Negeri Esok Hari

By , Senin, 13 Februari 2012 | 09:43 WIB

Pada malam lainnya saya menghadiri se­buah pertemuan para profesional muda, banyak di antaranya mengenyam pendidikan di luar negeri. Mereka mendengarkan seorang pembicara tamu dengan penuh perhatian, Aidyn Rakhimbayev yang berusia 38 tahun, yang menggambarkan pendakian cepatnya dari seorang pedagang batu bara kecil menjadi kepala salah satu perusahaan konstruksi terbesar di negara itu.

Ditekan oleh seorang pendengar untuk mem­berikan nasihat tentang bagaimana mengubah ide menjadi sebuah bisnis, Rakhimbayev menjawab kasar, “Sebuah gagasan tidak ada arti­nya. Apakah kamu memiliki keterampilan? Apa rencana bisnismu?” Dia mendorong mereka untuk membaca buku-buku karya guru manajemen, sementara ia mengakui bahwa diri­nya cukup terlambat untuk melakukan hal seperti itu—karena sibuk cari uang.

“Saya mendapatkan satu juta pertama di usia 29,” katanya. “Dalam dolar. Saya mendapatkan sepuluh juta pertama di usia 32. Lalu saya memutuskan sudah waktunya untuk mulai membaca buku.”

Sebelum kunjungan saya berakhir, saya men­dapat telepon dari Yernar Zharkeshov, yang baru diangkat sebagai ekonom pemerintah. Dia meminta saya bertemu untuk minum kopi. Dia menyampaikan maksudnya. Ayahnya mencoba untuk mempersiapkan Zharkeshov sebagai konsultan bagi  investor asing dan bertanya-tanya apakah saya bisa memberikan sejumlah nama calon klien.

Kemudian dia minta diri untuk mengantarkan keponakannya menonton Cars 2, sebuah film dari Pixar,  yang merupakan film Barat pertama yang disulihsuarakan dalam bahasa Kazakh, bukan dalam bahasa Rusia.!break!

Dengan semua kemegahan yang dipancarkannya, terdapat kualitas yang lemah, bahkan bersifat sementara dari ibu kota baru yang hinggap di pikiran saya setiap kali turunnya hujan, ketika air tumpah ruah melalui langit-langit gedung perbelanjaan ke lantai pertama menara apartemen baru yang telah saya sewa untuk jangka pendek.

Pada suatu Sabtu sore, saya menghadiri piknik di taman. Seorang bankir muda yang ber­sekolah di Amerika mendekati saya, tanpa diminta, lalu menyarankan agar saya tidak usah terlalu terkesan dengan Astana. “Seluruh tempat ini seperti mimpi,” katanya dengan senyuman lemah.

“Dia tidak menopang dirinya sendiri. Se­jujurnya, ia benar-benar tergantung kepada harga minyak.” Dia terdiam dan mengangkat bahu. “Kami memiliki sedemikian banyak sum­ber daya alam sehingga kami mampu bersikap bodoh saat ini.”

Tetapi, itu tentu saja pandangan minoritas di antara sesama orang-orang yang berpiknik di bawah naungan pohon poplar dan memenuhi piring kertas mereka dengan umbi manis, jeruk, dan pangsit berisi daging yang disebut manti. Se­seorang mengedarkan sebotol koumiss; “Se­tiap orang yang mencintai pekerjaan mereka, tolong angkat tangannya,” perintah Zhanna Kuna­sheva, seorang wanita berusia 33 tahun yang bekerja untuk kantor Shell Oil setempat.

Kunasheva kemudian membagi-bagikan salinan lirik lagu-lagu Frank Sinatra dan bintang pop Rusia, memimpin kelompok itu untuk menyanyi spontan bersama-sama. Setelah beberapa jam lamanya, pesta itu pun bubar. Angin mendesah di antara pohon poplar dan kaki langit ibu kota baru, seperti datangnya malam, seakan-akan memanggil dengan janji yang cerah dan menggairahkan.