Terdampar di Atap Dunia

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:52 WIB

Sang khan berangan-angan memiliki mobil. Walaupun tidak ada jalan. Ayahnya, khan se­belum­­nya, melobi pembangunan jalan sepanjang hidupnya. Khan yang baru pun demikian. Menurutnya, dengan adanya jalan, dokter dan obat-obatan akan mudah mencapai mereka.

Dengan begitu, mungkin warganya tak terlalu mudah mati. Guru pun bisa ke sana. Pedagang juga. Bisa ada sayur-sayuran. Lalu kaumnya—kaum nomad Kirgis di pelosok Afganistan—mungkin lebih berpeluang tumbuh makmur. Jalan adalah hal yang diupayakan khan. Mobil adalah hal yang didambakannya.

“Mobil jenis apa?” tanya saya. “Mobil apa saja yang Anda mau berikan ke­pada saya,” katanya. Ujung kumisnya melingkari seberkas senyum. Tetapi sementara ini, sebelum ada mobil mau­­pun jalan, ada yak. Khan me­nuntun se­ekor dengan tali yang dicocokkan ke hidung.

Ini hari pindah; semua harta benda khan harus diikatkan pada punggung yak. Ini meliputi selusin cerek, tungku besi, aki mobil, dua panel surya, satu yurt (“tenda” portabel), dan 43 selimut. Yak-yak itu meronta, menendang, mendengus. Memuat barang pada yak sebenarnya campuran antara bergulat dan berkemas.

Pindah adalah kegiatan rutin kaum nomad. Bagi suku Kirgis di Afganistan, mereka pindah dua sampai empat kali setahun, tergantung cuaca dan ketersediaan rumput untuk hewan. Mereka menyebut tanah air mereka Bam-e Dunya, yang berarti “atap dunia.”

Tempatnya memang indah—tetapi juga merupakan ling­kungan yang menguji batas kemampuan manu­sia untuk bertahan hidup. Tanah mereka berupa dua lembah panjang yang diukir oleh gletser, disebut pamir, terkucil jauh di dalam pegunungan besar Asia Tengah. Sebagian besar daerahnya lebih tinggi dari 4.250 meter. Angin­nya kencang; bercocok tanam mustahil di­­laku­kan. Suhu di bawah titik beku, 340 hari se­tahun. Banyak yang belum pernah melihat pohon.

Kedua lembah ini terletak di tanah aneh berbentuk sepit, mencuat dari sudut timur laut Afganistan. Wilayah yang sering disebut sebagai koridor Wakhan ini adalah hasil dari Great Game abad ke-19, saat Kekaisaran Inggris dan Rusia berebut pengaruh di Asia Tengah.

Kedua kekuasaan membentuknya melalui serangkaian perjanjian antara 1873 dan 1895, sebagai zona penyangga yang mencegah persentuhan perbatasan antara Rusia pimpinan tsar dan India di bawah Inggris. Pada abad-abad sebelumnya, daerah ini merupakan bagian dari Jalur Sutra yang menghubungkan Cina dan tempat di barat, jalur bagi tentara, penjelajah, dan misionaris. Marco Polo melewatinya pada akhir 1200-an.!break!

Revolusi komunis—Rusia pada 1917, Cina pada 1949—akhirnya menutup perbatasan. Tem­pat penyambung itu kini menjadi jalan bun­tu. Pada era pascakolonial, lorong ini berbatasan dengan Tajikistan di utara, Pakis­tan di selatan, dan Cina di timur.

Daratan Af­ganistan di barat kadang terasa begitu jauh—koridor itu panjangnya sekitar 320 kilometer. Se­bagian orang Kirgis menyebutnya negara asing. Mereka terkurung di sini, ter­kerangkeng pagar duri berupa puncak salju, tenggelam dalam pusaran sejarah, politik, dan konflik.

Untuk mencapai jalan terdekat—jalan yang khan ingin diperpanjang ke wilayah Kirgis—perlu setidaknya perjalanan tiga hari melintasi pegunungan. Kota besar terdekat, yang memiliki toko dan rumah sakit sederhana, masih sehari perjalanan lagi.

Keterpencilan ekstrem inilah yang menyebabkan suku Kirgis memiliki tingkat kematian yang parah. Dokter dan klinik tidak ada, obat-obatan hanya sedikit. Di ling­kunga­n yang keras ini, penyakit ringan—pilek, sakit kepala—bisa menggawat.

Tingkat ke­matian anak dalam suku Kirgis Afganistan mungkin ter­tinggi di dunia. Tak sampai setengah anak men­capai ulang tahun kelima. Bukan hal aneh jika orang tua ditinggal mati oleh lima, enam, atau tujuh anak. Tingkat kematian ibu me­lahirkan mencapai tingkat yang meresahkan.