Perang Badak

By , Jumat, 24 Februari 2012 | 14:41 WIB

Akhirnya, dia menjadi pemburu hewan besar profesional, atau “PH” dalam bahasa lokal. “Per­siapan dan pencarian jejak, itu keahlian saya. Se­karang orang berkendara dan me­nembak hewan dari bak truk,” katanya, matanya tiba-tiba sengit. “Itu menembak, bukan berburu.”

Pada 2005, saudara Deon, Andre, yang be­kerja untuk agen safari terkemuka Gert Saa­iman, bertanya apakah dia ter­tarik memburu badak. Deon tidak pernah ber­buru badak se­belum­nya dan mulai meneliti. Badak putih jan­tan menginjak-injak kotoran­­nya sen­diri untuk menyebarkan bau dan menandai wilayah­nya, jelasnya. “Itu membuat badak mudah dilacak.”!break!

Mengecilkan suara saat menembak sangat pen­ting, jadi dia membuat peredam dari pipa lo­gam dengan cincin yang dilas di dalamnya, lalu memasangnya pada laras senapan kaliber 7,62 x 63mm. “Suaranya seperti senapan angin—tusss,” katanya. “Saya pernah menembak seekor badak jantan, dan si betina sejauh dua meter tidak menge­tahuinya sampai saya menembaknya juga.” Dua bersaudara itu malang-melintang di se­antero Afrika Selatan, memburu badak secara ilegal di taman nasional dan suaka margasatwa swasta. Karena program pembiakan sukses, jumlah badak pun banyak, dan keamanan men­jadi kendur atau mudah dihindari. Setelah membunuh, mereka menyerahkan cula tersebut kepada pihak lain yang menjualnya.

“Namun, saya hanya mendapat sedikit uang,” katanya, me­nyatakan bahwa dia, Andre, beberapa orang lainnya membagi rata sekitar 100 juta rupiah yang diperolehnya untuk sepasang cula seberat enam kilo. Akhirnya, ketidakpuasan Deon me­nyebabkan dia tertangkap. Dia memburu badak sendiri dan tertangkap saat menjualnya.

Sekarang Deon-lah yang diburu. Polisi me­nekan­nya agar bersaksi atas kejahatan Saa­iman dan yang lainnya. Dia jelas takut akan kon­sekuensinya. Hanya beberapa hari setelah pe­nangkapan Deon, istri Saaiman ditembak di tenggorokan di depan rumahnya dan meninggal di depan anak-anaknya. Enam bulan lalu, man­tan istri Deon diperkosa di rumahnya. Dia dan keempat anak mereka mengikuti program per­lindungan saksi sejak saat itu. Tidak lama setelah itu, pria yang mengaku sebagai detektif swasta mengunjungi Deon di penjara dan menawarkan sebuah truk baru seharga 900 juta rupiah dan pekerjaan sebagai PH asal dia tidak bersaksi.

Dia belum memutuskan apakah akan bekerja sama dengan polisi saat dibebaskan empat bulan ke depan. “Mereka tetap dapat menemukan saya sekalipun mereka dipenjara,” kata Deon me­ngenai komplotannya. “Dan saya yakin me­reka akan membunuh saya.”Waktu berkunjung habis, dan penjaga meng­ingatkannya, “Badak, waktu­nya habis.” Deon menatap saya dan men­cengir. “Saya dipanggil ‘Badak’ di sini.”

Sehebat apa pun Deon van Deventer sebagai pen­cari jejak, ia tidak mungkin bisa menemukan badak liar di Vietnam. Badak jawa dulu banyak terdapat di hutan dan dataran banjir Vietnam, namun pada tahun 2010 pemburu ilegal mem­bunuh badak liar terakhir di negeri itu.

Namun Vietnam tidak kekurangan cula ba­dak. Perdagangan ilegal cula yang dulu ber­putar di pasar-pasar China, Taiwan, Korea Se­latan, Jepang, dan Yaman, sekarang berpusat di Vietnam, dengan mungkin lebih dari satu metrik ton cula yang masuk ke negara itu tahun lalu saja. Di Afrika Selatan banyak warga Vietnam, termasuk diplomat, terlibat dalam ke­giatan penyelundupan cula.

Tidak semua cula badak masuk ke Vietnam secara ilegal. Hukum Afrika Selatan, sesuai de­ngan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES), mengizinkan cula ba­dak diekspor sebagai hasil buruan legal. Pada  2003, seorang pemburu Vietnam terbang ke Afrika Selatan dan membunuh badak saat me­ngikuti safari legal.

Segera setelah itu, puluhan pemburu Asia tiba, masing-masing mem­bayar 450 juta atau lebih untuk berburu me­lalui organisasi safari besertifikat. Banyak di antara pemburu ini yang diyakini bekerja untuk sindikat. Saat kembali ke Vietnam, sepasang cula ukuran biasa seberat enam kilo dipotong-potong dan dijual di pasar gelap, menghasilkan keuntungan yang sangat mungkin melebihi 1,8 miliar rupiah setelah dipotong biaya-biaya.!break!

Pemicu demam emas ini sulit ditentukan de­ngan pasti. Akan tetapi, di balik kehebohan ini jelas terjadi kebangkitan kembali minat ter­hadap cula yang dianggap mujarab tersebut. Se­lama setidaknya 2.000 tahun, obat-obatan Asia meresepkan cula badak—digiling men­jadi bubuk—untuk mengurangi demam dan mengobati berbagai penyakit. Beberapa pe­nelitian yang dilakukan selama 30 tahun ter­akhir terhadap khasiatnya meredakan demam ter­bukti tidak konklusif, namun farmakope tra­­disional Vietnam edisi 2006 membahas cula badak sepanjang dua halaman.

Klaim terbaru dan paling sensasional adalah bahwa cula dapat menyembuhkan kanker. Para pakar onkologi menyatakan bahwa belum ada penelitian khasiat cula untuk pengobatan kanker yang pernah dipublikasikan. Namun, tidak berarti cula tidak memiliki efek pada orang yang memakainya, kata Mary Hardy, di­rektur medis di Simms/Mann UCLA Center for Integrative Oncology dan pakar pengobatan tra­disional. “Kepercayaan terhadap suatu pe­ngobatan, apalagi yang luar biasa mahal dan sulit didapatkan, dapat memiliki efek yang kuat pada perasaan pasien,” katanya.