Awan putih memayungi tajuk hutan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Sulawesi Utara. Di tengah suasana hutan yang hening, pohon-pohon rao (Dracontomelon dao) yang kokoh dengan akarnya yang pipih meroket angkuh ke langit. Tiba-tiba teriakan monyet hitam sulawesi—penduduk lokal menyebutnya kera hitam atau yaki—memenuhi hutan.
Detik itu juga, puluhan yaki berhamburan ke arah pantai dengan panik. Yaki kecil meloncat ke pelukan induk sembari berlari, sementara yaki muda berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Di barisan paling akhir, pemandangan unik tampil menutup adegan: seekor yaki muda berlari limbung menggunakan dua kakinya, berhati-hati menjaga agar mangga ranum yang sedang ia nikmati tak terlepas dari tangannya.
Tak lama kemudian, di belakang mereka muncul seorang lelaki dari balik pepohonan. Ia mengenakan baju kutung, memperlihatkan lengannya yang kekar. Tangan kirinya menggenggam katapel dengan karet pelontar berwarna jingga mencolok mata. Sambil mengatapelkan batu ke arah tanah dan batang pohon, ia tertawa saat melihat saya. Ya, seperti biasa, Ferdy Martin Dalentang, lelaki itu, berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik.
Peran Ferdy sehari-hari memang menghalau para primata penyandang nama latin Macaca nigra, yang tergabung dalam sebuah kelompok bernama Rambo II. Kelompok ini terdiri dari 60 individu: 7 jantan dewasa, 18 betina dewasa, dan sisanya adalah anak-anak berusia hingga sekitar empat tahun. Wilayah jelajah harian mereka dan permukiman penduduk yang terletak di bagian barat TWA hanya dibatasi oleh sungai kecil yang bermuara di Laut Maluku.
Di bawah penugasan Macaca Nigra Project, sebuah proyek kerja sama antara German Primate Centre, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Sam Ratulangi, Ferdy menjaga kelompok ini agar tidak menyambangi kebun penduduk.!break!
PADA JANUARI YANG BASAH lalu, saya dan fotografer Reynold Sumayku duduk beralas ponco, memunggungi pantai hitam dengan deburan ombak yang kadang menggetarkan gendang telinga. Di depan kami membentang lahan terbuka, kira-kira seluas lapangan voli. Di sinilah para yaki terbiasa menghabiskan waktu untuk menyelisik serta bermain. Kami berdiam diri di antara gemerisik dedaunan, hingga seekor yaki melintas di hadapan kami. Ia naik ke sebuah batang pohon, lalu mengamati keadaan sekitar. Seekor yaki menyusulnya, kemudian mereka pun menghilang ditelan hutan.
Tak berapa lama kemudian, pohon mulai berayun di kejauhan, awalnya hanya sebuah, semakin lama semakin banyak. Dalam sekejap, apa yang tampak sebagai gumpalan-gumpalan berwarna hitam mulai keluar dari kerapatan vegetasi.
Sekitar lima menit setelah itu, dedaunan kering yang bertabur di lantai hutan berhamburan di depan mata. Sekitar delapan pasang yaki muda sibuk bermain, bergumul sambil menyeringai dan menggigit. Mereka saling berbenturan kemudian bertukar pasangan, berkejaran sambil membuat gerakan berputar di udara, juga bersalto. Seekor yaki mungil sibuk mempermainkan daun saat yaki dengan badan lebih besar berlari dan menubruknya sampai terguling-guling.
Di sisi lain, dua yaki sibuk mengerubuti yaki yang lebih kecil: Seekor menarik tangan kirinya, sedangkan yang lain menarik kaki kanannya sebelum yaki keempat meloncat ke dalam pergulatan.cAda pula yang tiba-tiba menjambak rambut di kepala temannya, lalu melarikan diri. Kadang mereka berkejaran dari dahan yang satu ke dahan lain, dan berakhir dengan bunyi gedebuk di tanah.
Saat saya sibuk memperhatikan apa yang terjadi, seekor yaki jantan dewasa yang diberi nama Kiting Junior oleh para peneliti menghampiri. Ia memperhatikan tas, kompas, serta buku catatan di atas ponco, sambil mengecapkan bibirnya kepada saya, tanda pertemanan.
Kemudian apa yang saya anggap sebagai pergulatan serius terjadi. Dua yaki berkejaran, mengeluarkan suara lengking yang nyaring. Mereka berlari ke arah pantai, membuat yaki lain berhenti bermain dan mengikuti arah suara. Pergumulan seperti ini kerap terjadi kala mereka bersantai. Kadang berakhir dengan pelukan, lalu saling mengecapkan bibir dengan cepat. Saat santai seperti ini adalah waktu yang paling tepat bagi yaki muda untuk melatih keterampilan serta kekuatan, sebagai bekal masa depannya.!break!
SAYA TERINGAT PERCAKAPAN dengan Jatna Supriatna, seorang ahli primata Indonesia. Namanya selalu tercantum dan menjadi rujukan dalam situs IUCN—organisasi internasional dalam bidang konservasi lingkungan—terkait status spesies makaka yang hidup di daratan Sulawesi mulai dari utara hingga selatan.
“Perilaku berkelompok pada primata memang sangat menarik. Makaka salah satu contohnya. Sama dengan manusia, kelompok itu punya struktur tertentu,” ungkap Jatna. Menurut penelitian bersama timnya, ada delapan spesies makaka endemik yang menghuni Sulawesi. Macaca nigra hidup mulai dari ujung tanduk Sulawesi Utara, hingga ke Sungai Onggak Dumoga, pembatas geografis dengan spesies tetangganya, Macaca nigrescens di bagian barat.