Ladang Pemulihan

By , Rabu, 28 Desember 2011 | 12:44 WIB

Bertarung melawan 19 perempuan lain yang juga kehilangan kakinya, Sopheap memenangkan gelar Puteri Ranjau Darat Kamboja 2009 melalui pengambilan suara lewat Internet, berdasarkan fotonya. Ia mendapat hadiah uang tunai sebesar sekitar Rp9 juta dan kaki palsu canggih senilai sekitar Rp135 juta. Kontes kecantikan ini diadakan oleh Morten Traavik, sutradara eksentrik teater Norwegia, yang me­ngadakan kontes pertama sejenis di Angola tahun 2008.

Masyarakat bukanlah satu-satunya korban ran­jau darat. Perekonomian negara juga lum­puh. Lebih dari 60 persen penduduk Kamboja adalah petani. Jika tak bekerja di ladang karena ranjau, mereka tak dapat memperoleh penghasilan, dan tak dapat menghidupi ke­luarga. Ini adalah satu sebab mengapa begitu banyak negara lain yang keracunan ranjau dan harus berjuang lama setelah berakhirnya konflik senjata.

“Terdapat hubungan yang jelas antara konta­minasi ranjau dan kemiskinan,” kata Jamie Franklin dari Mines Advisory Group (MAG), salah satu kelompok penting yang aktif dalam o­pe­rasi penjinakan ranjau di Kamboja.

Franklin memiliki peta besar negara itu di dinding kantor­nya di Phnom Penh. Setengahnya, pada bagian sebelah timur, dipenuhi titik merah dan ungu, menunjukkan serangan bom AS selama Perang Vietnam. Setengahnya lagi, pada bagian sebelah barat, ditandai dengan ratusan kotak kuning, menandakan ladang ranjau.

Artileri yang tidak meledak dan ladang ran­jau adalah hambatan terbesar bagi peningkatan produksi pertanian, yang oleh pemerintah di­anggap perlu bagi pembangunan dan pe­mulihan ekonomi. MAG telah mengeluarkan ranjau dari ribuan hektare tanah yang ter­kontaminasi selama dua dekade terakhir ini, termasuk desa Prey Pros di Kamboja tengah. !break!

Thath Khiev, kepala desa, mengayun-ayun­kan bayi telanjang di lututnya. Tujuh belas tahun yang lalu, dunia mereka sangatlah ber­beda. “Kami dulu tak punya cukup makanan untuk dimakan,” Khiev berkata kepada saya. “Kami tak dapat menanam padi di tanah kami sendiri karena tentara-tentara itu telah menanamkan ranjau.” Prey Pros dulunya adalah garnisun untuk pasukan pemerintah Kamboja.

Untuk menghantam Khmer Merah, jembatan dan sawah dipenuhi ranjau. Bahkan, jalan setapak di desa itu juga ditanami ranjau.  MAG membersihkan daerah sekitar Prey Pros dari ranjau pada 1994 dan 1995, me­nyingkirkan 379 ranjau antipersonel dan 32 artileri yang belum meledak.

“Sekarang kami dapat berjalan dengan aman ke sawah dan bekerja dengan bebas tanpa merasa takut akan ranjau,” kata Khiev. Sambil melemparkan cucu lelakinya ke udara, ia menambahkan, “aman untuk anak-anak. Kalau ingin berenang di sungai, di danau, mereka bisa.”

Setelah desa dan sawah seperti Prey Pros bersih dari ranjau, ekonomi Kamboja tumbuh lebih kuat. Pada 1999, yang merupakan tahun perdamaian penuh pertama, Kam­boja memiliki pendapatan nasional bruto (GNI) sekitar Rp90 triliun dan pendapatan per kapita tahunan sekitar Rp7,4 juta; 11 tahun kemudian, pada 2010, GNI hampir meningkat tiga kali lipat jadi sekitar Rp261 triliun, dan pendapatan per kapita meningkat dua kali lipat lebih jadi sekitar Rp18,4 juta.

Sejak 1992, pembersihan ranjau telah dila­kukan pada tanah seluas 700 kilometer persegi, tapi masih ada 650 kilometer persegi tanah yang terkontaminasi. Sekarang ini, 60 hingga 80 kilometer persegi dibersihkan setiap tahunnya, yang berarti diperlukan satu dekade lagi untuk membebaskan Kamboja dari ranjau dan alat peledak lainnya.

Meskipun para penjinak bom masih sibuk, Kamboja tak lagi merupakan bangsa yang mengalami kehancuran. “Sekarang kita punya masa depan,” kata San Mao.!break!

Bertubuh pendek dan berotot, Mao adalah pelari elite. Ia bangun pukul empat setiap pagi untuk berlatih, berlari sepanjang delapan kilometer menyusuri jalanan Phnom Penh. Sejam kemudian, setelah mengganti kaki palsunya yang terbuat dari serat kaca dengan kaki karet, ia pergi bekerja, berkeliling seputar kota sebagai tukang ojek sepeda motor. Sore hari, ia menjemput anak perempuannya yang masih kecil di sekolah, lalu pergi untuk berlatih lari lagi.