Mereka datang berpasang-pasangan untuk menghadiri Festival Hari Kembar, yaitu maraton piknik, unjuk bakat, dan lomba kemiripan selama tiga hari, yang telah menjadi salah satu acara pertemuan orang kembar terbesar di dunia. !break!
Dave dan Don Wolf sudah bertahun-tahun mengikuti festival ini. Seperti sebagian besar orang kembar yang menghadirinya, mereka senang melewatkan waktu bersama. Bahkan, selama 18 tahun terakhir, kedua sopir truk berusia 53 tahun ini, dengan jenggot sedada yang serupa, telah mengemudi sejauh lima juta kilometer bersama-sama, mengangkut segala macam barang dari popok hingga sop kalengan dari tempat-tempat seperti San Francisco hingga ke New York.
Sementara salah satu mengemudi, satu lagi tidur di kasur di belakangnya. Mereka senang mendengar stasiun radio gospel country yang sama di radio satelit, sama-sama berpandangan politik ultrakonservatif dan mengeluhkan pemerintah yang gemuk, dan mengunyah kudapan teman perjalanan yang sama berupa pepperoni, apel, dan keju cheddar ringan. Saat tidak bekerja, mereka berburu atau memancing bersama. Itulah cara hidup yang mereka sukai.“Mungkin karena kami kembar,” kata Don.
Di festival ini mereka singgah di tenda penelitian yang disponsori oleh FBI, University of Notre Dame, dan West Virginia University. Di dalamnya, para teknisi memotret pasangan kembar dengan kamera resolusi tinggi, mengumpulkan sidik jari, dan memindai iris mata untuk menguji perangkat lunak pengenal wajah terbaru mereka.
“Meskipun kembar identik tampak mirip bagi kita, sistem pencitraan digital dapat menemukan perbedaan kecil pada bintik wajah, pori-pori kulit, atau lengkung alis,” kata Patrick Flynn, ilmuwan komputer. Tetapi sejauh ini, katanya, sistem paling maju pun bisa keliru akibat perbedaan pencahayaan, mimik wajah, dan komplikasi lain.
Karena setengah wajah mereka tertutup jenggot, si kembar Wolf mempersulit pengenalan wajah. Tampaknya mereka geli mengetahui itu. “Setelah dipotret,” kata Dave, “saya bertanya kepada satu orang di situ, jika saya melakukan kejahatan lalu pulang dan bercukur, apakah mereka dapat mengenali saya? Dia hanya menatap saya dan berkata, ‘Mungkin tidak. Tapi tolonglah jangan melakukan kejahatan.’”!break!
Alam dan Pengalaman
Dengan restu penyelenggara acara, sejumlah ilmuwan lain mendirikan gerai di tepi lahan festival. Para peneliti dari Monell Chemical Senses Center meminta para kembar menyesap secangkir kecil alkohol untuk melihat apakah reaksi mereka sama terhadap cita rasanya.
Di sebelah mereka, para dokter dari University Hospitals di Cleveland menanyai para kembar perempuan tentang masalah kesehatan wanita. Di seberang lapangan, seorang dermatolog dari Procter & Gamble mewawancarai para kembar tentang kerusakan kulit.
Bagi para ilmuwan ini, juga para peneliti biomedis di seluruh dunia, fenomena kembar merupakan peluang berharga untuk memahami pengaruh gen dan lingkungan—pengaruh alam dan pengalaman. Karena berasal dari satu sel telur yang terbuahi lalu terbelah menjadi dua, kembar identik memiliki kode genetis yang praktis sama. Perbedaan apa pun di antara mereka—salah satu memiliki kulit yang tampak lebih muda misalnya—pasti diakibatkan oleh faktor lingkungan, misalnya lebih jarang terpapar sinar matahari.
Selain itu, dengan membandingkan pengalaman kembar identik dengan kembar fraternal, yang berasal dari dua sel telur dan rata-rata setengah DNA-nya sama, peneliti dapat mengukur sejauh apa gen kita memengaruhi hidup kita. Jika suatu penyakit lebih sering muncul bersamaan pada kembar identik daripada pada kembar fraternal, ini berarti kerentanan terhadap penyakit tersebut ditentukan oleh faktor keturunan, setidaknya sebagian.
Kedua alur penelitian ini—mempelajari perbedaan antara kembar identik untuk mengetahui pengaruh lingkungan, dan membandingkan kembar identik dengan kembar fraternal untuk mengukur peran keturunan—penting untuk memahami interaksi antara alam dan pengalaman dalam menentukan kepribadian, perilaku, dan kerentanan kita terhadap penyakit.
Namun, akhir-akhir ini kajian kekembaran telah membantu ilmuwan untuk mencapai kesimpulan baru yang radikal: bahwa kekuatan yang berpengaruh bukan hanya alam dan pengalaman. Menurut bidang baru yang disebut epigenetika, ada faktor ketiga, yang dalam sebagian kasus menjadi jembatan antara lingkungan dan gen kita, dan dalam kasus lain berperan tunggal dalam membentuk diri kita.!break!
Si Kembar JimGagasan menggunakan saudara kembar untuk mengukur pengaruh keturunan muncul pada 1875, ketika ilmuwan Inggris Francis Galton pertama kali mengusulkan pendekatan itu (dan menciptakan frasa “alam dan pengalaman”. Tetapi, pada 1980-an kajian saudara kembar mengalami perubahan mengejutkan, setelah ditemukan banyak kembar identik yang terpisah sejak lahir.
Kisah ini diawali dengan kasus yang banyak diliput media tentang saudara kembar yang sama-sama bernama Jim. Jim Springer dan Jim Lewis lahir di Piqua, Ohio pada 1939, dan selagi masih bayi diserahkan untuk diadopsi, kemudian dibesarkan oleh dua pasangan suami-istri yang berbeda, yang kebetulan memberi mereka nama depan yang sama.
Ketika Jim Springer bertemu kembali dengan kembarannya pada usia 39 tahun pada 1979, mereka menemukan beberapa kemiripan dan kebetulan lain. Keduanya memiliki tinggi 180 cm dan berat 82 kilogram. Semasa kecil keduanya memiliki anjing bernama Toy.
Semasa muda keduanya menikahi wanita bernama Linda, lalu bercerai. Istri kedua mereka sama-sama bernama Betty. Mereka menamai anak masing-masing James Alan dan James Allan. Mereka berdua sherif paruh-waktu, senang berkreasi dengan kayu di rumah, menderita sakit kepala parah, mengisap rokok Salem, dan minum bir Miller Lite. Meskipun gaya rambut berbeda—Jim Springer berponi, sementara rambut Jim Lewis disisir lurus ke belakang—mereka memiliki senyum miring yang sama, suara mereka tak bisa dibedakan, dan mereka berdua mengaku sering meninggalkan surat cinta di berbagai pelosok rumah untuk istrinya.
Begitu mendengar tentang kedua Jim ini, Thomas Bouchard, Jr., psikolog di University of Minnesota, mengundang mereka ke laboratoriumnya. Di sana ia dan timnya memberi si kembar serangkaian tes yang mengonfirmasi kemiripan mereka. Meskipun tumbuh terpisah, Jim kembar ini, demikian julukan mereka kemudian, tampaknya menapaki jalan hidup yang sama. “Saya ingat duduk bersama mereka di meja ketika mereka pertama datang,” kata Bouchard. “Kuku keduanya habis digigiti. Dan saya pikir, Tak ada psikolog yang bertanya tentang itu, tetapi ini dia, ada di depan mata.”
Orang yang skeptis kemudian mengklaim bahwa detail seperti itu dibesar-besarkan atau bahwa kebetulan hanyalah kebetulan. Tapi Nancy Segal, dosen psikologi di California State University, Fullerton, membenarkan kesamaan yang mencolok pada Jim kembar. “Saya bertemu dengan mereka kira-kira setahun setelah mereka berkumpul kembali, dan mereka tulus,” kata Segal, yang bergabung dengan tim Bouchard pada 1982. “Meski gaya rambut mereka berbeda, saya tidak ingat mana yang mana.”
Saat itu, para peneliti sudah menemukan beberapa pasang kembar lain yang terpisah semasa kecil dan berkumpul kembali setelah dewasa. Dalam dua dasawarsa seluruhnya ada 137 pasang kembar mengunjungi lab Bouchard dalam kajian yang kemudian dinamai Minnesota Study of Twins Reared Apart.
Para kembar diuji dalam hal keterampilan mental, seperti kosakata, ingatan visual, aritmetika, dan rotasi ruang. Mereka diberi uji fungsi paru-paru dan pemeriksaan jantung, juga pengukuran gelombang otak. Mereka mengerjakan uji kepribadian, dan ditanyai tentang riwayat seksual. Total, setiap orang kembar dibombardir dengan lebih dari 15.000 pertanyaan.!break!
Dengan bersenjatakan segunung data ini, Bouchard, dan koleganya mulai menguraikan simpul-simpul misteri sifat manusia: Mengapa ada orang yang bahagia dan ada yang sedih? Mengapa ada yang ramah dan ada yang pemalu? Dari mana asal kecerdasan secara umum? Kunci pendekatan mereka ini adalah konsep statistik yang disebut keterwarisan.
Secara umum, keterwarisan suatu sifat mengukur sejauh apa perbedaan antara anggota suatu populasi dapat dijelaskan dengan perbedaan gen mereka. Dengan membandingkan peluang suatu sifat muncul bersamaan pada kembar identik dan peluang sifat itu muncul bersamaan pada kembar fraternal, peneliti dapat menghitung sejauh apa perbedaan itu diakibatkan oleh variasi gen. Misalnya, tinggi manusia biasanya diperkirakan 0,8, yang berarti 80 persen perbedaan tinggi badan di antara individu dalam populasi tertentu ditentukan oleh perbedaan susunan genetikanya.
Saat melihat data tentang kecerdasan orang kembar, tim Bouchard mencapai kesimpulan yang kontroversial: Bagi orang yang dibesarkan dalam budaya yang sama dan kesempatan yang sama, perbedaan IQ terutama mencerminkan perbedaan turunan daripada perbedaan pelatihan atau pendidikan. Mereka menghitung skor keterwarisan 0,75 untuk kecerdasan, yang menandakan bahwa faktor keturunan sangat berpengaruh. Ini bertentangan dengan keyakinan umum bahwa otak kita adalah kertas kosong yang menunggu ditulisi oleh pengalaman.
Lebih mencemaskan lagi bagi sebagian orang, petunjuk bahwa kecerdasan terkait dengan keturunan mengingatkan pada teori-teori gerakan eugenika pada awal abad ke-20 di Inggris dan Amerika Serikat, yang menganjurkan perbaikan kolam gen kolektif melalui pembiakan selektif.Para peneliti juga bertanya sejauh apa pendidikan orang tua memengaruhi tingkat kecerdasan. Saat mereka membandingkan kembar identik yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda, seperti Jim kembar, dengan kembar yang dibesarkan dalam keluarga yang sama, mereka mendapati bahwa skor IQ setiap pasang ternyata mirip.
Bouchard dan para koleganya cepat-cepat menyatakan bahwa hal ini bukan berarti orang tua tidak berpengaruh sama sekali pada anak-anak. Tanpa lingkungan yang penuh dukungan dan kasih sayang, tak ada anak yang bisa mewujudkan potensinya secara maksimal, kata mereka. Kajian lain juga menggunakan penelitian saudara kembar untuk menyelidiki berbagai jenis perilaku dan sikap.
Misalnya, sebuah penyelidikan menemukan, jika seorang kembar identik memiliki kembaran penjahat, peluang orang itu melanggar hukum adalah 1,5 kali lipat peluang orang kembar fraternal dalam situasi yang sama. Ini menyiratkan bahwa faktor genetika memengaruhi kemungkinan perilaku kriminal.
Kajian lain menemukan bahwa kekuatan iman seseorang sangat dibentuk oleh keturunan, meskipun pilihan agamanya—apakah menjadi pemeluk Metodis atau Katolik Roma, misalnya—tidak. Tampaknya, ke mana pun para ilmuwan memandang, mereka menemukan pengaruh genetika diam-diam turut membentuk hidup kita.!break!
Terpisah Sejak Lahir
Bagi dua pasang suami-istri di Kanada, kekuatan DNA dalam memengaruhi perilaku bukanlah sekadar pertanyaan akademis. Sejak tahun 2000, mereka membesarkan kembar identik dengan jarak 440 kilometer dalam percobaan ilmiah yang tak disengaja.
Lynette dan Mike Shaw berkenalan dengan Allyson dan Kirk MacLeod saat menggunakan agen adopsi yang sama. Pasangan Shaw tinggal di dekat Windsor, Ontario sedangkan pasangan MacLeod tinggal di dekat Toronto. Pada Februari 2000, mereka pergi ke Chenzhou bersama-sama, kota di Provinsi Hunan di China. Ketika melihat kedua bayi yang hendak mereka adopsi, terjadilah momen kembar yang mengawali banyak momen kembar lainnya.
“Ketika kedua anak itu dibawa keluar dari lift, kami memandang putri kami dan anak satunya, dan berpikir, ‘Wah, wajah mereka mirip sekali,’” kata Mike. “Tangisan mereka sama. Tawa mereka sama. Benar-benar tak bisa dibedakan,” kata Lynette.
Sebelum datang ke China, kedua pasangan itu sudah melihat foto kedua bayi itu, yang saat itu berusia enam bulan, dan mereka bertanya-tanya apakah kedua bayi itu kakak-beradik. Pihak panti memberi tahu bahwa kedua anak itu bukan kakak-beradik, meskipun tanggal lahir yang tercantum sama.
Kedua pasangan itu diberi tahu bahwa kedua bayi itu tidak akan diberikan kepada satu keluarga untuk diadopsi. Jika pasangan Shaw dan MacLeod tidak mengadopsi mereka, kedua bayi itu akan dikembalikan ke panti asuhan dan ditempatkan di dua keluarga lain. Kedua pasangan itu cemas bahwa dengan situasi seperti itu, kedua bayi itu akan terpisah selamanya. Jadi, mereka membawa pulang kedua bayi itu ke Kanada, bertekad melakukan hal yang terbaik, meskipun itu berarti membesarkan kembar identik itu secara terpisah.
Keluarga MacLeod mengemudi empat jam ke Windsor—atau keluarga Shaw ke Toronto—setiap enam-delapan minggu. Begitu mobil MacLeod berhenti di jalan garasi Shaw, Lily menghambur ke pelukan saudaranya, Gillian. Mereka berdua, kini 12 tahun, memiliki wajah terbuka dan rambut hitam sebahu, meski Gillian baru-baru ini mulai memakai kawat gigi merah muda. “Mereka benar-benar kembar,” kata Lynette sambil memandang. “Setali tiga uang.”
Hanya ada segelintir kasus lain yang serupa, juga melibatkan adopsi dari Asia, yaitu kembar yang tahu dibesarkan secara terpisah. Kedua putri mereka tampaknya menghadapi situasi itu dengan tenang. “Aku tidak membencinya. Suka juga tidak,” kata Lily tentang menjadi anak kembar. “Tapi andai kami tinggal lebih dekat, kami bisa saling menginap.” “Iya, itu pasti asyik,” Gillian sepakat.
Karena mereka terus berhubungan, para orang tua saling menceritakan setiap tonggak perkembangan si kembar yang mereka catat. Misalnya, pada usia 15 bulan kedua anak itu mulai berjalan pada hari yang sama. Gigi mereka berlubang-lubang kecil, dan mereka memiliki satu mata sayu, atau ambliopia.
Saat batita pun, keduanya menunjukkan sifat agresif yang sama. Tarik-ulur antara genetika dan kehidupan keluarga tak pernah jauh dari benak mereka, kata kedua pasangan itu. “Kami ingin merasa bahwa kami sebagai orang tua memiliki dampak kepada mereka,” kata Allyson. Akan tetapi, di tengah percakapan kemudian Lily memutar mata persis seperti Gillian, dan Allyson tiba-tiba teringat pada kembaran putrinya. “Rasanya, hiii!” katanya. “Kadang-kadang bulu kuduk saya sampai meremang.”!break!
Komponen Ketiga
Bahwa Lily dan Gillian tampak begitu mirip, meski dibesarkan dalam keluarga yang berbeda, menggarisbawahi warisan genetika yang dimiliki kembar identik. Namun, bagi saudara kembar di Maryland, situasinya justru berkebalikan. Meski dibesarkan dalam keluarga yang sama, kembar identik ini berbeda sama sekali. Faktor apa yang begitu kuat, sehingga mengalahkan gabungan efek alam dan pengalaman?
“Pada waktu istirahat hari ini, aku melihat awan kumulus kongestus,” kata Sam, bercakap-cakap sambil menunggu saudaranya, John, pulang sekolah. “Awannya besar sekali. Lalu terurai menjadi nimbostratus.”
Sam, anak enam tahun yang bermata cerah dan berkacamata, mirip dosen dalam kuliah meteorologi. Awan adalah kegemaran terbarunya, kata ibunya. Sebelumnya ada kereta api, antariksa, dan peta. Akhir-akhir ini ia senang membaca ensiklopedia anak, mengumpulkan fakta seperti tupai menimbun kacang, demikian komentar sang ibu.
Si kembar sama-sama kelas satu, tetapi di SD yang berbeda, agar John bisa mendapat perhatian yang diperlukannya. (Orang tua saudara kembar ini meminta kami tidak menyebutkan nama belakang mereka.) Saat bus John menurunkannya di rumah, Sam menyergapnya dengan pelukan sayang. John tertawa, tetapi tidak berbicara. John berjalan ke kotak berisi boneka hewan dan mulai mengepak-ngepakkan tangan bersemangat.
Kedua anak itu didiagnosis mengidap gangguan spektrum autisme, meskipun gejala John jauh lebih parah, termasuk senantiasa bergerak, kesulitan berbicara, dan kesulitan bertemu mata. Sam juga menghadapi tantangan, terutama dalam keterampilan sosial. Saat seorang kembar identik didiagnosis mengidap autisme, penelitian menunjukkan bahwa ada peluang 70 persen bahwa kembarannya juga mengidap gangguan yang sama.
Tak ada yang tahu penyebab gangguan ini, yang didiagnosis pada satu dari setiap seratus anak. Faktor keturunan diduga memegang peran penting, meski para pakar meyakini autisme mungkin dipicu oleh faktor lingkungan yang belum diketahui. Kajian tentang saudara kembar di California tahun lalu menyiratkan bahwa pengalaman dalam rahim dan tahun pertama kehidupan dapat berdampak besar.
Orang tua John bertanya-tanya, mungkinkah itu yang terjadi pada anak itu. Lahir dengan cacat jantung bawaan, ia dioperasi pada usia tiga setengah bulan, lalu diberi obat-obatan kuat untuk melawan infeksi. “Selama enam bulan pertama, lingkungan John sangat berbeda dengan Sam,” kata ayahnya.
Tak lama setelah didiagnosis, Sam dan John didaftarkan oleh orang tua mereka dalam penelitian di Kennedy Krieger Institute di Baltimore. Sampel darah dari si kembar juga digunakan oleh tim di Johns Hopkins University di dekat situ, menyelidiki hubungan antara autisme dan proses epigenetika—reaksi kimia yang tidak terkait dengan alam ataupun pengalaman, tetapi mewakili hal yang disebut peneliti sebagai “komponen ketiga.
” Reaksi kimia ini memengaruhi cara kode genetika diekspresikan: cara setiap gen diperkuat atau diperlemah, bahkan diaktifkan atau dinonaktifkan, untuk menyusun tulang, otak, dan semua bagian tubuh yang lain.
Epigenetika adalah mekanisme bagaimana lingkungan memberi dampak pada gen. Misalnya, kajian tentang hewan menunjukkan bahwa ketika tikus mengalami stres saat kehamilan, hal ini dapat menyebabkan perubahan epigenetis dalam janin, yang menyebabkan masalah perilaku saat anak tikus itu tumbuh. Perubahan epigenetis lain tampaknya terjadi secara acak. Ada pula proses epigenetika lain yang normal, seperti yang memandu sel embrio saat menjadi sel jantung, otak, atau hati, misalnya.
“Pada masa kehamilan, banyak perubahan yang harus terjadi saat sel berkomitmen dan menjadi jaringan yang semakin khusus, dan kita tahu proses itu melibatkan serentetan program epigenetika,” kata Andrew Feinberg, direktur Center for Epigenetics di Johns Hopkins School of Medicine.
Kajian Feinberg berfokus pada proses epigenetika yang disebut metilasi DNA, yang diketahui memperlemah atau memperkuat ekspresi gen. Untuk lebih memahami kaitan proses ini dengan autisme, Feinberg dan timnya menggunakan pemindai dan komputer guna menelusuri sampel DNA dari kembar autistik untuk mencari “tag” epigenetis, yaitu tempat di sepanjang genom yang pola ekspresi gennya diubah oleh metilasi.
Tujuan penelitian yang kini masih berjalan ini adalah menentukan apakah pengidap autisme parah seperti John memiliki profil metilasi yang berbeda dengan orang lain. Jika ya, itu mungkin menjelaskan mengapa ia begitu berbeda dengan Sam.
Ini pendekatan baru yang menjanjikan, kata Arturas Petronis, yang mengepalai lab epigenetika di Centre for Addiction and Mental Health di Toronto. Para peneliti sudah cukup lama tahu bahwa gangguan kompleks seperti autisme memiliki tingkat keterwarisan yang tinggi. Tetapi, penelitian urutan DNA yang intensif belum mengungkapkan mengapa kembar seperti Sam dan John memiliki perilaku yang sangat berbeda.
“Setelah 30 tahun kajian genetika molekuler, kita hanya mampu menjelaskan dua sampai tiga persen kecenderungan gen terhadap penyakit kejiwaan,” katanya. Sisanya masih misteri.Seperti yang mudah diakui Feinberg dan Petronis, penelitian seperti itu masih dalam tahap awal.
Para ilmuwan baru saja mulai memahami kaitan antara proses epigenetika dan gangguan kompleks seperti autisme. Kabar baiknya, sebagian proses ini, tidak seperti urutan DNA kita, dapat diubah. Misalnya, gen yang dibungkam oleh metilasi kadang dapat diaktifkan kembali dengan relatif mudah. Diharapkan kelak kesalahan epigenetika dapat diperbaiki dengan mudah.!break!
Menulis dengan Pena dan Pensil
Kembali di Festival Hari Kembar, Danielle Reed meminta orang kembar berpartisipasi dalam kajian alkoholnya. Reed, yang berlatar pendidikan genetika, telah bekerja dengan banyak orang kembar selama bertahun-tahun dan memikirkan dalam-dalam apa yang diajarkan kajian orang kembar kepada kita.
“Saat melihat orang kembar, sangat jelas bahwa sebagian besar kemiripan mereka disebabkan oleh genetika,” katanya. “Banyak hal pada diri mereka yang benar-benar sama dan tak dapat diubah. Tetapi setelah lebih mengenal mereka, juga jelas bahwa ada hal-hal lain pada diri mereka yang berbeda. Menurut saya, epigenetika adalah penyebab sebagian besar perbedaan itu.”
Reed berpendapat, berkat upaya Thomas Bouchard-lah kajian saudara kembar zaman sekarang melonjak. “Dia pelopornya,” katanya. “Kita lupa bahwa 50 tahun yang lalu, hal seperti alkoholisme dan penyakit jantung dianggap hanya disebabkan oleh gaya hidup. Skizofrenia juga dikira diakibatkan oleh pengasuhan anak yang buruk. Dengan adanya kajian saudara kembar, kita dapat merenungkan lebih dalam apa yang sebenarnya merupakan bawaan dan apa yang disebabkan oleh pengalaman.”
Kajian terbaru dalam epigenetika menjanjikan akan memperluas pemahaman kita. “Yang ingin saya katakan, ada yang ditulis alam dengan pensil, ada yang dengan pena,” katanya. “Hal yang ditulis dengan pena tidak dapat diubah. Itu DNA. Tetapi hal yang ditulis dengan pensil dapat diubah. Itu epigenetika. Sekarang kita bahkan mampu melihat DNA dan mengetahui letak tulisan pensilnya. Ini dunia yang sama sekali baru.”
Bagi Sam dan John, dunia itu tampaknya menawarkan janji baru. Akhir-akhir ini John menemukan suaranya, memperluas kosakatanya di luar perintah satu kata. “Aku ingin pergi kolam besar renang dengan Ibu Ayah Sam John,” katanya suatu malam di kolam renang dekat rumah. “Astaga, kalimat 11 kata diucapkan oleh anak yang paling pendiam,” ibunya merayakan di blognya. “Anak paling pendiam yang berubah musim panas ini: anak yang telah menggunakan kata-kata, tidak lagi menarik-narik saya ke segala tempat.”
Sam sendiri melahap buku-buku tentang mitologi Yunani dan ortopedi, pasangan topik yang dipicu oleh sikunya yang patah. Setelah membaca dongeng tentang Icarus, yang terbang di atas Kreta dengan sayap dari bulu dan lilin, ia ingin mencobanya dari sofa ruang duduk, dan berakhir di UGD. Itu memberinya waktu luang, saat memulihkan diri di rumah, untuk terjun ke buku-buku teks kedokteran. Setiap anak, dalam caranya masing-masing, sedang berusaha terbang.