“Permintaan terbesar datang dari Hong Kong, Cina, Taiwan, dan Korea. Namun, tidak menutup kemungkinan perdagangan antarpulau serta pasar domestik hingga Ibu Kota negara,” ujar Habib, sapaan akrabnya. Hal serupa dijelaskan Purwito Martosubroto, Ketua Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan (Komnas Kajiskan).
Pria yang sudah 48 tahun berkecimpung dalam riset dan pengelolaan perikanan laut ini meyakini bahwa perikanan tangkap Indonesia sudah memasuki titik kritis. “Jumlah kapal tangkap di Indonesia sudah terlalu banyak. Krisis sebenarnya sudah terasa dari hasil tangkapan kapal yang tiap tahun cenderung menurun dengan ukuran ikan yang semakin kecil,” Purwito menegaskan.
Pada 2003, Balai TNW bekerja sama dengan TNC dan WWF-Indonesia menemukan 30 daerah pemijahan ikan di Wakatobi. Akan tetapi, pada 2007, pemantauan lanjutan oleh TNW hanya menemukan empat lokasi pemijahan ikan yang berfungsi baik.
Ikan karang melekat kuat dalam kehidupan nelayan Wakatobi. Kelimpahan ikan seperti kerapu dan sunu selalu menjadi harapan di balik senyum nelayan yang kerap bercengkerama di bantea, rumah beratap segi tiga di pesisir kampung adat. Di bantea-bantea kampung-lah nelayan melakukan dialog informal dan diskusi adat, menyimpan layar dan dayung, menyulam jaring, dan menganyam bubu. Namun, belakangan ini percakapan soal kelangkaan kerapu semakin kerap terucap di dalam pembicaraan warga.!break!
“Di Wakatobi, masyarakat adat sudah ratusan tahun memiliki kearifan tradisi yang sarat akan misi pelestarian sumber daya alam,” kata La Ode Muhamad Saleh Hanan, budayawan Buton di Wakatobi. Masyarakat Wakatobi amat kuat mewarisi tradisi suku Buton, sebab kawasan tersebut sempat menjadi bagian Kesultanan Buton hingga sekitar periode 1960-an.
Pria kelahiran kampung adat Liya ini menjelaskan bahwa bagi suku Buton, laut adalah milik bersama yang diatur oleh sara—lembaga yang mewakili masyarakat hukum adat. Sara merujuk pada undang-undang Murabat Tujuh Kesultanan Buton dari abad ke-16. Lembaga ini diterapkan di tiap kadie atau kampung adat. Di Wakatobi, saat ini di antaranya di desa Liya, Mandati, Wanci, dan Kapota.
Menurut Saleh, kearifan lokal warisan adat sudah lama memiliki fungsi yang sama dengan sistem pelestarian formal TNW. “Bedanya, sara sudah berlaku puluhan bahkan ratusan tahun lebih dulu, namun pada kawasan yang lebih kecil,” kata Saleh. “Sistem huma di terumbu Kaledupa dan Kapota, misalnya, menentukan pengaturan wilayah tangkap, izin, dan penggunaan alat bagi pengguna sumber daya laut. Demikian pula sistem ikan nu sara (ikan milik sara) bagi masyarakat adat Liya yang membatasi penangkapan spesies tertentu."
Dalam ikan nu sara tercantum ikan napoleon (Cheilinus undulatus), yang dilindungi pemanfaatannya oleh hukum internasional, serta alu, atau barakuda (Sphyraena barracuda). Lalu ada wehai di desa Liya yang memberlakukan larangan tangkap pada wilayah tertentu dengan tujuan membuat ikan lebih banyak berkumpul dan jinak. Hingga pembatasan bagi nelayan luar yang hanya boleh menangkap dengan alat pancing.
“Ikan nu sara mengandung pengertian ikan milik sara. Dengan sendirinya ikan tersebut tidak menjadi target tangkapan nelayan,” tambah Saleh. Kategori ikan nu sara mencakup spesies yang populasinya tidak dominan dalam ekosistem. Masyarakat juga yakin bahwa ikan-ikan tersebut dijaga oleh sara secara fisik dan batin, sehingga mampu bertahan di alam. “Karenanya kalau tertangkap harus diserahkan ke sara. Inilah sisi rasional dari kearifan ikan nu sara, sebuah sinyal konservasi spesies yang terbukti mampu menjaga kelestarian ikan-ikan tersebut.”
Begitu pula dengan kelekatan fungsi terumbu karang—tempat tinggal kerapu—dalam nilai-nilai luhur adat Bajo. “Di antaranya adalah parika, yang sudah berlaku di Bajo jauh sebelum modernisasi masuk. Dalam parika, masyarakat adat memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak (memijah), serta membatasi ruang bagi orang yang menangkapnya,” papar Sadar, salah seorang budayawan keturunan Bajo yang bekerja untuk WWF-Indonesia di Wakatobi.
Sadar menjelaskan, dalam masyarakat Bajo juga dikenal ritual duata sangal. “Duata dilakukan dengan mengambil beberapa jenis ikan kecil yang terancam punah, dan melepaskannya kembali ke laut, sebagai simbol bahwa jenis ikan tersebut sudah terancam dan perlu perlindungan.”
Kearifan Bajo lainnya berupa tubba dikatutuang (terumbu karang yang dipelihara) saat ini masih berlaku di Desa Bajo Sama Bahari di Kaledupa. Skema ini menetapkan beberapa titik terumbu karang sehat yang telah disepakati oleh para pemangku adat dan sandro (juru ritual adat), serta tokoh masyarakat atau pemimpin nelayan (punggawa) sebagai kawasan pengelolaan oleh adat.