Ladang Pemulihan

By , Rabu, 28 Desember 2011 | 12:44 WIB

Sembilan kali dalam beberapa tahun terakhir, Mao memenangkan lomba lari internasional Angkor Wat sepuluh kilometer dengan kaki palsu, yang mulai diselenggarakan sejak 1996 untuk menolong penyintas ranjau darat.

Ia berlari tak hanya untuk memenangkan lomba, tetapi berlari menenangkan pikirannya. Ia sebelumnya sering menderita sakit kepala karena terlalu banyak berpikir tentang masa lalu. “Kini saya berfokus mencari uang hanya untuk satu hari, makan hanya untuk satu hari,” ujarnya seraya hampir tersenyum.

Mao adalah anak petani berusia 15 tahun ke­tika ia diculik oleh Khmer Merah. Tentara me­nyeretnya ke dalam hutan dekat perbatasan Thailand, memaksanya memanggul amunisi dan menolak memberinya makan. Suatu pagi ia melihat ada buah di pohon. Kemudian hal yang diingatnya adalah terbaring di atas lumpur, darah di mana-mana. Pohon itu dipasangi jebakan ranjau. “Saya tak dapat membandingkan rasa sakit itu dengan apa pun,” Mao mendesah. “Saya mati di sana.”

Tiga hari kemudian, tak sadarkan diri te­tapi masih hidup, ia ditemukan oleh tentara lain, yang menggotongnya ke rumah sakit di seberang per­batasan Thailand. Dokter meng­amputasi kakinya di ba­wah lutut. Ketika kem­bali ke Kamboja, ia mengikuti keterampilan yang di­spon­sori Handicap International. Di sanalah ia bertemu Ouch Vun, yang kelak menjadi istrinya.

Sekarang pasangan itu tinggal di Phnom Penh pusat dengan anak perempuannya dan se­puluh penyewa rumah lainnya. Gubuk mereka beratapkan seng, didirikan dengan tonggak-tonggak penyangga di atas rawa dengan sampah yang mengambang. Dinding dalamnya dilapisi dengan kertas yang berasal dari halaman majalah budaya pop. Medali lomba Mao ter­gantung di belakang TV.

Ketika saya berkunjung, Regina, anak mereka yang berusia tujuh tahun, menawari saya sebotol air. Ouch Vun berjalan tertatih-tatih, kemudian menaruh kipas angin listrik yang berputar-putar di hadapan saya. Lalu dengan canggung mengencangkan sarung yang menutupi kaki palsunya. Vun sangat pemalu sehingga jarang ber­bicara. Ia bercerita bahwa kaki kanannya han­cur pada 1990 ketika ia tengah menggali emas bersama keluarganya. “Ketika dokter memotong kaki saya, saya menangis berbulan-bulan,” katanya.

Mao mengusap-usap rambut Regina, Vun me­­nyentuh lembut lengannya. Tak seperti orang tuanya ketika seumurnya, Regina ber­­jalan tanpa rasa takut menderita nasib serupa.

Seminggu kemudian, di Desember pagi, ratusan orang bersorak pada pembukaan lomba lari sepuluh kilometer Angkor Wat. Ini adalah lokasi tepat bagi lomba semacam ini, yang terbesar di Kamboja, dengan pelari sejumlah 50 orang atau lebih. Reruntuhan yang terkenal ini pernah juga ditanami ranjau darat. Sekarang Angkor Wat adalah satu dari destinasi wisata terpopuler di dunia. Ketika San Mao pertama kali muncul, te­pukan tangan dan sorakan semakin menjadi-jadi. Ke­ringat membasahi rambut hitamnya yang di­potong pendek; wajahnya yang bulat tenang bagaikan Buddha.

Entah apakah ia tahu atau tidak, Mao adalah penge­­jawantahan suatu negara yang m­e­ngalahkan masa lalunya. Kakinya, yang satu ter­­buat dari otot dan tulang, dan lainnya dari serat kaca yang meliuk, bagaikan sayap. Ketika kaki-kaki itu membawanya melewati garis akhir, warga Kamboja meledak dalam sorak-sorai kegembiraan.