Ladang Pemulihan

By , Rabu, 28 Desember 2011 | 12:44 WIB

Ladang ranjau utama telah dipetakan dan secara sistematis tengah dijinakkan. Bahkan ada Museum Ranjau Darat Kamboja, yang didirikan oleh Aki Ra. Terletak di luar Siem Reap, ibu kota provinsi, museum ini memamerkan ranjau dan artileri yang telah dinonaktifkan. !break!

Di seluruh dunia, jutaan ranjau ditanam di hampir 80 negara dan kawasan—dari Angola hingga Afganistan, Vietnam hingga Zimbabwe. Itu berarti satu dari tiga negara. Banyak di antaranya yang mengikuti contoh Kamboja. Tahun 2002 hampir 12.000 orang di seluruh dunia dilaporkan tewas atau cacat karena ranjau darat atau alat peledak lainnya.

Sejak itu, jumlah korban tahunan menurun hinga kurang dari 4.200. Perbaikan yang dramatis ini  merupakan hasil langsung Kesepakatan Pelarangan Ranjau yang ditandatangani di Ottawa, Kanada, tahun 1997, suatu persetujuan internasional yang melarang penggunaan, pembuatan, atau pengiriman ranjau darat dan menyerukan kewajiban untuk menghancurkan ranjau yang ada. Saat ini 157 negara menjadi pihak dalam kesepakatan itu, termasuk Afghanistan, Liberia, Nikaragua, and Rwanda; tetapi 39 negara menolak bergabung, termasuk China, Rusia, Korea Utara, dan AS.

Posisi Amerika rumit. Amerika Serikat tidak menggunakan ranjau darat antipersonel sejak 1991, tidak mengekspornya sejak 1992, dan tidak memproduksinya sejak 1997. Tetapi negara itu memiliki stok sekitar 10 juta ranjau darat, dan sebelum 1990-an, Amerika telah mengekspor 4,4 juta ranjau darat antipersonel, jumlah ranjau darat yang ada di dalam tanah tak diketahui. Ian Kelly, juru bicara Departemen Luar Negeri, menggambarkan posisi AS pada 2009: “Kami tak bisa memenuhi kebutuhan pertahanan nasional atau komitmen keamanan kepada teman dan sekutu kami kalau kami menandatangani konvensi ini.”

Meskipun menolak menandatangani ke­sepakatan itu, AS lebih giat dalam usahanya menentang ranjau daripada negara lain, menghabiskan sekitar Rp17,1 triliun selama 18 tahun terakhir melalui Program Aksi Ranjau Untuk Kemanusiaan (Humanitarian Mine Action). Terdapat penekanan khusus untuk membantu Kamboja, yang telah menerima lebih dari sekitar Rp720 miliar sejak 1993.

Seperti halnya di banyak negara lain, se­bagian besar ranjau di Kamboja dijinakkan dengan tangan. Mesin penjinak ranjau—mesin sebesar dinosaurus yang mengorek bumi se­dalam 30 sentimeter—terlalu mahal. Hanya ada tiga yang digunakan bersama sekitar 50 anjing yang dilatih untuk mengendus ranjau. Tetapi pada akhirnya, manusialah yang harus mengeluarkannya dari dalam tanah.

Operasi penjinakan ranjau memiliki proto­kol yang ketat. Mengenakan rompi anti peluru yang berat, berkerah tinggi, pelindung selangkangan, dan helm berkaca tebal. Satu tim yang terdiri atas 10 hingga 25 penjinak ranjau berjajar di pinggiran ladang ranjau dengan peralatan kebun dan detektor logam. Bergerak maju di lajur selebar satu meter, mereka mula-mula membersihkan tetumbuhan dari setiap blok seluas satu meter persegi, lalu menyapu tanah dengan detektor itu. Mereka bekerja keras selama hujan lebat dan panas  menyengat, menggerakkan detektor di tanah, mendengarkan bunyi tiiit dari detektor.

Gajinya memadai untuk ukuran Kamboja—se­kitar Rp1,4-2,25 juta sebulan—tapi uang bukanlah motivasi utama. Ketika Hong Cheat berusia lima atau enam tahun, sapi yang tengah ia gembalakan menginjak ranjau. Ledakan itu menewaskan ibu dan ayahnya dan menghilangkan kaki kanannya. Dia bertahan hidup di jalanan Phnom Penh sebagai pengemis ketika Aki Ra mengadopsi dan melatihnya menjadi penjinak ranjau.

“Saya suka menjinakkan ranjau darat,” kata Cheat. “Saya tak ingin melihat orang seperti saya lagi di negara saya.”!break!

Ada harapan baru yang merebak di seluruh Kamboja. Negara itu menjadi tempat di mana Anda dapat memimpikan kehidupan yang lebih baik—dan kadang mimpi itu menjadi kenyataan. Tanya saja Puteri Ranjau Darat Kamboja (Miss Landmine Cambodia).

Dos Sopheap, perempuan muda yang berasal dari Provinsi Battambang, kehilangan kakinya pada usia enam tahun. Ayahnya, yang ketika itu adalah tentara, menggendong gadis itu dalam pelukannya melewati hutan di waktu malam ketika seseorang di depan mereka terantuk  jebakan ranjau. Kakinya diamputasi hingga di atas lutut, dan ia selalu menggunakan tongkat dan kaki palsu.

Dengan iringan tepuk tangan keluarganya yang menangis terharu, Sopheap mencoba kaki palsu barunya yang terbuat dari titanium dengan berkeliling di halaman rumahnya yang beralaskan tanah. Seperti layaknya ratu kecantikan, ia mengenakan gaun mengembang berwarna persik yang menyala bagaikan bunga mawar menjelang tenggelamnya mentari. Sau­dara perempuannya yang kembar masing-masing memegang lengannya, sementara ia berjalan kaku dalam lingkaran-lingkaran.