa. Dan ratusan ribu hektare milik tuan tanah kaya raya di Provinsi Timur negara itu secara cerdas dibagikan kembali ke­pada warga pada 2008, sebelum pemilihan ulang Kagame—meskipun sang presiden dan kroninya tetap memiliki tanah yang luas.Rwanda pun menangani angka kesuburannya yang tinggi dengan program KB intensif.

Akan tetapi, meski angka kesuburan Rwanda turun, populasinya masih tetap tiga kali lipat populasi sebelum genosida 1994. Untuk memberi makan warga yang jumlahnya terus membengkak dan melindungi margasatwa yang masih tersisa di taman nasionalnya, Rwanda harus memikirkan cara menghasilkan pangan jauh lebih banyak di lahan yang jauh lebih sempit—sebuah tugas yang tidak mudah.

“Keluarga rata-rata dengan empat anak hanya memiliki lahan sedikit di atas 2.000 meter persegi,” ujar Pierre Ruzirabwoba, direktur Lembaga Penelitian dan Dialog untuk Perdamaian Rwanda. “Dan tentu saja anak-anak itu akan punya keturunan kelak. Di mana mereka harus menanam bahan pangan? Lahan sempit itu sudah terlalu sering digarap dan sudah tidak subur lagi. Saya khawatir akan segera meletus perang lagi.”