Ironi Sajian Bahari

By , Rabu, 24 Oktober 2012 | 11:48 WIB

“Namun, setelah pembeli ikan hidup dari luar datang, nilai budaya serta adat-istiadat yang ada dalam komunitas Bajo itu mulai luntur,” tutur Sadar.!break!

BELAKANGAN INI, PERMINTAAN IKAN KARANG seakan tiada henti. Nilai jualnya juga selalu menggiurkan. “Kerapu hidup seberat 600 gram hingga 1,2 kilogram bisa mencapai harga Rp350.000 lepas dari pengepul,” ujar Habib.

Pada 2004, penelitian LIPI mengungkap bah­wa dari desa Mola saja masyarakat Bajo bisa men­dapatkan ikan karang 90 hingga 180 ton setiap tahunnya. Ini belum termasuk ribuan nelayan ikan karang dari pulau lain di Wakatobi, dan nelayan dari luar Wakatobi. Seiring meningkatnya permintaan dan naiknya harga, alhasil warga mulai merasakan nikmatnya menjadi nelayan.

Akan tetapi, godaan status ekonomi perlahan-lahan mulai menggerus kearifan lokal yang sudah dianut masyarakat secara turun-temurun. “Warga mulai membangun rumah di atas fondasi permanen, lalu mengecat rumah dengan aneka corak. Tujuannya, untuk meraih kepercayaan dari para tengkulak,” kata Suratman Baharudin, peneliti dari Institut Pertanian Bogor.

Masyarakat rela menambang berton-ton karang untuk mereklamasi pantai untuk fondasi rumah, sekaligus meninggalkan rumah tradisional mereka berupa rumah panggung pancang.

Lebih parah lagi, ledakan permintaan ikan-ikan karang telah memicu kerusakan ekosistem terumbu. “Sebabnya, sebagian besar ikan laut dari perairan Indonesia masih diambil dengan cara tangkap yang tidak ramah lingkungan. Spesies terancam juga masih ditangkap, merusak keseimbangan populasi spesies dan habitat laut,” tutur Imam Musthofa Zainuddin, dari Program Perikanan Nasional WWF.

Selain itu, sistem yang dianut dalam industri pun masih kurang menghargai keadilan sosial. Besarnya risiko melaut yang mempertaruhkan nyawa dan beban utang para nelayan belum terbayar dengan layak oleh harga beli dari pihak pengusaha. “Namun, bukan berarti dengan alasan kesejahteraan kita bisa terus mengambil tanpa ada kendali. Harus ada yang disisakan untuk anak-cucu nelayan,” kata Imam.

Laporan dari World Resource Institute (WRI) menyebutkan bahwa pada 2001 laut Indonesia sudah mencapai titik jenuh dalam memproduksi ikan. Sementara data Kementerian Kelautan dan Per­ikanan (KKP) pada 2010 menyebutkan, 71 persen sumber daya ikan di barat Indonesia sudah di­eksploitasi berlebih, sementara di timur “baru” mencapai 44 persen.

Sebuah perusahaan konsultan McKinsey & Company pada 2011 pernah melakukan kajian hipotesis simulasi ekosistem. Dengan asumsi luasan terumbu karang 1.000 kilometer persegi, kepadatan rata-rata 370 nelayan tradisional tiap kilometer persegi, dan pertumbuhan penduduk Indonesia konstan pada 1,1 persen per tahun, mereka memprediksi ikan kerapu akan musnah pada 2029. Bahkan, jika nelayan tradisional dan komersial skala besar beraksi bersamaan, penghabisan akan terjadi lebih dini, yakni tahun 2017.

“Kehati-hatian kita menjadi kunci pemulihan ikan laut Nusantara. Masyarakat harus lebih cermat memilih ikan laut yang hendak disantapnya. Nelayan dan pengusaha pun mesti terus menerapkan praktik perikanan yang lestari dan adil. Lalu pemerintah harus menjadi ‘wasit’ yang tegas dalam menerapkan peraturan dan perundangan perikanan,” Imam menegaskan hal itu kepada saya.!break!

DI BARAT INDONESIA, keadaannya agak berbeda. Siang itu, Mustaqim tidak melaut. Padahal, perairan Februari sedang bersahabat di Kepulauan Karimunjawa. Di pantai sisi utara pulau Kemujan, Ketua RT berusia 38 tahun ini hanya merendam se­paruh badannya dalam air, sibuk membuat simpul-simpul kecil tali rafia pada sekitar 100 meter bentangan tali nilon. Pada tiap 5-10 meter di tali, pe­lampung dari botol air mineral bekas diikatkan.

Hari itu, dia bersama petani rumput laut lainnya sedang berbagi tugas menghabiskan kurang lebih 500 kilogram bibit untuk dibentangkan di permukaan air. Meskipun nelayan Karimunjawa tidak diberkahi lagi “emas laut” layaknya kelimpahan ikan karang di Wakatobi, membudidayakan rumput laut telah menjadi mata pencaharian pendukung.