André dan Platteau tidak mengatakan bahwa genosida adalah kejadian tak terelakkan akibat padatnya populasi, mengingat pembunuhan itu jelas dihasut oleh keputusan para politisi yang haus kekuasaan. Namun, sejumlah ilmuwan, termasuk ahli sejarah asal Prancis, Gérard Prunier, yakin bahwa kelangkaan lahan merupakan salah satu faktor pembunuhan massal itu. Singkatnya, genosida itu membuat orang Hutu yang tidak punya tanah menjadi punya alasan untuk memulai perang saudara.
Seorang wanita bernama Faida menangis tanpa suara saat teringat kejadian yang menimpanya setahun yang lalu. Perawakannya mungil, dengan mata sayu dan suara lirih nyaris tak terdengar. Dia memegang surat dari suaminya, yang menyuruhnya meninggalkan rumah mereka karena sang suami khawatir dia tertulari virus HIV dari para lelaki pemerkosanya.
Pada hari nahas itu, Faida berada di jalan yang biasa dilaluinya setelah bekerja di ladang kacang tanah. Dia biasa berjalan satu setengah jam ke pasar di Minova, Desa Sasha di Kongo, sambil memanggul buntalan kacang, lalu pulang membawa kayu bakar. Faida berusia 32 tahun waktu itu, berasal dari suku Hunde, bersuami dan punya enam anak, dan selama 16 tahun melakukan perjalanan yang sama. Dia mengira tidak mungkin ada orang berani menyerang perempuan di siang hari bolong.
Ketiga lelaki itu pemberontak Hutu. Faida berusaha lari, tetapi beban di punggungnya sangat berat. Para lelaki itu menyuruhnya memilih, mau hidup atau mati. Sekarang dia dan anak-anaknya tinggal di rumah tetangganya, dan tidak bisa bekerja. Suaminya kawin lagi. Cedera fisiknya sangat parah. “Saya benar-benar menderita,” katanya. “Tolong beri saya obat.”
Sekitar 200.000 wanita di Kongo diperkosa antara 1996 dan 2008, dan lebih dari 8.000 orang di provinsi kawasan timur di Kivu Utara dan Kivu Selatan pada 2009 saja. Meskipun muncul perhatian dunia internasional setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pada 2009, perkosaan masih saja terjadi. “Karena lokasinya sebagai tempat berkumpulnya pasukan pemberontak, Shasha merupakan tempat terburuk di kawasan itu dan menjadi tempat perkosaan massal,” ujar Marie Gorette, aktivis perempuan. “Mereka menggunakan perkosaan sebagai senjata untuk menghancurkan satu generasi.”
Saya berada di Rwanda ketika mobil saya mogok. Seorang lelaki berhenti dan menawarkan bantuan untuk mengantarkan saya sejauh 100 kilometer lagi ke Kigali. “Kalau saja Anda wanita Kongo, Anda menghadapi masalah besar,” katanya sambil tertawa.
Lelaki berusia 41 tahun itu bernama Samuel, seorang tukang kayu. Menurut standar kawasan itu, keluarga Samuel termasuk kecil. “Hanya empat anak,” katanya. Untuk biaya sekolah, Samuel menghabiskan Rp600.000 per anak per tahun. “Bagi saya, pendidikan adalah jalan keluar.” Lelaki berwajah lebar itu tersenyum dan berkata, “Saya optimistis tentang negara saya. Masa depan pasti cerah.”
Presiden Rwanda, Paul Kagame, memang berhasil menciptakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, sejumlah ahli sejarah memandang rezimnya sebagai pemerintahan penindas yang berpihak kepada kaum minoritas Tutsi. Dia menuai kritik pedas perihal pelanggaran HAM terhadap para pembangkang, juga karena menggunakan kelompok paramiliter untuk mengalihkan kekayaan dari Kongo timur ke Rwanda.
Meski demikian, tidak terbantahkan banyaknya keberhasilan Kagame. Rwanda kini adalah salah satu negara teraman dan paling stabil di bagian Afrika ini. Jalanan diaspal, bentang alam dibenahi, dan pemerintah meluncurkan program ambisius untuk melestarikan sedikit hutan yang masih tersisa di Rwanda. Sebuah undang-undang diloloskan Juni lalu, yang memberikan ganti rugi atas setiap hewan ternak—atau manusia—yang cedera atau tewas oleh serangan margasatwa. Dan ratusan ribu hektare milik tuan tanah kaya raya di Provinsi Timur negara itu secara cerdas dibagikan kembali kepada warga pada 2008, sebelum pemilihan ulang Kagame—meskipun sang presiden dan kroninya tetap memiliki tanah yang luas.Rwanda pun menangani angka kesuburannya yang tinggi dengan program KB intensif.
Akan tetapi, meski angka kesuburan Rwanda turun, populasinya masih tetap tiga kali lipat populasi sebelum genosida 1994. Untuk memberi makan warga yang jumlahnya terus membengkak dan melindungi margasatwa yang masih tersisa di taman nasionalnya, Rwanda harus memikirkan cara menghasilkan pangan jauh lebih banyak di lahan yang jauh lebih sempit—sebuah tugas yang tidak mudah.
“Keluarga rata-rata dengan empat anak hanya memiliki lahan sedikit di atas 2.000 meter persegi,” ujar Pierre Ruzirabwoba, direktur Lembaga Penelitian dan Dialog untuk Perdamaian Rwanda. “Dan tentu saja anak-anak itu akan punya keturunan kelak. Di mana mereka harus menanam bahan pangan? Lahan sempit itu sudah terlalu sering digarap dan sudah tidak subur lagi. Saya khawatir akan segera meletus perang lagi.”