Perang Badak

By , Jumat, 24 Februari 2012 | 14:41 WIB

Untuk mengetahui popularitas cula badak di Vietnam, saya berkeliling negara itu bersama seorang wanita yang saya sebut saja Ibu Thien. Mammogram memperlihatkan bintik di payu­dara kanannya; sonogram menunjukkan ba­yang­an mengkhawatirkan di indung telur­nya. Wanita 52 tahun yang menarik dan man­diri ini berencana melakukan pengobatan mo­dern, tetapi juga ingin berkonsultasi dengan pa­kar pengobatan tradisional. Saya bertanya apakah dia yakin cula badak dapat membantu menyembuhkannya. “Saya tidak tahu,” jawab­nya. “Namun, apabila Anda merasa akan mati, tidak ada salahnya mencobanya.”

Perjalanan itu membawa kami dari rumah sakit kanker dan klinik tradisional di Hanoi dan Kota Ho Chi Minh hingga ke toko obat tradi­sional, toko khusus yang menjual kulit binatang eksotis, dan rumah pribadi di kota-kota kecil. Kami menemukan cula badak di setiap tempat yang kami datangi.

Sebagian besar pengguna yang kami temui ber­­asal dari kelas menengah Vietnam yang tumbuh pesat. Sering kali beberapa keluarga urunan untuk membeli sepucuk cula dan mem­baginya. Sebagian disumbangkan kepada teman yang sakit parah yang tidak mampu mem­­belinya. Ibu memberikan obat ini kepada anaknya yang menderita campak. Kaum manula bersaksi bahwa cula memperbaiki peredaran darah dan mencegah stroke. Banyak yang meng­anggapnya semacam vitamin super.

Meskipun sejumlah dokter Vietnam yang ber­bicara dengan saya menyatakan cula badak bukan obat yang efektif untuk penyakit apa pun, beberapa dokter terhormat lainnya menyatakan bahwa cula badak bisa menjadi obat kanker yang efektif. Tran Quoc Binh, Direktur Rumah Sakit Nasional Pengobatan Tradisional, yang me­rupakan bagian dari Kementerian Kesehatan Vietnam, yakin bahwa cula badak dapat meng­hambat pertumbuhan beberapa jenis tumor.

“Awal­nya kami mulai dengan pengobatan mo­dern: kemoterapi, radiasi, operasi,” kata Tran. “Tetapi, setelah itu mungkin masih ada be­berapa sel kanker. Jadi kami menggunakan obat tradisional untuk melawan sel tersebut.” Dia me­ngatakan bahwa ramuan cula badak, ginseng, dan beberapa tumbuhan lainnya sebenarnya dapat menghalangi pertumbuhan sel kanker, tetapi dia tidak bisa menunjukkan penelitian teruji yang mendukung klaimnya.!break!

Suatu malam di Hanoi, Ibu Thien dan saya mengunjungi sebuah kafe yang ramai. Dia men­jelaskan kondisinya kepada sang pemilik yang lalu mengeluarkan sepotong cula berwarna kuning seukuran sabun dan mangkuk keramik yang bergambar badak di sampingnya. Dasar mangkuk itu kasar, seperti ampelas halus. Dia menuangkan sekitar seratus mililiter air ke mangkuk itu dan mulai menggosokkan cula ke dasarnya secara melingkar.

Setelah beberapa menit, cula itu mengeluarkan bau sangit, dan airnya berubah seputih susu. Sambil menggosok, pemilik kafe menjelaskan bahwa dia dan seorang temannya membeli cula itu sebagai suplemen kesehatan dan obat sakit kepala akibat mabuk, harganya sekitar 160 juta rupiah untuk sekitar 180 gram. Ketertarikan mereka sebagian karena diberi tahu seorang mantan sekretaris Ho Chi Minh, pelanggan kafe itu, bahwa Ho yang sangat percaya kepada pengobatan tradisional makan cula badak setiap hari.

Setelah menggosok 20 menit, pria itu me­nuang­kan airnya ke dalam dua gelas kecil dan menyerahkan satu untuk Ibu Thien dan satu lagi untuk saya. Selain teksturnya yang agak berpasir, minuman itu tawar seperti air biasa. Ibu Thien mengosongkan gelasnya dan meletakkannya di meja. “Semoga ada manfaatnya,” ujarnya.

Menurut john hume, kita tidak perlu mem­bunuh badak untuk memasok semua kebutuhan cula badak Vietnam. Pengusaha 69 tahun yang berhasil dalam usaha hotel dan taksi ini memiliki kawanan badak pribadi terbanyak di dunia. Saat ini dia memiliki lebih dari 700 badak putih dan hitam di dua peternakan di Afrika Selatan, dan masih ingin menambahnya.

“Kita memanen wol dari domba, mengapa tidak memanen cula dari badak?” tanyanya pada suatu sore, sambil duduk di kantor salah satu peternakannya. “Jika kita memotong cula sekitar 80 milimeter dari pangkalnya, cula itu akan pulih dalam dua tahun. Itu berarti ada pasokan cula badak yang tidak terbatas jika kita cukup pintar dan tidak sampai membunuh hewan itu.”

Hampir seminggu sekali manajer peternakan Hume dan seorang dokter hewan, dengan di­awasi petugas margasatwa, membius salah satu badaknya dan memotong kedua culanya dengan gergaji listrik. Dua puluh menit ke­mudian hewan tersebut kembali merumput, dan culanya yang telah ditanami mikrocip di­simpan di brankas bank. Hume menolak me­nyebut jumlah cula yang diperolehnya sejak ia mulai panen pada tahun 2002, tetapi dengan perkiraan konservatif saja nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.

Ide Hume tentang peternakan cula badak skala besar akan menjadi gagasan baru dalam praktik manajemen margasatwa inovatif yang berasal dari Afrika Selatan. Pada 1961, pejabat di Provinsi Natal merintis pemindahan badak liar ke lahan pribadi untuk menggalakkan pe­ter­nakan dan meningkatkan keragaman genetis. !break!