Perang Badak

By , Jumat, 24 Februari 2012 | 14:41 WIB

Tahun 1986, Dewan Suaka Margasatwa Natal mengizinkan kelebihan badak di suaka marga­satwa provinsi ini dilelang sesuai nilai pasar yang wajar, yang menghasilkan miliaran rupiah bagi upaya pelestarian lokal dan mengangkat nilai hewan itu di kalangan peternak dan pemburu. Hume berpendapat bahwa panen cula badak me­rupakan langkah bijak berikutnya.

Semakin lama kami berbincang, Hume men­jadi semakin meradang. Pemburu Vietnam akan dengan senang hati memanah hewan itu dengan pembius, mengambil culanya, dan membiarkannya hidup, katanya dengan keras. “Namun, hukum Afrika Selatan mengharuskan pemburu membunuh badak itu agar bisa mengekspor culanya sebagai hasil buruan.” Dia meng­geleng-menggeleng memikirkan betapa tidak logisnya hal itu.

Salah satu kesalahpahaman lain, kata Hume, adalah anggapan bahwa gading dan cula itu sama. Gading adalah gigi gajah, sementara cula badak adalah keratin, sama dengan kuku kuda. Ketika gading gajah dipotong, saraf di bagian dalamnya dapat terinfeksi, menyebabkan kematian hewan tersebut.

Para pelestari berpendapat bahwa melegalkan perdagangan cula badak tidak akan mengubah alasan ekonomi di balik perburuan: cula hasil berburu selalu akan lebih murah daripada cula hasil beternak. Hume tidak setuju: Be­gitu pembeli yakin pada ketersediaan cula yang legal, harga akan jatuh, yang akan me­nyebabkan sindikat kejahatan meninggalkan bisnis ini. “Perbedaan mendasarnya adalah bah­wa pemburu mencari cula badak demi men­dapatkan laba jangka pendek secara mudah. Peternak menggelutinya demi keuntungan stabil jangka panjang.”

Beberapa penolakan, dia khawatir, berasal dari standar ganda budaya. “Pada dasarnya, kita mengatakan kepada orang Vietnam bahwa kita boleh saja membunuh binatang karena ke­biasaan kita memancung kepala badak dan memasangnya di dinding sebagai hiasan bisa diterima. Sementara, mereka tidak boleh melakukannya karena tradisi memotong cula untuk obat di Asia itu menjijikkan.”

Setelah berpatroli sepanjang malam tanpa menemukan tanda pemburu liar, Damien me­ngatur pencarian badak yang dikhawatirkan itu. Para jagawana berjalan beriringan mencari darah atau bangkai di semak-semak. Sampai siang, Basta dan anaknya belum juga ditemukan.

Saat Damien berkendara untuk memeriksa daerah merumput yang disukai badak itu, dia menggambarkan bagaimana tugasnya di Irak melindungi konvoi PBB memberinya wawasan khusus mengenai bahaya yang dihadapi hewan dari pemburu liar. “Kami diserang bom rakitan beberapa kali, dan saya kehilangan beberapa teman,” katanya pelan. “Saya tahu bagaimana rasanya diburu manusia.”!break!

Empat bulan setelah saya mewawancarai Deon, dia dibebaskan dari penjara. Dia mem­beri tahu polisi bahwa dia tidak akan bersaksi memberatkan komplotannya. Tuduhan terhadap Gert Saaiman kemudian dibatalkan. Sementara itu, pemburu liar membunuh empat badak putih di peternakan John Hume. Dokter Ibu Thien memastikan bintik di payudara dan indung telurnya adalah kista. Dia mengobatinya dengan campuran obat-obatan Barat dan Asia, termasuk cula badak.

Sebelum meninggalkan Zimbabwe, saya kembali mengunjungi Damien. Dia dan Benzene membawa saya jauh ke dalam hutan tempat Basta makan dedaunan pohon mopane dengan tenang. Dia berdiri di samping bayinya yang baru, kulit keriputnya menggulung di sekitar leher dan lutut. Plencing itu memiliki benjolan kecil tempat cula pertamanya nanti muncul, persis seperti moncong nenek moyangnya selama 40 juta tahun.

Damien menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sangat menakjubkan melihat makhluk mu­ngil ini dan memikirkan ada yang ingin mem­­­bunuhnya demi benjolan kecil itu.” Saya katakan bahwa jika pekerjaan utamanya kini adalah melindungi badak, tato “Cari & Hancurkan” di dadanya seharusnya diganti “Cari & Selamatkan”. Dia tergelak