Lorong Gaza

By , Selasa, 27 November 2012 | 17:46 WIB

Saat kegiatan itu mencapai puncaknya, sekitar 15.000 orang bekerja keras di dalam dan di se­kitar terowongan. Terowongan menyediakan lapangan kerja pendukung untuk ribuan orang lagi, mulai insinyur dan sopir truk hingga pe­milik toko. Kini ekonomi bawah tanah Gaza me­nangani dua pertiga barang konsumen, dan terowongan begitu lumrahnya sampai-sampai Rafah menampilkannya dalam brosur resmi.

“Kami tidak memilih untuk menggunakan terowongan,” kata seorang insinyur pemerintah. “Tetapi, terlalu sulit bagi kami untuk berdiam diri saat dikepung sambil dibayang-bayangi perang dan kemiskinan.” Bagi banyak warga Gaza, meskipun mematikan, terowongan itu me­­lambangkan keadaan yang lebih baik: ke­cerdikan alami mereka, kenangan dan impian ke­bebasan, dan mungkin perasaan bahwa mereka memegang kendali atas tanah tersebut.

Wilayah gaza sudah lama diperebutkan —dan dilubangi— sejak sebelum Israel mengambil alih kekuasaan dari Mesir pada 1967. Pada 1457 SM, Firaun Thutmose III merebut Gaza ke­tika menumpas pemberontakan Kanaan. Thutmose diikuti oleh orang Ibrani, Filistin, Persia, Alexander Agung, Romawi, Byzantium, Arab, Tatar, Mamluk, dan Ottoman.

Setelah itu, datanglah Napoleon, Inggris, Mesir lagi, dan Israel. Meskipun demikian, hingga kini terus berlangsung perdebatan tentang apa­kah Gaza dianggap sebagai bagian dari tanah yang dijanjikan untuk kaum Yahudi oleh Tuhan seperti yang disebutkan Alkitab. Inilah sebagian alasan mengapa Israel yang selalu ingin memperluas wilayahnya lebih me­musat­kan perhatiannya ke Tepi Barat, bukan ke Gaza.

Permukiman Israel terakhir di Gaza dikosongkan pada 2005. Namun, Gaza adalah jantung perlawanan Palestina. Tempat itu menjadi tempat peluncuran pengerahan massa, yang kini sudah mencapai dasawarsa ketiga. Di situlah terjadi penculikan, bom bunuh diri, dan serangan roket serta mortir terhadap Israel oleh kaum militan Gaza.

Sebagian besar tindakan ini direstui oleh Hamas, bahkan mungkin mereka lakukan sendiri. Terowongan menyediakan aneka bahan yang digunakan dalam berbagai proyek pekerjaan umum pemerintah. Hamas juga memungut pajak atas semua barang yang masuk melalui terowongan itu, menghentikan operator yang tidak membayar pajak.

Pemasukan dari te­ro­wongan diperkirakan memberikan ke­untungan Rp7 triliun per tahun kepada Hamas. Hamas juga menyelundupkan uang tunai yang berasal dari para pe­mimpin dan tokoh pelindung dalam pe­nga­singan di Suriah, Iran, dan Qatar agar te­rowongan dapat tetap beroperasi.

Samir bercerita, para pemimpin Hamas dan pejabat yang berbisnis dengan operator te­ro­wongan itu melindungi mereka dari hukuman saat ada pekerja mereka yang tewas sia-sia. Dia yakin bahwa korupsi dan suap sudah merajalela.!break!

Pada 2010, setelah pasukan angkatan laut Israel menyerang armada bantuan Turki di kawas­an lepas pantai perairan Gaza, Israel me­nyatakan bahwa pihaknya telah melonggarkan pemblokadean. Tetapi, hingga kini hanya ada satu titik akses yang tidak memadai untuk lalu lintas barang, padahal di Tepi Barat titik akses ini lebih banyak.

Israel membuat keadaan sa­ngat sulit dan mahal bagi Badan Bantuan PBB (UN Relief and Works Agency) dan berbagai lembaga donor lainnya. Padahal, bantuan itu merupakan sumber kehidupan bagi ribu­an dari 1,6 juta penduduk Gaza. Israel juga mem­batasi impor bahan dasar bagi berbagai proyek pembangunan kembali.

Menurut petugas bea cukai Gaza yang saya tanyai, pada musim semi 2011, impor berada pada titik terendah sejak pemblokadean dimulai. Barang yang berhasil masuk pun, katanya, biasa­nya berkualitas buruk: pakaian dan peralatan bekas, junk food, sisa-sisa hasil bumi.

Mustahil bisa “memenuhi kebutuhan pokok”, katanya. Dia bersikeras, hesar, istilah bahasa Gaza untuk pengepungan, telah melumpuhkan mereka. Bahkan, beberapa pendukung Israel paling setia pun sependapat. Perdana Menteri Inggris David Cameron menyesali bahwa akibat berada di bawah pemblokiran, Gaza jadi mirip sebuah “kamp penjara.”