Ladang Pemulihan

By , Rabu, 28 Desember 2011 | 12:44 WIB

Sambil berhati-hati menyeka dengan jarinya untuk menghilangkan tanah yang menempel, Aki Ra menunjukkan ranjau darat hijau yang terku­bur lima sentimeter di jalan tanah. Ranjau itu ditanam Khmer Merah sekitar 15 tahun lalu di jalur pedati di barat laut Kamboja—kawasan paling padat ranjaunya di salah satu negara dengan ranjau terbanyak di dunia. !break!

“Ini jenis Bouncing Betty 69 buatan China,” kata Aki Ra, napasnya mengembun pada kaca helmnya yang tahan ledakan. Bouncing Betty adalah julukan orang Amerika untuk ranjau darat yang memantul menjadi pecahan-pecahan. Tekanan injakan kaki menye­bab­kannya terlempar keluar dari tanah dan kemudian meledak, menyemburkan kepingan-kepingan ranjau ke semua jurusan. Ini dapat merobek kaki semua anggota regu.

Aki Ra yang bersuara lembut bak malaikat tahu betul cara kerja Bouncing Betty dan juga setiap jenis ranjau. Pada pertengahan 1970-an, ketika usianya baru lima tahun, Khmer Merah memisahkannya dari orang tuanya dan membawanya ke hutan beserta anak-anak yatim piatu lainnya.

Pol Pot, komandan Khmer Merah, mem­buat negara itu kacau balau, menutup sekolah, rumah sakit, pabrik, bank, dan biara; mengeksekusi guru dan pebisnis; dan memaksa jutaan warga kota bekerja dalam ladang dan kamp kerja paksa. Tangan-tangan kecil anak-anak seperti Aki Ra adalah alat yang berharga. Ia dilatih menanam ranjau darat, menjinakkan dan mendekonstruksi ranjau musuh, dan menggunakan kembali TNT untuk apa yang sekarang disebut alat peledak yang diimprovisasi (IED).

Beberapa tahun kemudian, ketika pasukan Viet­nam menyerbu Kamboja, mereka memaksa Aki Ra bergabung dengan tentara Vietnam, dan ia dipaksa bertempur melawan mereka yang dulu menangkapnya. Ketika pasukan penjaga per­damaian PBB tiba pada tahun 1992, ia telah tinggal di hutan selama 15 tahun. Ia bergabung dengan PBB sebagai penjinak ranjau.

Ketika pasukan perdamaian PBB itu pergi dua tahun kemudian, banyak tanah pertanian terbaik—kebun sayur mayur, padang rumput, sawah—yang masih mengandung ranjau. Petani yang berusaha mendapatkan kembali ladang mereka, tubuhnya hancur berkeping-keping. Selama satu setengah dekade, dengan hanya menggunakan pisau dan tongkat, Aki Ra bekerja sebagai penjinak ranjau tanpa bayaran, ia mematikan ranjau ketimbang meledak­kannya, menyelamatkan satu meter persegi untuk negaranya setiap kali ia bekerja. Me­nu­rut perhitungannya, ia telah menjinakkan sekitar 50.000 alat: ranjau ledak, ranjau antitank, ranjau lambung, dan alat peledak lainnya.

“Saya menemukan banyak ranjau yang saya tanam,” katanya dengan nada antara bangga dan malu yang saling bertentangan.  !break!

Sekarang sebagai penjinak ranjau ber­sertifikat, ia memiliki regunya sendiri, tim Penjinak Bom Swakarsa Kamboja, yang turut didirikan oleh AS. Para penjinak bom menggunakan detektor metal khusus untuk mencari alat peledak.

Peluh bercucuran di wajah Aki Ra saat ia dengan hati-hati meletakkan alat peledak kecil di samping ranjau darat itu, memasang kawat, dan merentangkan kabel tipis sepanjang seratus meter. Seperti halnya organisasi penjinak ranjau resmi, tim Aki Ra tak hanya menjinakkan ranjau, tetapi juga meledakkannya di tempat. Berjongkok di balik pohon, ia menekan tombol merah. Ledakannya menakutkan.

Dalam peperangan yang membara di Kamboja dari 1970 sampai 1998, semua pihak menggunakan ranjau darat. Terdapat lebih dari 30 jenis. Sebagian besar buatan China, Rusia atau Vietnam, sebagian kecil dibuat di AS.

Pol Pot, yang rezimnya bertanggung jawab atas kematian sekitar 1,7 juta penduduk Kamboja antara 1975 dan 1979, dikabarkan menyebut ranjau darat sebagai “tentara yang sempurna.” Mereka tak pernah tidur. Mereka menunggu, dengan kesabaran tak terbatas.

Meskipun merupakan senjata perang, ranjau darat tidak seperti peluru dan bom karena dua hal yang khusus. Pertama, mereka dirancang untuk melumpuhkan dan bukannya membunuh, sebab tentara yang terluka memerlukan bantuan dua atau tiga orang lainnya, sehingga mengurangi jumlah pasukan musuh. Kedua, dan yang paling jahat, ketika perang berakhir, ranjau darat masih terkubur di tanah, ditanam untuk meledak. Hanya 25 persen korban ranjau darat di seluruh dunia adalah tentara. Sisanya adalah warga sipil.

Meskipun memiliki sejarah yang me­ngerikan, Kamboja kini menjadi teladan bagaimana suatu bangsa dapat pulih dari bencana ranjau darat. Terdapat lebih dari selusin program penjinakan ranjau, pendidikan risiko ranjau darat, dan bantuan bagi penyintas di negara itu. Jumlah lelaki, perempuan dan anak-anak yang terbunuh atau terluka setiap tahun karena ranjau, sisa-sisa peralatan perang, atau IED, telah menurun jauh dari 4.320 pada 1996 dan menjadi 286 pada 2010.