Ironi Sajian Bahari

By , Rabu, 24 Oktober 2012 | 11:48 WIB

Kini saat musim turis, Arifin, salah satu pemilik sopek—sebutan lokal untuk kapal berbobot kasar di bawah lima ton—memilih untuk tidak melaut. Dia hanya mengantar pengunjung pulau. Pendapatan dari sektor pariwisata lebih bisa diandalkan untuk menjadi penyangga hidup di bulan-bulan sepi wisatawan atau masa sulit menangkap ikan, ketimbang mencari ikan.

Jika dia harus melaut, itu pun dilakukannya hanya sebatas perairan dalam Kepulauan Karimunjawa, dan hanya mencari cumi, sotong, tongkol, atau ikan karang, dengan menggunakan pancing ulur sederhana. Hasil tangkapannya hanya dijual untuk warga pulau, khususnya untuk suplai bahan ikan penginapan dan homestay. Mirip di Wakatobi, selama berada di Karimunjawa saya juga semakin kerap mendengar ucapan “ikan semakin kecil, dan semakin sulit didapat,” dari ratusan kepala keluarga nelayan.!break!

Saya penasaran dan mencoba melihat-lihat hasil tang­kap­an kerapu yang ada di pelabuhan pendaratan ikan dan pasar pagi di wilayah Karimunjawa. Betul. Hasil pencarian saya nihil. Saya tidak mampu menemukan satu pun kerapu. Padahal, terumbu karang tepi menghampar begitu luas di wilayah perairan Karimunjawa.

Selama menginap di salah satu homestay tertua di Desa Karimunjawa yang bergaya Belanda, hampir setiap malam saya menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan Achmad Mustofa, rekan peneliti dari Yayasan Taka. Dugaan awal tim peneliti: Ikan karang di tingkat rantai ekosistem teratas, seperti kerapu, semakin tipis atau sudah habis di perairan Kepulauan Karimunjawa.

Ikan karang akhirnya kami jumpai, namun dari jenis kakatua (parrot fish) dan baronang (rabbit fish) ukuran anakan. Ikan-ikan ini terlihat dijajakan di pasar desa, atau sedang dikuliti penduduk untuk hidangan mereka. Ada persamaan dengan Wakatobi: permintaan yang tinggi membuat ikan anakan juga ditangkap. Saya berpikir, kapan kita mulai memberikan waktu sejenak bagi ikan di alam untuk memulihkan populasinya?

Beberapa kerapu bebek dan kerapu macan akhirnya kami temukan dalam keadaan hidup. Namun—seperti halnya di Tomia—sebagai biakan budi daya di sebuah unit keramba jaring apung dekat Desa Karimunjawa. Penjaga keramba menceritakan bahwa kerapu hasil pembiakan satu hingga dua tahun tidak akan dijual di pulau. Harga panen yang mencapai sekitar Rp300.000-an—yang terlalu mahal untuk konsumsi penduduk lokal—akan dibawa ke Jakarta.

Mustofa dan timya menduga, ikan herbivora seperti kakatua dan baronang menjadi ikan karang target baru bagi nelayan lokal. Padahal, menurut pria yang juga seorang ahli ekologi laut ini, peranan populasi kakatua sangat kritis untuk mengendalikan pertumbuhan alga di dasar terumbu, sehingga ada ruang tumbuh koral di Karimunjawa.

Mungkinkah ini salah satu alasan begitu sepinya keberadaan ikan saat penyelaman kami di terumbu Karimunjawa? Sekritis inikah penghabisan ikan kita, mulai spesies rantai teratas, hingga terus ke bawah bak efek domino?!break!

GITHA ANASTASIA PERNAH MELIHAT dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana hiu dan ikan anakan lainnya dijual bebas di kawasan pesisir Jakarta. Perempuan penggiat ekowisata ini kemudian berusaha mencari tahu berbagai informasi mengenai seluk-beluk perikanan berkelanjutan, salah satunya lewat forum-forum daring.Ia pun menemukan Marine Buddies, forum independen yang beranggotakan individu dari beragam profesi.

“Lewat forum MB, saya menemukan diskusi soal ancaman lingkungan jika kita membeli atau mengonsumsi daging hiu,” ujarnya. Di sana didiskusikan pula soal hiu dan lumba-lumba yang dijadikan tontonan akrobat, termasuk kesalahan fatal wisatawan yang kerap memberi makan ikan liar di pulau yang bisa mengubah perilaku alami mereka.

Lewat informasi dari forum-forum sejenis, dia mengaku kini lebih berhati-hati dalam memilih hidangan laut. Berbeda dengan Githa, Margareth Meutia, perempuan penggiat kampanye hidangan laut lestari ini mencoba menengok tingkat kesadartahuan konsumen pangan laut di Indonesia pada 2009.

Dia bekerja sama dalam tim gabungan Marine Buddies, relawan WWF-Indonesia, dan mahasiswa dari tiga universitas. Margareth ikut menyurvei 751 orang dari sentra kuliner laut di lima kota besar di Jakarta, Surabaya, Medan, Manado, dan Denpasar.

Lewat kegiatan sukarela tersebut dirinya tahu bahwa hanya sekitar 30-35 persen dari responden mengetahui permasalahan perikanan Indonesia saat ini. Walaupun responden dari pengusaha produk laut lebih paham soal terancamnya status produk laut seperti tuna, hiu, ikan karang, dan udang, komitmen untuk berubah tetap berada pada masyarakat sebagai konsumen utama.

“Jika sudah tahu ancamannya, konsumen cenderung sadar dan akan menghindari untuk me­nyantap spesies terancam dan dilindungi. Bagi pe­ngusaha, jika permintaan konsumen tetap tinggi, mereka akan tetap menjual ikan-ikan tersebut,” ujarnya berapi-api kepada saya.

Pada suatu malam di Karimunjawa, firasat buruk saya pun terwujud. Beberapa ekor ikan karang ukuran anakan tersaji cantik di meja makan tamu! Saya dan rekan-rekan tertegun sejenak. Bayangan kelezatan tiba-tiba berkelebat di benak kami. Tanpa maksud untuk bersikap tidak hormat, piring hidangan laut yang dibakar dengan saus kecap nan lezat itu pun terpaksa kami kesampingkan.

Malam itu kami memutuskan untuk menyantap tahu, tempe, dan cumi sebagai pilihan lauk hingga hari terakhir di Karimunjawa. Kali ini, kami memenangkan hak ikan, sementara hak lidah dan perut kami sendiri kami kalahkan. Kami tidak ingin serakah.