Salah satu ancaman bagi yaki yang datang dari manusia adalah penjualan daging yaki di pasar, terutama pasar Langoan dan Tomohon. “Kalau sekarang kelelawar atau tikus saja dijual lima belas ribu per ekor, daging yaki yang dijual secara kiloan mungkin bisa seratusan ribu harganya,” ungkap Yunus. Bersama daging babi rusa, biasanya penjualan daging satwa ini dilakukan pada dini hari.
“Yaki ditangkap dengan menggunakan jerat,” ujar Yunus. Ia pernah mendapati jerat yang diletakkan di dalam bambu untuk mengelabui yaki agar mau mengambil makanan yang diletakkan di dalamnya. “Ada juga jebakan yang bisa melontarkan panah dari dua arah,” katanya sambil menggambarkan bagaimana alat itu bekerja melepas panah ke badan yaki, yang membuat saya bergidik.!break!
Cacat karena jerat tampaknya menjadi hal yang biasa bagi kelompok Rambo II yang wilayah jelajahnya terdekat dengan kampung, walau jerat tersebut belum tentu ditujukan kepada mereka. “Biasanya jerat dipasang untuk ayam hutan,” ujar Giyarto. Tetapi tak pelak lagi, yaki kecil yang penasaran dan baru berumur sekitar satu tahunan biasanya menjadi korban dari ulah manusia ini. “Pada akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011, kurang lebih ada enam individu dari Rambo II yang terjerat. Namun akhir tahun lalu, tidak ada korban,” jelas Giyarto.
Rambo II bisa jadi masih cukup beruntung karena hidup di kawasan yang dilindungi. Menurut Yunus, ada beberapa kelompok yaki yang jumlahnya semakin menyusut di kawasan cagar alam, akibat senapan angin serta jerat burung atau jerat babi yang sulit terpantau oleh para petugas.Menurut informasi yang diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi utara, Cagar Alam Tangkoko didirikan pada 12 Februari 1919 melalui Besluit Van den Governeur Nederlands dengan luas 4.446 hektare.
Pada 1981, melalui SK menteri Pertanian, ditetapkanlah dua kawasan taman wisata alam, yaitu Batuputih seluas 615 hektare tempat kelompok Rambo II tinggal, serta TWA Batuangus yang memiliki luas 635 hektare dan sebelumnya merupakan bagian dari cagar alam.
“Ada empat wilayah permukiman yang mengelilingi kawasan Cagar Alam: Batuputih, Duasudara, Pinangunian, serta Kasawari,” tutur Yunus kepada saya di sela-sela gemericik air yang terjun ke sebuah sungai yang melintas di pintu TWA Batuputih. “Di Kasawari sudah ada satu tempat peribadatan yang masuk ke dalam kawasan cagar alam. Kini penduduknya pun semakin padat. Sementara di Pinangunian, setengah kampung sudah masuk ke kawasan cagar alam,” lanjutnya sambil menelusuri tempat-tempat tersebut dengan jarinya di atas sebuah peta.
Nama Yunus tercantum dalam lembar peta tersebut sebagai salah satu tim pembuat. “Seharusnya dibuat batas kawasan yang jelas. Jadi bisa ketahuan bahwa memang mereka masuk ke dalam kawasan cagar alam,” ujarnya dengan tegas.
Selama menghabiskan beberapa waktu di sekitar kawasan taman wisata alam, kami sempat mendengar soal pencurian kayu di hutan. Yunus mengakui, pembalakan liar memang kerap terjadi karena kebutuhan untuk membuat perahu misalnya. Pencuri kayu biasanya masuk melalui bibir pantai yang membatasi gunung-gunung ini dengan laut lepas.
Pada saat mengikuti para peneliti mengamati kelompok yaki Pantai Batu, kami sempat tercengang memperhatikan sisa tebangan pohon beringin berdiameter sekitar tiga rangkulan orang dewasa. Bagian batang yang besar dengan panjang sekitar empat atau lima meter telah tiada, menyisakan ujung batang kecil yang tergeletak begitu saja di lantai hutan. Serpihan kayu yang masih basah hasil potongan gergaji mesin bertebaran di sekitar kami. Habitat yaki semakin terancam. Pada 2004, Jatna memperkirakan populasi yaki hanya tinggal sekitar 3.500 ekor.!break!
Sesungguhnya, yaki di Sulawesi Utara tak sendiri. “Ada puluhan ribu Macaca nigra di Pulau Bacan,” tutur Jatna berdasarkan survei populasi yang pernah ia dan timnya lakukan pada 1992 hingga 1994 di pulau yang terletak di Provinsi Maluku Utara itu. Alkisah, ada sepasang yaki yang dipersembahkan kepada raja di Maluku sebagai cendera mata.
Menurut tulisan Jack Fooden pada 1969, ahli primata asal Amerika Serikat, yaki ini bisa jadi dibawa sekitar tiga atau empat abad yang lalu. Tanpa persaingan konsumsi pakan dari satwa lain, monyet introduksi ini berkembang biak dengan pesat. Ironis memang, karena di tempat asalnya sendiri, yaki menyandang status kritis di alam, sementara menurut beberapa peneliti, yaki hasil introduksi tidak boleh dikembalikan ke tempat asalnya sebelum diteliti lebih lanjut.
PADA SUATU PAGI yang panas di tengah kerapatan hutan di tepi pantai, setelah hampir seminggu berada di tempat ini, saya mengamati kelompok Rambo II saat bermain. Tiba-tiba seekor yaki muda memperhatikan saya dari jarak sekitar dua meter. Saya pun mengecapkan bibir tanpa memperhatikannya dengan saksama, berusaha menghindari kontak mata. Yaki itu membalas mengecap. Tak berapa lama ia naik ke pohon yang tak terlalu tinggi, setingkat dengan pandangan mata saya.
Ia kembali memperhatikan saya dan mengecap-ngecapkan bibirnya. Beberapa menit kemudian yaki itu sudah tidak ada. Saya pun lega karena saya pikir ia sudah pergi entah ke mana. Tetapi tiba-tiba dari atas kepala saya terdengar suara khas hampir mirip dengan kucing: “maww,” panggilan yang disebut Giyarto sebagai contact call, komunikasi yang paling sering terdengar dalam kelompok yaki, terutama saat bersantai. Ternyata ia ada di dahan yang terletak di atas kepala saya, tetap dengan pandangan ingin tahu sembari mengecapkan bibirnya. Ah, tampaknya sekarang saya mendapat teman baru.
Jatna pernah berkata kepada saya di akhir perjumpaan, “Mempelajari primata itu seperti mempelajari psikologi manusia. Kita bisa melihat bagaimana manusia bisa berkembang. Makaka itu benar-benar prototipe manusia. Selain perilakunya yang mirip, mereka juga bisa menyesuaikan diri di mana pun mereka berada.
Mulai dari tempat yang amat panas seperti gurun di Gibraltar, hingga tempat bersuhu amat dingin seperti di Jepang.” Tidak salah pula jika ia mengutip kata-kata Jack Fooden sebelum saya beranjak pergi; “Jika manusia adalah presiden alam semesta, makaka adalah wakilnya.”