Ironi Sajian Bahari

By , Rabu, 24 Oktober 2012 | 11:48 WIB

Bagi Mustaqim, dengan usia menjelang separuh baya, risiko melaut kini dinilainya terlalu besar. Di perairan barat Indonesia yang sudah mengalami penangkapan ikan berlebihan, perjalanan mencari ikan butuh jarak lebih jauh, lebih lama, dan sulit untuk mencapai hasil tangkapan yang diinginkan. Belum lagi risiko dari cuaca buruk yang semakin sulit diprediksi, yang mengancam keselamatannya setiap saat.

Mustaqim kini memilih rutinitas membersihkan rumput laut, menjaga kekokohan bentangan rawai, dan menjaganya dari pencurian. Sebuah pencaharian baru yang lebih “aman”. Mustaqim dan rekannya memperkirakan perairan akan bersahabat dalam satu hingga dua bulan ke depan. Ia berharap 10-15 ribu kilogram rumput bisa dipanen.

Dalam laporan KKP, pada 2010 hampir separuh hasil laut Indonesia datang dari kegiatan budi daya. Tahun itu, 97 persen komoditas merupakan rumput laut dengan ekspor mencapai 3,4 juta ton. “Di sisi lain, ekspor kerapu, kakap, lobster, kerang, dan teripang hanya sekitar 47.200 ton,” papar Iman Barizi, Kepala Subbagian Kerja Sama Program untuk Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya KKP.

Bagi nelayan Indonesia pada umumnya, membudi­dayakan ikan laut seperti kerapu dan kakap membutuhkan biaya yang mahal dan sulit. Selain harus menjamin agar ikan tidak stres akibat buruknya cuaca, mereka juga mesti menjaga keteraturan asupan pakan berupa ikan rucah. “Ini menjadi salah satu alasan utama mengapa nelayan akhirnya menangkap kerapu secara langsung, dan terkadang menggunakan obat bius yang mematikan karang dan ikan kecil,” ujar Candhika Yusuf dari WWF-Indonesia.

Laporan perikanan dunia dari badan pangan PBB, FAO, mengungkap bahwa saat ini sepertiga dari total sumber daya laut dunia datang dari budi daya. Baik Imam maupun Candhika meyakini—dengan mengingat bahwa hasil laut sudah ditangkap hingga titik jenuhnya—budi daya laut akan menjadi kunci suplai protein laut untuk ketahanan pangan Indonesia.

Namun, Iman berpendapat, “kini masih sulit bagi masyarakat awam untuk membedakan produk ikan laut hasil budi daya dengan produk hasil penangkapan. Apalagi harus membedakan mana ikan yang berasal dari proses budi daya yang ramah lingkungan, dan mana yang tidak lestari.”!break!

Mendatangkan ikan laut dari budi daya bukan ber­arti tidak menangkap ikan. “Penangkapan ikan rucah sebagai pakan ikan budi daya juga dapat menekan populasi ikan di alam, dan mendorong ke arah kondisi penangkapan berlebih,” Iman menjelaskan. Bahkan, pelet pakan ikan pun berbahan dasar tepung ikan dan minyak ikan dari tangkapan alam yang kebanyakan merupakan hasil tangkapan sampingan.

“Saat ini Pemerintah Indonesia sedang meng­arahkan agar hasil budi daya laut memenuhi standar Cara Budi Daya Ikan yang Baik (CBIB),” ujar Iman. Melalui CBIB, kegiatan budi daya ikan laut Indonesia bukan saja akan semakin mempertimbangkan ke­lestarian lingkungan, melainkan juga kaidah sosial.

Pasalnya, kompetisi antara industri dan masyarakat miskin dalam pembelian ikan rucah sering kali menyebab­kan harga ikan rucah melambung tinggi. Akhirnya warga miskin pula yang kian terpinggirkan.

Selain itu, di kalangan pembudi daya ada pe­mahaman untuk memberikan pakan sebanyak-banyaknya. “Padahal, pakan yang berlebihan akan menyisakan limbah yang mencemari perairan,” jelas Candhika. Zat anorganik yang terkandung dalam pakan akan memicu merebaknya fitoplankton dan alga mikro. Kejernihan dan nutrisi air pun berubah.

Selama berada di desa Karimunjawa dan Kemujan, saya hanya menjumpai satu keramba jaring apung untuk budi daya kerapu bebek dan kerapu totol. Tidak terbayang betapa lestarinya hamparan terumbu karang tepi Karimunjawa jika budi daya ikan menjamur sebagaimana rumput laut.

SEMENTARA DESA KEMUJAN RAMAI dipadati bentangan dan gelaran rumput laut yang sedang dijemur, Desa Karimunjawa—pulau yang berimpitan di sisi selatan pulau Kemujan—justru diramaikan plang, spanduk dan neon dari jasa penginapan yang menjamur. Di desa administratif itu, sektor pariwisata menjadi pe­kerjaan menjanjikan kedua setelah nelayan.