Perang Badak

By , Jumat, 24 Februari 2012 | 14:41 WIB

Bunyi letusan senapan menggelegar dalam hutan gelap saat Damien Mander tiba di kemahnya setelah seharian melatih calon jagawana di suaka margasatwa swasta Nakavango, di Zimbabwe bagian barat. Pikirannya melayang ke Basta, badak hitam yang sedang hamil, dan plencing (anak badak)-nya yang berusia dua tahun. Sore itu, salah satu jagawananya menemukan jejak kaki manusia yang mengikuti pasangan induk dan anak itu saat Basta mencari tempat berlindung di tengah hutan untuk melahirkan anggota terbaru spesiesnya yang terancam punah.

Damien—pria berotot mantan penembak jitu Pasukan Khusus Australia dengan banyak tato mengesankan, termasuk “Cari & Hancur­kan” dalam huruf gotik di dadanya—me­mutar kepalanya, berusaha menentukan arah tembakan. “Di sana, di dekat perbatasan timur,” dia menunjuk ke kegelapan. “Terdengar seperti kaliber 5,56,” ujarnya, mengidentifikasi posisi dan kaliber, kebiasaan yang terbawa dari 12 kali dinas di Irak.

Dia dan para jagawana menyambar senapan, radio, dan perlengkapan medis, lalu naik bersesakan ke kedua Land Cruiser. Mesin kendaraan meraung di tengah kegelapan malam, bergegas menyergap sang penembak. Jagawana menurunkan kaca jendela mereka dan terdengar tembakan kedua; yang sepertinya menandakan bahwa plencing Basta ditembak juga.

Jejak manusia jelas merupakan alamat buruk. Kelompok pemburu sering membayar pencari jejak untuk menemukan badak, mengikuti hewan ini sampai petang, lalu memberitahukan posisinya melalui radio kepada penembak yang dilengkapi senapan berkekuatan tinggi. Setelah hewan tersebut mati, kedua cula di moncongnya dipotong dalam beberapa menit, dan bangkai besar itu ditinggalkan untuk dubuk dan burung nasar.

Jika kelompok ini terorganisir dengan baik, akan ada sekelompok orang bersenjata yang melindungi rute pelarian mereka, siap untuk menyergap para jagawana. Berdasarkan suara tembakan, para pemburu memiliki senjata yang lebih baik.

Di kursi belakang salah satu mobil yang me­ngebut itu, Benzene—jagawana Zim­babwe yang telah menghabiskan hampir satu tahun me­ngawasi Basta dan anaknya dan sangat mengenal kedua induk-anak itu—memasukkan tiga peluru ke senapan semburnya (shotgun), mengunci pe­­ngaman, dan mengokangnya. Ketika kami me­lompat turun, dia berkata, “Lebih baik para pem­buru itu ber­temu singa daripada kami.”

Dan demikianlah malam di garis depan perang badak yang suram dan kejam di Afrika bagian selatan. Sejak 2006, lebih dari seribu badak dibantai, sekitar 22 pemburu ditembak mati, dan tahun lalu lebih dari 200 orang di­tangkap di Afrika Selatan saja. Pusat konflik ini adalah cula badak, bahan berharga bagi pe­ngobatan tradisional Asia. Meskipun harga di pasar gelap sangat bervariasi, musim gugur lalu penjual di Vietnam mengatakan harganya antara 300 ribu sampai 1,2 juta rupiah per gram, harga tertingginya dua kali lipat harga emas dan dapat melebihi harga kokaina.

Meskipun kawasan dua spesies Afrika—ba­dak putih dan saudaranya yang lebih kecil, ba­dak hitam—menyusut, terutama di Afrika bagian selatan dan Kenya, populasi hewan ini me­nunjukkan peningkatan menggembirakan. Pada tahun 2007 badak putih berjumlah 17.470, sementara badak hitam hampir berlipat dua menjadi 4.230 sejak medio 90-an.!break!

Bagi para pelestari, angka ini menunjukkan ke­berhasilan. Pada 1970-an dan 80-an, per­buruan menghabisi kedua spesies ini. Kemudian China melarang penggunaan cula badak se­bagai obat tradisional, dan Yaman melarang peng­gunaannya sebagai gagang belati resmi. Namun, tahun 2008 jumlah badak yang mati diburu di Afrika Selatan naik menjadi 83, dari hanya 13 pada 2007. Pada 2010 angka itu me­lonjak menjadi 333, dan tahun lalu lebih dari 400 ekor. Traffic, jaringan pemantau per­dagang­an margasatwa, menemukan bahwa se­bagian besar cula yang diperdagangkan kini berakhir di Vietnam.

Pergeseran pasar ini bertepatan dengan beredarnya rumor bahwa seorang pe­jabat tinggi Vietnam menggunakan cula badak untuk menyembuhkan kankernya. Sementara itu di Afrika Selatan, tergiur oleh harga—dan keuntungan—yang meroket ini, sindikat kejahatan mulai memasukkan per­buruan badak ke portofolio mereka.

Gideon van deventer mengetahui letak per­sis—15 cm di belakang mata dan lima senti­meter di depan telinga—tempat meng­hunjamkan peluru 19,5 gram agar menembus otak badak, mem­buat hewan itu roboh seketika. Dia me­ngira-ngira letaknya di kepalanya sen­diri, lalu mengetukkan jari telunjuk kapalan tepat di belakang tulang pipinya. “Kita harus me­nem­bak­nya tepat di sini. Otak hewan ini sangat kecil,” katanya. “Namun, hewan ini nyaris buta, sehingga bisa kita dekati. Badak dapat men­cium bau manusia, jadi kita harus me­lawan arah angin. Dan pendengarannya bagus, sehingga kita juga harus mengawasi telinganya. Jika telinganya bergerak mengarah ke kita, akan ada masalah.”

Saya menerima pelajaran berburu ini di pen­jara Kroonstad, sekitar dua jam berkendara ke selatan Johannesburg, dan Van Deventer, 42 ta­hun, yang biasa dipanggil Deon, adalah guru yang sangat mumpuni. Menurut pengakuannya dia telah membunuh 22 badak, jumlah yang mem­­­buatnya menjadi pemburu badak dengan buruan terbanyak di Afrika Selatan, dan mung­kin di dunia. Pria kekar setinggi 170 senti­meter ini duduk tegak lurus, dia mengenakan seragam penjara berwarna oranye.

Ayah Deon pindah ke Afrika Selatan dari Kenya, tempat ia menjadi polisi dan pemburu hewan besar. Dia menetap di Transvaal, tidak jauh dari perbatasan Botswana, daerah yang masih sangat liar. Deon dan dua saudaranya prak­tis hidup di alam liar; pada usia delapan dia bolos sekolah untuk mencari jejak hewan bagi pemburu. “Saya akhirnya lebih mengenal hewan daripada manusia,” katanya.