Lorong Gaza

By , Selasa, 27 November 2012 | 17:46 WIB

Sepertinya semua orang mengalami luka atau gangguan kesehatan. Yussef mengidap pe­­nyakit pernapasan kronis. Tungkai Khamis patah akibat terowongan runtuh. Rekan kerja mereka Suhail menyingkapkan kemejanya untuk menunjukkan parutan bekas luka di sepanjang tulang punggungnya. Sebuah cenderamata per­manen yang mengingatkan akan langit-langit yang rendah.

Di Jalur Gaza, kini status pahlawan tidak lagi melulu milik orang seperti Yasser Arafat dan Ahmed Yassin. Mereka adalah para almarhum  pemimpin Fatah dan Gerakan Perlawanan Islam, yang lebih dikenal dengan Hamas. Atau, milik warga Palestina yang tewas dalam pertempuran yang mengguncang selarik tanah sejak 63 tahun yang lalu. Kini para korban te­rowongan seperti Yussef pun—berusia 28 tahun saat meninggal—dihormati.

“Semua orang menyayanginya,” kata Samir. Dia “sangat baik.” Di dinding kamar jenazah dadakan itu tergantung beberapa poster ber­tuliskan ayat Quran sebagai ungkapan bela­sungkawa dari pengelola sekolah dasar tempat Yussef menimba ilmu. Juga, dari fungsionaris lawan politik setempat: Fatah, partai yang pernah berkuasa, serta Hamas, kelompok militan yang kini berkuasa di Jalur Gaza.

Dunia bawah tanah Rafah bukanlah barang baru. Sejak 1982, sudah ada terowongan pe­nyelundupan di sini, ketika kota dibagi dua setelah berlangsungnya Perjanjian Damai Mesir-Israel pada 1979. Perjanjian itu mengakibatkan separuh kota berada di wilayah Gaza dan sebagian lagi di Mesir.!break!

Saat itu, lubang sumur digali di ruang bawah tanah rumah. Militer Israel, yang mengetahui terowongan itu digunakan untuk menyelundupkan senjata, mulai meng­hancurkan rumah yang di dalamnya ada jalan masuk ke terowongan. Begitu juga orang Palestina yang ingin menjaga agar ekonomi terowongan tetap mereka kendalikan.

Ketika tindak­an tersebut tidak berhasil mengakhiri penyelundupan, Israel lalu memperluas aksi penghancuran tersebut. Israel membuat zona penyangga antara perbatasan dan kota. Menurut Human Rights Watch, sekitar 1.700 rumah dihancurkan pada 2000-2004.

Masyarakat Israel mulai memperhatikan terowongan Gaza pada 2006. Saat itu, se­kelompok militan yang berafiliasi dengan Hamas muncul di Israel di dekat perbatasan dan menculik Kopral Gilad Shalit. Shalit merupakan perwujudan perang tanpa henti, wajahnya terpampang di papan iklan pinggir jalan, mirip poster kepahlawanan yang menghiasi banyak dinding di Jabalia dan kamp lain. (Akhirnya dia dibebaskan dalam program pertukaran tahanan pada musim gugur 2011.)

Setelah memenangi pemilu pada 2006, Hamas terlibat perang saudara berdarah dengan Fatah. Perseteruan itu dimenangi Hamas pada tahun berikutnya dan mengendalikan Jalur Gaza. Lalu, Israel memberlakukan pemblokadean eko­nomi yang kian lama kian mengetat.

Pem­blokadean itu menutup pelabuhan masuk dan melarang impor hampir semua komoditas yang memungkinkan masyarakat Gaza hidup di atas garis kehidupan layak. Mesir pun bekerja sama.

Sejak tergulingnya Hosni Mubarak pada awal 2011, para pejabat Mesir mengungkapkan penyesalan mereka karena telah bekerja sama dengan Isrel. Mesir membuka kembali penyeberangan perbatasan kecil Rafah, walau­pun masih melarang sebagian penduduk Gaza lewat memasuki kawasan mereka.

Presiden barunya, Mohamed Morsi, yang tidak ingin berhubungan erat dengan Hamas, belum menyatakan akan membantu Gaza seperti yang diharapkan oleh sebagian besar penduduk Gaza. Setelah Israel memberlakukan pemblokadean, penyelundupan menjadi pilihan Gaza. Melalui banyak terowongan di bawah Rafah masuk­lah segala macam barang.

Mulai dari bahan bangunan dan makanan sampai obat-obatan dan pakaian. Lalu, dari bahan bakar dan komputer hingga ternak dan mobil. Hamas me­nyelundupkan senjata. Sejumlah terowongan-baru dibangun dalam hitungan hari—tepatnya dalam hitungan jam—dan kekayaan baru pun mengalir masuk. Banyak keluarga menjual harta mereka untuk turut memilikinya.!break!