Lorong Gaza

By , Selasa, 27 November 2012 | 17:46 WIB

SEJAK BEKERJA DI TEROWONGAN PENYELUNDUPAN DI BAWAH JALUR GAZA, SAMIR DAN KAKAKNYA, YUSSEF, DIBAYANG-BAYANGI KEMUNGKINAN BAHWA SUATU HARI MEREKA AKAN MATI DI SITU.

Ketika Yussef meninggal, di malam yang dingin pada 2011, ajal tiba seperti yang mereka bayangkan: tertimbun tanah.Saat itu pukul 9 malam, dan kedua kakak-beradik itu sedang mendapatkan giliran kerja malam untuk memelihara terowongan yang kon­­struksinya buruk dan membahayakan jiwa.

Terowongan ini sama seperti terowongan lain­nya yang jumlahnya ratusan dan membentang antara Gaza dan Semenanjung Sinai, Mesir. Samir sedang bekerja di dekat jalan masuk yang kedalamannya hampir 30 meter di bawah Rafah, kota paling selatan di Gaza. Sementara, Yussef dan kedua rekan kerjanya, Kareem dan Khamis, berada di dekat pertengahan terowongan.

Mereka berupaya memasang tripleks ke dinding untuk mengganjal atap terowongan saat terowongan itu mulai runtuh. Kareem berhasil menarik Khamis agar menyingkir, sementara Yussef melompat ke arah yang berlawanan. Untuk sesaat runtuhan tanah dan bebatuan berhenti, dan ketika melihat teman-temannya selamat, Yussef berteriak kepada mereka, “Alhamdulillah!—Syukur kepada Allah.”

Kemudian, terowongan runtuh lagi, dan Yussef pun lenyap. Samir mendengar suara terempas dari sistem radio. Dia masuk ke dalam terowongan, awalnya berlari, lalu merangkak saat lubang semakin sempit dan rendah. Dia harus berjuang agar tidak pingsan karena udara dicemari kepulan debu.

Suasananya nyaris gelap gulita ketika akhirnya dia menemukan Kareem dan Khamis yang sedang menggali sekuat tenaga dengan tangan mereka. Samir pun ikut menggali. Terowongan mulai runtuh lagi. Sebongkah pilar beton menghantam lengan Kareem. “Kami tidak tahu harus berbuat apa. Kami tidak berdaya,” kata Samir kepada saya.

Setelah tiga jam menggali, mereka menemukan celana panjang olahraga biru. “Kami mencoba menahan Samir agar tidak melihat Yussef, tetapi dia tidak mau memalingkan wajah,” kata Khamis. Sambil menjerit dan menangis, dengan panik Samir menyingkirkan bebatuan yang menimbun kakaknya. “Saya bergerak tanpa sadar,” katanya.

Dada Yussef bengkak, kepalanya retak dan memar. Darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Mereka menyeret Yussef ke mulut terowongan di sisi Gaza, mengikat tubuhnya dengan tali pengaman, dan para pekerja di atas terowongan menariknya keluar.

Tidak ada tempat untuk Samir di mobil yang melarikan kakaknya ke satu-satunya rumah sakit di Rafah. Jadi dia mengayuh sepedanya kuat-kuat mengikuti mobil itu. “Saya tahu kakak saya sudah meninggal,” katanya.saya duduk dengan Samir, 26 tahun, di tempat yang bisa dikatakan kamar jenazah. Kamar itu berupa ruangan berdinding beton yang belum selesai dibangun di lantai dasar blok apartemen kamp pengungsian Jabalia, tempat kakak-beradik itu dibesarkan.!break!

Di luar, di gang berserak sampah, tenda terpal menaungi para pelayat yang datang untuk menyampaikan bela sungkawa selama tiga hari terakhir. Pemandangannya khas Gaza: dinding beton berlubang-lubang akibat muntahan peluru senapan dan pecahan peluru meriam dari serangan Israel dan pertempuran antar-kelompok setempat. Lalu, anak-anak menggali tanah dengan sendok.

Generator yang diengkol dengan tangan yang berderam—lagi-lagi pemadaman listrik di Gaza—dengan asap pembuangan dieselnya memenuhi udara. “Saya takut sekali,” kata Samir, menceritakan suatu hari pada 2008 ketika dia bergabung dengan Yussef untuk bekerja di terowongan.

“Saya sebetulnya tidak berminat, tetapi tak punya pilihan lain.” Samir yang kurus, ber­pakaian celana panjang kaus, sweter cokelat, kaus kaki warna gelap, dan sandal yang me­nampak­kan jempol kakinya, tampak gugup dan tidak bisa diam.

“Kita bisa mati kapan saja,” katanya. Beberapa terowongan tempat Yussef dan Samir bekerja dipelihara dengan baik—dibangun dengan kokoh, berventilasi—tetapi kebanyakan tidak demikian. Terowongan runtuh sering terjadi, sama seperti ledakan bom, serangan udara, dan kebakaran. “Kami menyebutnya “thariq al syahada au thariq al maut,” kata Samir—“jalan menuju surga atau jalan menjemput maut.”

Sepertinya semua orang mengalami luka atau gangguan kesehatan. Yussef mengidap pe­­nyakit pernapasan kronis. Tungkai Khamis patah akibat terowongan runtuh. Rekan kerja mereka Suhail menyingkapkan kemejanya untuk menunjukkan parutan bekas luka di sepanjang tulang punggungnya. Sebuah cenderamata per­manen yang mengingatkan akan langit-langit yang rendah.

Di Jalur Gaza, kini status pahlawan tidak lagi melulu milik orang seperti Yasser Arafat dan Ahmed Yassin. Mereka adalah para almarhum  pemimpin Fatah dan Gerakan Perlawanan Islam, yang lebih dikenal dengan Hamas. Atau, milik warga Palestina yang tewas dalam pertempuran yang mengguncang selarik tanah sejak 63 tahun yang lalu. Kini para korban te­rowongan seperti Yussef pun—berusia 28 tahun saat meninggal—dihormati.

“Semua orang menyayanginya,” kata Samir. Dia “sangat baik.” Di dinding kamar jenazah dadakan itu tergantung beberapa poster ber­tuliskan ayat Quran sebagai ungkapan bela­sungkawa dari pengelola sekolah dasar tempat Yussef menimba ilmu. Juga, dari fungsionaris lawan politik setempat: Fatah, partai yang pernah berkuasa, serta Hamas, kelompok militan yang kini berkuasa di Jalur Gaza.

Dunia bawah tanah Rafah bukanlah barang baru. Sejak 1982, sudah ada terowongan pe­nyelundupan di sini, ketika kota dibagi dua setelah berlangsungnya Perjanjian Damai Mesir-Israel pada 1979. Perjanjian itu mengakibatkan separuh kota berada di wilayah Gaza dan sebagian lagi di Mesir.!break!

Saat itu, lubang sumur digali di ruang bawah tanah rumah. Militer Israel, yang mengetahui terowongan itu digunakan untuk menyelundupkan senjata, mulai meng­hancurkan rumah yang di dalamnya ada jalan masuk ke terowongan. Begitu juga orang Palestina yang ingin menjaga agar ekonomi terowongan tetap mereka kendalikan.

Ketika tindak­an tersebut tidak berhasil mengakhiri penyelundupan, Israel lalu memperluas aksi penghancuran tersebut. Israel membuat zona penyangga antara perbatasan dan kota. Menurut Human Rights Watch, sekitar 1.700 rumah dihancurkan pada 2000-2004.

Masyarakat Israel mulai memperhatikan terowongan Gaza pada 2006. Saat itu, se­kelompok militan yang berafiliasi dengan Hamas muncul di Israel di dekat perbatasan dan menculik Kopral Gilad Shalit. Shalit merupakan perwujudan perang tanpa henti, wajahnya terpampang di papan iklan pinggir jalan, mirip poster kepahlawanan yang menghiasi banyak dinding di Jabalia dan kamp lain. (Akhirnya dia dibebaskan dalam program pertukaran tahanan pada musim gugur 2011.)

Setelah memenangi pemilu pada 2006, Hamas terlibat perang saudara berdarah dengan Fatah. Perseteruan itu dimenangi Hamas pada tahun berikutnya dan mengendalikan Jalur Gaza. Lalu, Israel memberlakukan pemblokadean eko­nomi yang kian lama kian mengetat.

Pem­blokadean itu menutup pelabuhan masuk dan melarang impor hampir semua komoditas yang memungkinkan masyarakat Gaza hidup di atas garis kehidupan layak. Mesir pun bekerja sama.

Sejak tergulingnya Hosni Mubarak pada awal 2011, para pejabat Mesir mengungkapkan penyesalan mereka karena telah bekerja sama dengan Isrel. Mesir membuka kembali penyeberangan perbatasan kecil Rafah, walau­pun masih melarang sebagian penduduk Gaza lewat memasuki kawasan mereka.

Presiden barunya, Mohamed Morsi, yang tidak ingin berhubungan erat dengan Hamas, belum menyatakan akan membantu Gaza seperti yang diharapkan oleh sebagian besar penduduk Gaza. Setelah Israel memberlakukan pemblokadean, penyelundupan menjadi pilihan Gaza. Melalui banyak terowongan di bawah Rafah masuk­lah segala macam barang.

Mulai dari bahan bangunan dan makanan sampai obat-obatan dan pakaian. Lalu, dari bahan bakar dan komputer hingga ternak dan mobil. Hamas me­nyelundupkan senjata. Sejumlah terowongan-baru dibangun dalam hitungan hari—tepatnya dalam hitungan jam—dan kekayaan baru pun mengalir masuk. Banyak keluarga menjual harta mereka untuk turut memilikinya.!break!

Saat kegiatan itu mencapai puncaknya, sekitar 15.000 orang bekerja keras di dalam dan di se­kitar terowongan. Terowongan menyediakan lapangan kerja pendukung untuk ribuan orang lagi, mulai insinyur dan sopir truk hingga pe­milik toko. Kini ekonomi bawah tanah Gaza me­nangani dua pertiga barang konsumen, dan terowongan begitu lumrahnya sampai-sampai Rafah menampilkannya dalam brosur resmi.

“Kami tidak memilih untuk menggunakan terowongan,” kata seorang insinyur pemerintah. “Tetapi, terlalu sulit bagi kami untuk berdiam diri saat dikepung sambil dibayang-bayangi perang dan kemiskinan.” Bagi banyak warga Gaza, meskipun mematikan, terowongan itu me­­lambangkan keadaan yang lebih baik: ke­cerdikan alami mereka, kenangan dan impian ke­bebasan, dan mungkin perasaan bahwa mereka memegang kendali atas tanah tersebut.

Wilayah gaza sudah lama diperebutkan —dan dilubangi— sejak sebelum Israel mengambil alih kekuasaan dari Mesir pada 1967. Pada 1457 SM, Firaun Thutmose III merebut Gaza ke­tika menumpas pemberontakan Kanaan. Thutmose diikuti oleh orang Ibrani, Filistin, Persia, Alexander Agung, Romawi, Byzantium, Arab, Tatar, Mamluk, dan Ottoman.

Setelah itu, datanglah Napoleon, Inggris, Mesir lagi, dan Israel. Meskipun demikian, hingga kini terus berlangsung perdebatan tentang apa­kah Gaza dianggap sebagai bagian dari tanah yang dijanjikan untuk kaum Yahudi oleh Tuhan seperti yang disebutkan Alkitab. Inilah sebagian alasan mengapa Israel yang selalu ingin memperluas wilayahnya lebih me­musat­kan perhatiannya ke Tepi Barat, bukan ke Gaza.

Permukiman Israel terakhir di Gaza dikosongkan pada 2005. Namun, Gaza adalah jantung perlawanan Palestina. Tempat itu menjadi tempat peluncuran pengerahan massa, yang kini sudah mencapai dasawarsa ketiga. Di situlah terjadi penculikan, bom bunuh diri, dan serangan roket serta mortir terhadap Israel oleh kaum militan Gaza.

Sebagian besar tindakan ini direstui oleh Hamas, bahkan mungkin mereka lakukan sendiri. Terowongan menyediakan aneka bahan yang digunakan dalam berbagai proyek pekerjaan umum pemerintah. Hamas juga memungut pajak atas semua barang yang masuk melalui terowongan itu, menghentikan operator yang tidak membayar pajak.

Pemasukan dari te­ro­wongan diperkirakan memberikan ke­untungan Rp7 triliun per tahun kepada Hamas. Hamas juga menyelundupkan uang tunai yang berasal dari para pe­mimpin dan tokoh pelindung dalam pe­nga­singan di Suriah, Iran, dan Qatar agar te­rowongan dapat tetap beroperasi.

Samir bercerita, para pemimpin Hamas dan pejabat yang berbisnis dengan operator te­ro­wongan itu melindungi mereka dari hukuman saat ada pekerja mereka yang tewas sia-sia. Dia yakin bahwa korupsi dan suap sudah merajalela.!break!

Pada 2010, setelah pasukan angkatan laut Israel menyerang armada bantuan Turki di kawas­an lepas pantai perairan Gaza, Israel me­nyatakan bahwa pihaknya telah melonggarkan pemblokadean. Tetapi, hingga kini hanya ada satu titik akses yang tidak memadai untuk lalu lintas barang, padahal di Tepi Barat titik akses ini lebih banyak.

Israel membuat keadaan sa­ngat sulit dan mahal bagi Badan Bantuan PBB (UN Relief and Works Agency) dan berbagai lembaga donor lainnya. Padahal, bantuan itu merupakan sumber kehidupan bagi ribu­an dari 1,6 juta penduduk Gaza. Israel juga mem­batasi impor bahan dasar bagi berbagai proyek pembangunan kembali.

Menurut petugas bea cukai Gaza yang saya tanyai, pada musim semi 2011, impor berada pada titik terendah sejak pemblokadean dimulai. Barang yang berhasil masuk pun, katanya, biasa­nya berkualitas buruk: pakaian dan peralatan bekas, junk food, sisa-sisa hasil bumi.

Mustahil bisa “memenuhi kebutuhan pokok”, katanya. Dia bersikeras, hesar, istilah bahasa Gaza untuk pengepungan, telah melumpuhkan mereka. Bahkan, beberapa pendukung Israel paling setia pun sependapat. Perdana Menteri Inggris David Cameron menyesali bahwa akibat berada di bawah pemblokiran, Gaza jadi mirip sebuah “kamp penjara.”

Saya dan fotografer Paolo Pellegrin be­berapa kali mendatangi sejumlah terowongan Rafah. Perjalanan dengan kendaraan dari Gaza City, satu jam ke utara, menyajikan “tamasya” yang memilukan. Kepiluan pascaperang saudara dan serangan Israel yang terakhir ke Jalur Gaza—Operation Cast Lead pada 2008-2009—kentara di mana-mana.

Sambil berkendara ke selatan, kami melewati bekas tempat kediaman Arafat yang dihantam bom dan diseraki kendaraan berkarat. Lalu, kami menyusuri garis pantai. Dulu pantai itu salah satu pantai tercantik di Mediterania, te­tapi kini ditempati bangkai kafe tepi pantai dan kolam renang berbau busuk.

Saat menuju ke pedalaman, kami melewati permukiman Israel yang sudah ditinggalkan. Ladang mereka berpasir, rumah gas kaca hancur lebur. Di se­belah selatan Rafah, reruntuhan Bandara Gaza tampak merana bak lukisan bentang alam karya Claude Lorrain. Kini hanya digunakan oleh gembala domba dan suku Badui yang meng­gembalakan unta.!break!

Juru bahasa kami, Ayman, ber­cerita bahwa setelah bandara dibangun, dia sangat bangga akan tempat itu sampai-sampai membawa keluarganya pada akhir pekan untuk berpiknik ke tempat itu. Sesampainya kami di Rafah, kehidupan ber­­­gulir lagi.

Gaza, yang merupakan kata kiasan untuk konflik, juga bersinonim dengan kebutuhan pokok dalam kenangan masyarakat Timur Tengah, yaitu perdagangan. Pasukan yang berbaris menuju gurun mengandalkan sumur air dan dinding benteng. Namun, bagi para saudagar selama beberapa milenium, Gaza adalah jalur maritim rute perdagangan rempah-rempah dan hasil pertanian. Sejak 1960-an sampai akhir 1980-an, Gaza dan Israel menikmati hubungan komersial simbiosis.

Para pengrajin dan pekerja Gaza melintasi per­batasan setiap pagi untuk bekerja di Tel Aviv dan Yerusalem, sementara warga Israel ber­belanja di pasar bebas pajak Gaza City, Khan Younis, dan terutama Rafah. Intifada pertama, yang berlangsung dari 1987 sampai 1993, meng­akhiri sebagian besar kenikmatan itu.

Bukan rahasia lagi, para operator terowongan Gaza itu tebal muka, apalagi sejak Kebangkitan Dunia Arab dimulai. Seberapa tebal muka me­reka belum kentara sampai kami keluar dari pasar, dan deretan tenda terpal beratap putih terhampar di hadapan kami. Deretan itu membentang sejauh mata memandang di se­pan­jang dinding perbatasan ke dua arah.

Di bawah setiap tenda ada terowongan. Semua te­rowongan itu berada di jalur Philadelphi, zona patroli yang dibuat oleh militer Israel sebagai bagian dari Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979. Semuanya kasat mata bagi menara pengawas dan pos pe­nembak jitu Mesir.

Setiap beberapa ratus meter tampak polisi berwajah bosan, yang usianya sedikit di atas usia anak remaja, duduk di luar tenda dan gubuk. Senapan AK-47 bertengger di pangkuannya. Hamas melarang wartawan datang ke sini, jadi kami mengemudi ke ujung koridor dan par­­­kir di balik sebuah bukit tanah. Dengan sem­bunyi-sembunyi, kami berjalan ke dalam tenda pertama yang kami lihat.

Di sana kami bertemu dengan Mahmoud, lelaki berusia 50-an yang pernah bekerja di se­­­buah pertanian di Israel. Dia kehilangan mata pencaharian ketika perbatasan ditutup saat intifada kedua melanda. Jadi dia dan se­kelompok mitranya mengumpulkan tabungan. Pada 2006, mereka mulai menggali. Satu tahun kemudian mereka pun punya terowongan.

Setelah tawar-menawar dengan Ayman, disertai rasa waswas, Mahmoud sepakat untuk menunjukkan cara kerjanya. “Kemarilah,” kata­nya, sambil memandu saya ke lubang sumur. Di atasnya ada tiang-tiang bersilang dilengkapi kerekan, tempat tergantungnya tali pengaman tubuh untuk menaikkan dan menurunkan barang dan pekerja.

Tali pengaman itu ditautkan ke segulung kabel logam dengan katrol yang bisa menurunkan pekerja sekitar delapan belas meter ke dalam lubang mulut terowongan. Panjang terowongan Mahmoud sekitar 400 meter, tetapi beberapa terowongan bisa berjarak hingga hampir 800 meter.!break!

Mahmoud menerima uang mulai dari ratusan hingga ribuan dolar dari setiap pengiriman, tergantung pada barang yang dibawa masuk. Seperti sejumlah operator terowongan, dia menghasilkan cukup uang untuk menjaga agar terowongannya tetap buka dan menghidupi keluarganya, tetapi tidak lebih dari itu.

Lima hingga dua belas orang bekerja dengan giliran kerja selama dua belas jam, siang dan ma­lam, enam hari seminggu. Mahmoud ber­komunikasi dengan mereka melalui radio dua arah. Para pekerja mendapatkan upah sekitar Rp480.000 per giliran kerja, tetapi terkadang tanpa menerima bayaran selama ber­minggu-minggu atau berbulan-bulan.

Di lantai tanah di bawah terpal disediakan beberapa bantal ber­debu tempat mereka beristirahat setelah giliran kerja berakhir. “Anda mau turun?” tanya Mahmoud. Se­belum bisa menjawab tidak, saya mengiyakan. Tak lama kemudian, pekerjanya dengan penuh semangat mengikat saya dengan tali pe­ngaman, lalu menurunkan saya ke sumur yang dingin dan lembap.

Saya mencoba mem­bayangkan seperti apa rasanya jika ini pekerjaan saya sehari-hari, pergi kerja dengan turun enam lantai ke dalam perut bumi di ujung seutas tali. Di dasar lubang, keadaan kacau-balau: bohlam redup berpendar-pendar, percakapan radio membahana, para pekerja bersimbah debu tampak memanggul karung dari papan luncur.

Mulut terowongan cukup besar untuk menampung beberapa orang yang membungkuk, tetapi dengan segera menyempit sampai-sampai saya harus merunduk dan pundak saya menggesek dinding. Setelah kembali ke permukaan, sekelompok polisi tiba-tiba muncul.

Mereka melihat mobil kami. “Anda tidak boleh berada di sini,” kata pemimpin mereka. Ayman meminta maaf, dan tak lama kemudian polisi itu menyuguhi saya dengan cerita bahwa kemarin dia menemukan muatan kokain dan ganja di sebuah terowongan. Penyelundupan obat terlarang memang menguntungkan, tetapi sangat berisiko.

Mereka menahan operator terowongannya, lalu lubang itu ditutup. Kemudian, dia memerintahkan agar Paolo dan saya pergi, menyuruh kami meminta izin dari pemerintah pusat di Gaza City kalau ingin kembali. “Jangan masuk ke terowongan,” polisi lain memperingatkan. “Anda bisa mati.”

Di dalam terowongan, maut mengepung dari segala arah. Seorang operator menceritakan pengalamannya saat berusaha menyelundupkan masuk seekor singa untuk kebun binatang Gaza. Hewan itu tidak dibius dengan benar, terjaga di dalam terowongan di tengah perjalanan, dan menerkam salah seorang pekerja.!break!

Operator lain memperlihatkan video di telepon genggamnya yang menunjukkan tiga pemuda kurus terbaring tak bernyawa di atas dipan beroda. Mereka dulu bekerja di terowongannya. Saya bertanya mengapa tidak ada tanda-tanda luka memar atau patah tulang. “Mereka menghirup gas beracun,” jawabnya.

Menurut beberapa orang Palestina, ketika Mesir ditekan oleh Israel untuk menghentikan penyelundupan, tentaranya terkadang meracuni udara terowongan dengan memompakan gas. Mesir menyangkalnya.

Setelah berhari-hari menjelajahi sejumlah kantor, kami kembali ke koridor terowongan. Ter­siar kabar bahwa seorang wartawan Amerika sedang melakukan penyelidikan, dan bahkan dengan dikawal resmi pun banyak operator menolak kami. Tetapi, beberapa menyambut ke­datangan kami dengan hangat.

Yang paling ter­buka adalah Abu Jamil, kakek beruban sekaligus mukhtar (pejabat daerah) tidak resmi koridor Philadelphi. Abu Jamil disebut-sebut sebagai orang pertama yang membuka terowongan 24 jam. Dengan cepat terowongan itu menarik begitu banyak bisnis sehingga tidak terlayani oleh satu sumur, jadi dia menggali parit besar untuk memuat dan membongkar barang.

Abu Jamil membuka beberapa terowongan lagi, dan anak lelaki, cucu, kemenakan, dan se­pupunya bekerja untuknya. Tepat pada saat itu seorang pria memasuki tenda dan membisikkan sesuatu ke salah seorang mitra. Dia bukan menginginkan sarden—dia ingin diselundupkan ke Mesir. Ini permintaan yang lumrah.

Sejumlah penduduk Gaza pergi ke Rafah di bagian Mesir melalui terowongan untuk berobat. Lainnya, menggunakan terowongan untuk melarikan diri, atau untuk bersenang-senang semalam suntuk. Saya dengar bahkan ada terowongan VIP untuk para pelawat kaya, dilengkapi penyejuk udara dan ponsel.

Saat kedua orang itu tawar-menawar, ter­dengar teriakan di luar tenda. Saya bergegas ke­luar dan melihat seorang pekerja terowongan nyaris meninju Paolo. Orang itu berteriak tidak ingin dipotret. Setiap kali ada wartawan datang, teriaknya, pasti ada terowongan dibom.

Dengan nada keras, dia ingin kami meyakinkannya bahwa kami bukan mata-mata. Saat Ayman berusaha mem­bujuk si operator terowongan agar mau ber­bicara dengan saya, kata “Mossad” sering di­ucapkan. Mereka beranggapan bahwa jika Paolo dan saya bukan CIA, kami pasti dari badan mata-mata Israel.!break!

Paranoia pekerja terowongan dapat di­pahami, mengingat pengintaian Israel terhadap Gaza tiada henti, diperkuat oleh dengungan mesin pesawat tanpa awak yang terdengar dari atas. Baru-baru ini saja, pasukan Israel memasuki zona terowongan. Beberapa, seperti yang diberitakan pers Israel, tewas akibat ledakan bom—jebakan yang dipasang oleh pihak Palestina.

Walaupun pengangguran mewabah—tingkat pengangguran di Gaza lebih dari 30 persen—Jalur Gaza dipenuhi calon wirausahawan. Di pantai utara Gaza City, di samping sejumlah kafe yang dibom, peternakan ikan dibangun. Di atap bangunan yang digerogoti peluru senjata mesin, kebun sayuran hidroponik ditanam.

Di Rafah, sebelah barat terowongan, tampak pabrik pengolah rumput laut yang sekarang sudah ber­operasi, kolamnya dipagari tiang beton yang diambil dari dinding perbatasan. Di samping terowongan, ada ekonomi lain yang lahir dari kehancuran.

PBB mem­perkirakan Operation Cast Lead menciptakan lebih dari setengah juta ton puing, yang menjadi mata uang tersendiri. Benda itu ada di mana-mana. Para pengumpul puing biasanya kelompok anak-anak yang membawa martil dan palu, memecahkan bongkahan, menyaringnya, memuatnya ke gerobak keledai.

Lalu mereka membawanya ke salah satu dari banyak pabrik blok beton. Beginilah cara masyarakat Gaza membangun kembali, tanpa bisa mengimpor bahan bangunan secara legal. Seorang ahli ekonomi pemerintah pernah berkata kepada saya bahwa berkat puing-puing itulah angka pengangguran di Gaza turun sebesar enam persen pada 2010.

Masyarakat Gaza masih berharap bahwa Kebangkitan Dunia Arab dapat mengubah kondisi mereka, walaupun sampai sekarang belum. Ada pembicaraan untuk membuka perbatasan dengan Mesir, tetapi kapan hal itu terlaksana, atau apakah memang akan terjadi, masih belum jelas.

Ekonomi kehancuran menimbulkan per­ubahan yang mungkin membuat Thutmose III gembira: Pada suatu malam, saya dan Paolo menghadiri pesta pernikahan di sebuah lubang bom. Ekonomi kehancuran juga ber­dampak buruk: Menurut wawancara dalam laporan International Crisis Group, “beberapa roket diluncurkan oleh para militan muda. Mereka disewa oleh saudagar setempat, yang ke­untungannya bisa berkurang jika penutupan oleh Israel dikendurkan.”

Sungguh mengerikan untuk dipercaya, tetapi para militan yang saya temui memikirkan peluang wirausaha dengan cara yang lebih damai. Setelah kembali ke Jabalia, saya menanyakan masa depan Samir. “Saya tidak mungkin kembali bekerja di terowongan,” katanya.

Saya tanyakan apa yang akan dia kerjakan sebagai peng­gantinya, dan dia melambaikan tangan ke ruangan tempat kami duduk. Ternyata, Yussef sang kakak telah menandatangani kontrak untuk menyewa tempat ini. Saat tidak bekerja di terowongan, Samir menjelaskan, Yussef belajar menjadi peternak lebah. Dia berencana membuka toko madu di sini. Samir ingin meneruskan usaha Yussef.

Terakhir kali saya mendapat kabar dari Samir, pada bulan September, toko sudah dibuka. Ketika Yussef tewas, istrinya sudah tiga bulan mengandung anak pertama mereka. Tak lama kemudian, dia keguguran. Wanita itu sekarang istri adik bungsu Yussef, Khaled, yang mengelola toko madu itu bersama Samir. Mereka memasang foto Yussef di dinding.