Lorong Gaza

By , Selasa, 27 November 2012 | 17:46 WIB

Mahmoud menerima uang mulai dari ratusan hingga ribuan dolar dari setiap pengiriman, tergantung pada barang yang dibawa masuk. Seperti sejumlah operator terowongan, dia menghasilkan cukup uang untuk menjaga agar terowongannya tetap buka dan menghidupi keluarganya, tetapi tidak lebih dari itu.

Lima hingga dua belas orang bekerja dengan giliran kerja selama dua belas jam, siang dan ma­lam, enam hari seminggu. Mahmoud ber­komunikasi dengan mereka melalui radio dua arah. Para pekerja mendapatkan upah sekitar Rp480.000 per giliran kerja, tetapi terkadang tanpa menerima bayaran selama ber­minggu-minggu atau berbulan-bulan.

Di lantai tanah di bawah terpal disediakan beberapa bantal ber­debu tempat mereka beristirahat setelah giliran kerja berakhir. “Anda mau turun?” tanya Mahmoud. Se­belum bisa menjawab tidak, saya mengiyakan. Tak lama kemudian, pekerjanya dengan penuh semangat mengikat saya dengan tali pe­ngaman, lalu menurunkan saya ke sumur yang dingin dan lembap.

Saya mencoba mem­bayangkan seperti apa rasanya jika ini pekerjaan saya sehari-hari, pergi kerja dengan turun enam lantai ke dalam perut bumi di ujung seutas tali. Di dasar lubang, keadaan kacau-balau: bohlam redup berpendar-pendar, percakapan radio membahana, para pekerja bersimbah debu tampak memanggul karung dari papan luncur.

Mulut terowongan cukup besar untuk menampung beberapa orang yang membungkuk, tetapi dengan segera menyempit sampai-sampai saya harus merunduk dan pundak saya menggesek dinding. Setelah kembali ke permukaan, sekelompok polisi tiba-tiba muncul.

Mereka melihat mobil kami. “Anda tidak boleh berada di sini,” kata pemimpin mereka. Ayman meminta maaf, dan tak lama kemudian polisi itu menyuguhi saya dengan cerita bahwa kemarin dia menemukan muatan kokain dan ganja di sebuah terowongan. Penyelundupan obat terlarang memang menguntungkan, tetapi sangat berisiko.

Mereka menahan operator terowongannya, lalu lubang itu ditutup. Kemudian, dia memerintahkan agar Paolo dan saya pergi, menyuruh kami meminta izin dari pemerintah pusat di Gaza City kalau ingin kembali. “Jangan masuk ke terowongan,” polisi lain memperingatkan. “Anda bisa mati.”

Di dalam terowongan, maut mengepung dari segala arah. Seorang operator menceritakan pengalamannya saat berusaha menyelundupkan masuk seekor singa untuk kebun binatang Gaza. Hewan itu tidak dibius dengan benar, terjaga di dalam terowongan di tengah perjalanan, dan menerkam salah seorang pekerja.!break!

Operator lain memperlihatkan video di telepon genggamnya yang menunjukkan tiga pemuda kurus terbaring tak bernyawa di atas dipan beroda. Mereka dulu bekerja di terowongannya. Saya bertanya mengapa tidak ada tanda-tanda luka memar atau patah tulang. “Mereka menghirup gas beracun,” jawabnya.

Menurut beberapa orang Palestina, ketika Mesir ditekan oleh Israel untuk menghentikan penyelundupan, tentaranya terkadang meracuni udara terowongan dengan memompakan gas. Mesir menyangkalnya.

Setelah berhari-hari menjelajahi sejumlah kantor, kami kembali ke koridor terowongan. Ter­siar kabar bahwa seorang wartawan Amerika sedang melakukan penyelidikan, dan bahkan dengan dikawal resmi pun banyak operator menolak kami. Tetapi, beberapa menyambut ke­datangan kami dengan hangat.

Yang paling ter­buka adalah Abu Jamil, kakek beruban sekaligus mukhtar (pejabat daerah) tidak resmi koridor Philadelphi. Abu Jamil disebut-sebut sebagai orang pertama yang membuka terowongan 24 jam. Dengan cepat terowongan itu menarik begitu banyak bisnis sehingga tidak terlayani oleh satu sumur, jadi dia menggali parit besar untuk memuat dan membongkar barang.

Abu Jamil membuka beberapa terowongan lagi, dan anak lelaki, cucu, kemenakan, dan se­pupunya bekerja untuknya. Tepat pada saat itu seorang pria memasuki tenda dan membisikkan sesuatu ke salah seorang mitra. Dia bukan menginginkan sarden—dia ingin diselundupkan ke Mesir. Ini permintaan yang lumrah.

Sejumlah penduduk Gaza pergi ke Rafah di bagian Mesir melalui terowongan untuk berobat. Lainnya, menggunakan terowongan untuk melarikan diri, atau untuk bersenang-senang semalam suntuk. Saya dengar bahkan ada terowongan VIP untuk para pelawat kaya, dilengkapi penyejuk udara dan ponsel.

Saat kedua orang itu tawar-menawar, ter­dengar teriakan di luar tenda. Saya bergegas ke­luar dan melihat seorang pekerja terowongan nyaris meninju Paolo. Orang itu berteriak tidak ingin dipotret. Setiap kali ada wartawan datang, teriaknya, pasti ada terowongan dibom.

Dengan nada keras, dia ingin kami meyakinkannya bahwa kami bukan mata-mata. Saat Ayman berusaha mem­bujuk si operator terowongan agar mau ber­bicara dengan saya, kata “Mossad” sering di­ucapkan. Mereka beranggapan bahwa jika Paolo dan saya bukan CIA, kami pasti dari badan mata-mata Israel.!break!

Paranoia pekerja terowongan dapat di­pahami, mengingat pengintaian Israel terhadap Gaza tiada henti, diperkuat oleh dengungan mesin pesawat tanpa awak yang terdengar dari atas. Baru-baru ini saja, pasukan Israel memasuki zona terowongan. Beberapa, seperti yang diberitakan pers Israel, tewas akibat ledakan bom—jebakan yang dipasang oleh pihak Palestina.

Walaupun pengangguran mewabah—tingkat pengangguran di Gaza lebih dari 30 persen—Jalur Gaza dipenuhi calon wirausahawan. Di pantai utara Gaza City, di samping sejumlah kafe yang dibom, peternakan ikan dibangun. Di atap bangunan yang digerogoti peluru senjata mesin, kebun sayuran hidroponik ditanam.

Di Rafah, sebelah barat terowongan, tampak pabrik pengolah rumput laut yang sekarang sudah ber­operasi, kolamnya dipagari tiang beton yang diambil dari dinding perbatasan. Di samping terowongan, ada ekonomi lain yang lahir dari kehancuran.

PBB mem­perkirakan Operation Cast Lead menciptakan lebih dari setengah juta ton puing, yang menjadi mata uang tersendiri. Benda itu ada di mana-mana. Para pengumpul puing biasanya kelompok anak-anak yang membawa martil dan palu, memecahkan bongkahan, menyaringnya, memuatnya ke gerobak keledai.

Lalu mereka membawanya ke salah satu dari banyak pabrik blok beton. Beginilah cara masyarakat Gaza membangun kembali, tanpa bisa mengimpor bahan bangunan secara legal. Seorang ahli ekonomi pemerintah pernah berkata kepada saya bahwa berkat puing-puing itulah angka pengangguran di Gaza turun sebesar enam persen pada 2010.

Masyarakat Gaza masih berharap bahwa Kebangkitan Dunia Arab dapat mengubah kondisi mereka, walaupun sampai sekarang belum. Ada pembicaraan untuk membuka perbatasan dengan Mesir, tetapi kapan hal itu terlaksana, atau apakah memang akan terjadi, masih belum jelas.

Ekonomi kehancuran menimbulkan per­ubahan yang mungkin membuat Thutmose III gembira: Pada suatu malam, saya dan Paolo menghadiri pesta pernikahan di sebuah lubang bom. Ekonomi kehancuran juga ber­dampak buruk: Menurut wawancara dalam laporan International Crisis Group, “beberapa roket diluncurkan oleh para militan muda. Mereka disewa oleh saudagar setempat, yang ke­untungannya bisa berkurang jika penutupan oleh Israel dikendurkan.”

Sungguh mengerikan untuk dipercaya, tetapi para militan yang saya temui memikirkan peluang wirausaha dengan cara yang lebih damai. Setelah kembali ke Jabalia, saya menanyakan masa depan Samir. “Saya tidak mungkin kembali bekerja di terowongan,” katanya.

Saya tanyakan apa yang akan dia kerjakan sebagai peng­gantinya, dan dia melambaikan tangan ke ruangan tempat kami duduk. Ternyata, Yussef sang kakak telah menandatangani kontrak untuk menyewa tempat ini. Saat tidak bekerja di terowongan, Samir menjelaskan, Yussef belajar menjadi peternak lebah. Dia berencana membuka toko madu di sini. Samir ingin meneruskan usaha Yussef.

Terakhir kali saya mendapat kabar dari Samir, pada bulan September, toko sudah dibuka. Ketika Yussef tewas, istrinya sudah tiga bulan mengandung anak pertama mereka. Tak lama kemudian, dia keguguran. Wanita itu sekarang istri adik bungsu Yussef, Khaled, yang mengelola toko madu itu bersama Samir. Mereka memasang foto Yussef di dinding.