Saat batita pun, keduanya menunjukkan sifat agresif yang sama. Tarik-ulur antara genetika dan kehidupan keluarga tak pernah jauh dari benak mereka, kata kedua pasangan itu. “Kami ingin merasa bahwa kami sebagai orang tua memiliki dampak kepada mereka,” kata Allyson. Akan tetapi, di tengah percakapan kemudian Lily memutar mata persis seperti Gillian, dan Allyson tiba-tiba teringat pada kembaran putrinya. “Rasanya, hiii!” katanya. “Kadang-kadang bulu kuduk saya sampai meremang.”!break!
Komponen Ketiga
Bahwa Lily dan Gillian tampak begitu mirip, meski dibesarkan dalam keluarga yang berbeda, menggarisbawahi warisan genetika yang dimiliki kembar identik. Namun, bagi saudara kembar di Maryland, situasinya justru berkebalikan. Meski dibesarkan dalam keluarga yang sama, kembar identik ini berbeda sama sekali. Faktor apa yang begitu kuat, sehingga mengalahkan gabungan efek alam dan pengalaman?
“Pada waktu istirahat hari ini, aku melihat awan kumulus kongestus,” kata Sam, bercakap-cakap sambil menunggu saudaranya, John, pulang sekolah. “Awannya besar sekali. Lalu terurai menjadi nimbostratus.”
Sam, anak enam tahun yang bermata cerah dan berkacamata, mirip dosen dalam kuliah meteorologi. Awan adalah kegemaran terbarunya, kata ibunya. Sebelumnya ada kereta api, antariksa, dan peta. Akhir-akhir ini ia senang membaca ensiklopedia anak, mengumpulkan fakta seperti tupai menimbun kacang, demikian komentar sang ibu.
Si kembar sama-sama kelas satu, tetapi di SD yang berbeda, agar John bisa mendapat perhatian yang diperlukannya. (Orang tua saudara kembar ini meminta kami tidak menyebutkan nama belakang mereka.) Saat bus John menurunkannya di rumah, Sam menyergapnya dengan pelukan sayang. John tertawa, tetapi tidak berbicara. John berjalan ke kotak berisi boneka hewan dan mulai mengepak-ngepakkan tangan bersemangat.
Kedua anak itu didiagnosis mengidap gangguan spektrum autisme, meskipun gejala John jauh lebih parah, termasuk senantiasa bergerak, kesulitan berbicara, dan kesulitan bertemu mata. Sam juga menghadapi tantangan, terutama dalam keterampilan sosial. Saat seorang kembar identik didiagnosis mengidap autisme, penelitian menunjukkan bahwa ada peluang 70 persen bahwa kembarannya juga mengidap gangguan yang sama.
Tak ada yang tahu penyebab gangguan ini, yang didiagnosis pada satu dari setiap seratus anak. Faktor keturunan diduga memegang peran penting, meski para pakar meyakini autisme mungkin dipicu oleh faktor lingkungan yang belum diketahui. Kajian tentang saudara kembar di California tahun lalu menyiratkan bahwa pengalaman dalam rahim dan tahun pertama kehidupan dapat berdampak besar.
Orang tua John bertanya-tanya, mungkinkah itu yang terjadi pada anak itu. Lahir dengan cacat jantung bawaan, ia dioperasi pada usia tiga setengah bulan, lalu diberi obat-obatan kuat untuk melawan infeksi. “Selama enam bulan pertama, lingkungan John sangat berbeda dengan Sam,” kata ayahnya.
Tak lama setelah didiagnosis, Sam dan John didaftarkan oleh orang tua mereka dalam penelitian di Kennedy Krieger Institute di Baltimore. Sampel darah dari si kembar juga digunakan oleh tim di Johns Hopkins University di dekat situ, menyelidiki hubungan antara autisme dan proses epigenetika—reaksi kimia yang tidak terkait dengan alam ataupun pengalaman, tetapi mewakili hal yang disebut peneliti sebagai “komponen ketiga.
” Reaksi kimia ini memengaruhi cara kode genetika diekspresikan: cara setiap gen diperkuat atau diperlemah, bahkan diaktifkan atau dinonaktifkan, untuk menyusun tulang, otak, dan semua bagian tubuh yang lain.
Epigenetika adalah mekanisme bagaimana lingkungan memberi dampak pada gen. Misalnya, kajian tentang hewan menunjukkan bahwa ketika tikus mengalami stres saat kehamilan, hal ini dapat menyebabkan perubahan epigenetis dalam janin, yang menyebabkan masalah perilaku saat anak tikus itu tumbuh. Perubahan epigenetis lain tampaknya terjadi secara acak. Ada pula proses epigenetika lain yang normal, seperti yang memandu sel embrio saat menjadi sel jantung, otak, atau hati, misalnya.