Prahara di Taman Nirwana

By , Senin, 31 Oktober 2011 | 14:22 WIB

Upaya Mugaruka untuk menegakkan per­aturan taman tidak digubris oleh puluhan ribu warga Kongo yang menyelamatkan diri dari daerah konflik dan bermukim di pedesaan. Di dusun nelayan Vitshumbi, sang pengawas me­merintahkan para jagawana mencacah, me­nyiramkan bensin, lalu membakar beberapa perahu nelayan tak berizin, jaring ilegal, dan berkarung-karung arang, sementara penduduk desa hanya bisa menatap dengan getir. Dengan perahu nelayan yang penyok akibat tembakan senjata, dia mengajak kami ke desa Lulimbi, dan dari situ kami berkendara ke Sungai Ishasha yang berbatasan dengan Uganda; di situ 96 persen populasi kuda nil milik taman dijagal sejak 1976 dan dagingnya dijual oleh pasukan milisi. Kemudian, kami menuju subsektor Gu­nung Tshiaberimu, dan di situ pasukan bersenjata berpatroli 24 jam sehari untuk me­lindungi 15 ekor gorila dataran rendah timur dari pasukan milisi dan penduduk desa yang dihasut oleh para politisi untuk mengklaim lahan taman.Rodrigue Mugaruka tahu bahwa dirinya di­incar. Mai-Mai—dan para pengusaha Kongo yang mendanai mereka—mengincarnya. “Tujuan mereka adalah mengusir kami keluar dari taman untuk selamanya,” kata sang pe­ngawas. “Ketika kami menyita perahu dan ja­ring, para pengusaha itu berkata kepada Mai-Mai, ‘Sebelum kita menebar jaring lagi, kalian harus membunuh seorang jagawana.’ Tiga orang jagawana saya ditemukan tewas di danau. Jika dihitung di seluruh daerah ini, lebih dari 20 jagawana telah menjadi korban.”

Januari yang lalu, anak buah Mugaruka di­serang dengan granat roket oleh pasukan milisi di jalan menuju pusat taman. Tiga jagawana dan lima tentara Kongo tewas. Tidak lama kemu­dian, pejabat pemerintah menerima petisi yang ditandatangani 100.000 penduduk desa yang menuntut agar Taman Nasional Virunga dikurangi luasnya sebesar hampir 90 persen. Para pengaju petisi memberi pemerintah waktu tiga bulan untuk membebaskan lahan, yang di­klaim sebagai milik mereka. Setelah itu, petisi tersebut mengingatkan, penduduk desa akan berladang di dalam taman—dan melindungi kegiatan mereka dengan senjata.

“Kami butuh lahan!” Juru bicaranya me­ngaku bernama Charles, 24 tahun, duduk di atas gelondongan kayu yang baru ditebang di hutan, sambil memegang parang. Dia tidak berhak berada di situ, di Suaka Hutan Kagombe, Uganda. Tetapi, mungkin dia justru punya hak. Diperlukan tidak kurang dari perintah presiden untuk menghentikan pe­ngusiran para pelanggar batas suaka hutan dan lahan basah.

Charles dan beberapa pemuda desa yang men­jadi perintis pindah ke hutan itu pada 2006. “Selama ini kami menempati lahan milik orang tua kami, tetapi sudah ter­lalu padat,” katanya. “Kami dengar orang berbicara tentang mendapatkan lahan gratis dengan cara ini.” Kelompok migran Bakiga sudah mulai ber­mukim di Kagombe, dan ketika National Forestry Authority mencoba mengusir mereka, Presiden Uganda, Yoweri Museveni—yang juga menghadapi pemilu untuk masa jabatan kedua—mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang pengusiran. Akibatnya, beberapa poli­tisi daerah mendesak kaum pribumi Banyoro, termasuk Charles dan teman-temannya, untuk merebut lahan hutan juga agar jangan sampai seluruh Kagombe akhirnya dihuni pendatang.

Charles dan teman-temannya masing-masing mendapatkan sekitar tiga hektare lahan hutan dan mulai membabatnya. Mereka membangun pondok beratap rumbia, gudang penyimpanan makanan, jalan, dan gereja. Mereka menanam jagung, pisang, singkong, dan kentang. Lalu, mereka mendatangkan istri mereka ke situ dan mulai beranak-pinak. Sekarang, Charles adalah salah satu dari sekitar 3.000 penghuni suaka hutan. “Kami makmur di sini,” katanya.!break!

Sementara itu, hutan kadang terlihat se­per­ti lahan kosong berasap karena orang mem­bakarnya untuk dijadikan ladang. Ke­rusak­an­nya tidak hanya di permukaan: Kagombe berfungsi sebagai salah satu dari serangkaian hutan penghubung yang mencakup koridor marga­satwa untuk simpanse dan fauna lain. Seperti yang diamati oleh Sarah Prinsloo dari Wildlife Conservation Society, “Kesehatan populasi marga­satwa di taman-taman ini bergantung pada koridor seperti Kagombe.” Perusakan habitat ikut berperan dalam menyusutkan populasi fauna di seluruh kawasan itu. Di Ka­gom­be saja, kebanyakan margasatwa diburu sampai mereka keluar dari situ.

Bagaimana mungkin lahan kaya raya ini sampai jadi lahan jarahan massal? Jika kita meng­gali sejarahnya lebih dalam, ternyata Lembah Albertine dibentuk oleh gagasan keliru tentang jati diri penduduknya. Bukti arkeologi dan bahasa menunjukkan bahwa pada awal 500 SM berbagai suku bermigrasi ke kawasan itu dan membentuk masyarakat heterogen yang menggunakan beberapa bahasa Bantu yang bermiripan dan mencari nafkah dengan bertani dan beternak. Pada abad ke-15, beberapa kerajaan yang terpusat seperti Bunyoro dan Rwanda muncul, bersama dengan kelompok gembala eksklusif, yang membedakan diri mereka dengan petani melalui cara berpakaian dan pola makan yang mengandung susu, daging, dan darah. Seiring waktu, para gembala ini men­jadi semakin berbeda dengan penduduk lain, dan pengaruh mereka pun meluas.

Pada waktu penjelajah asal Eropa, John Hanning Speke, tiba pada akhir abad ke-19, dia tercengang menemukan sejumlah kerajaan yang sangat terorganisasi, lengkap dengan pengadilan dan diplomat. Dia memperkirakan para gembala kalangan atas, yang dikenal sebagai Hima atau Tutsi, adalah ras superior kelompok Nilot (dari Etiopia masa kini) yang menyerbu Danau Besar dan menaklukkan kelompok yang menurut pan­dang­an­nya adalah petani Bantu kaum pribumi kelas bawah, seperti Iru atau Hutu. “Peradaban di Danau Besar itu menyanggah pandangan rasialis yang merendahkan kecendekiaan dan kemampuan bangsa Afrika,” ujar ahli arkeologi Andrew Reid. Cerita penyerbuan ke­lompok Nilot adalah cara untuk menutup-nutup­i ke­beradaan kerajaan modern di jantung Afrika itu. Satu-satunya masalah: Hal itu tidak benar.

Namun, hal itu tidak menyebabkan Tutsi dan kalangan atas lainnya berhenti mengumbar kisah tentang asal-usul mereka yang eksotis untuk semakin membedakan diri mereka dari mayoritas Hutu. Dan setelah Afrika Timur ter­cerai-berai dikuasai sejumlah kekuatan Eropa pada akhir abad ke-19, bangsa Jerman dan Belgia dengan gembira mendukung tatanan ma­sya­rakat yang tampaknya seperti hierarki sosial yang wajar dan berpihak kepada kaum yang mereka yakini superior, yakni Tutsi.

Meskipun perbedaan fisik sering disebut-sebut antara kedua kelompok itu—orang Tutsi berperawakan lebih tinggi, berkulit lebih terang, dan berbibir lebih tipis daripada orang Hutu—amatlah sulit membedakan keduanya sehingga pada 1933 penguasa Belgia memutuskan untuk menerbitkan kartu identitas: Sebanyak 15 persen yang memiliki hewan ternak atau ciri fisik ter­tentu ditetapkan sebagai Tutsi, sisanya dianggap Hutu. Kartu identitas ini, yang secara resmi me­netapkan sistem kasta yang memecahkan satu bangsa menjadi dua, digunakan pada saat genosida Rwanda untuk memutuskan siapa yang dibiarkan hidup dan siapa yang harus dibunuh.

Namun, genosida Rwanda jelas bukan sekadar akibat kebencian antarsuku Hutu-Tutsi. Tahun-tahun terakhir abad ke-20 menyeruakkan ke­nyataan yang membuat kita sadar bahwa Lem­bah Albertine memang tidak memadai un­tuk mencukupi kebutuhan semua orang. Peningkatan populasi yang mencemaskan terjadi bersamaan dengan merosotnya harga kopi dan teh pada 1980-an, menyebabkan kekurangan yang parah; kemiskinan menyebabkan lahan juga semakin rusak. Mekipun memang benar bahwa penduduk negara seperti Belanda sama padatnya dengan Rwanda sekarang, negeri itu memetik manfaat dari pertanian berhasil-tinggi yang menggunakan mesin. Ketergantungan Rwanda pada pertanian subsisten tradisional menyiratkan bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi adalah dengan pindah ke lahan yang bahkan lebih terpencil.!break!

Ahli ekonomi Belgia, Catherine André dan Jean-Philippe Platteau meneliti pertikaian lahan di suatu wilayah di Rwanda sebelum ter­jadinya genosida dan mendapati semakin banyak orang berjuang keras memberi makan keluarga mereka dari lahan yang sempit. Dengan mewawancarai penduduk setelah genosida, para peneliti mendapati sudah sangat lazim mendengar warga Rwanda berdebat, “perang diperlukan untuk mengurangi jumlah penduduk, supaya jumlahnya sesuai dengan sumber daya lahan yang tersedia.”