Terdampar di Atap Dunia

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:52 WIB

Ada yang merasa khan baru ini terlalu muda. Atau terlalu hijau. Kata orang, dia pengisap opium. (Dia bersikeras sudah berhenti.) Kata orang, dia tidak sangeen, yang berarti “seperti cadas,” mencerminkan kekuatan dan kekerasan orang Kirgis dalam sosok pemimpin.

Namun, pendukung terbesar khan baru ini ada­lah Er Ali Bai. Sebagian pengkritik me­nge­luh, semestinya mereka memilih seorang aksakal—“berjenggot putih”. “Ya,” jawab Er Ali Bai. “Beberapa orang berjenggot panjang. Kam­bing juga. Apakah kami harus memilih kam­bing?” Tak ada yang perlu dicemaskan, tambah­nya. “Dia pasti menjadi khan yang hebat.”!break!

Pada hari pindah, khan harus memastikan semua yak bermuatan itu sampai di kemah musim panas. Meskipun waktu itu akhir Juni, salju turun, berpusaran di bawah awan serupa keju putih. Selama musim dingin khan dan keluarganya tinggal di pondok tanah berdinding tebal yang suram, dan selain musim itu di yurt.

Se­tiap kemah Kirgis mengikuti pola migrasi seder­hana; pada musim dingin tinggal di sisi lembah menghadap selatan dan lebih hangat, lalu menempuh delapan kilometer ke seberang di musim panas. Saya menumpang seekor yak jinak milik khan.

Cakrawala, ke mana pun mata memandang, terhenti oleh puncak yang menjulang tegas. Di sini, di atap dunia, beberapa pegunungan ter­tinggi Asia bertemu—Hindu Kush, Karakoram, Kunlun—begitu berbelit-belit sehingga disebut Pamir Knot (Simpul Pamir). Koridor Wakhan adalah tempat lahir sungai yang mengalir ke timur dan barat, termasuk Amu Darya, atau “ibu sungai,” salah satu jalur air utama Asia Tengah.

Mereka tiba di mulut ngarai sempit berumput yang dipadati es gletser. Angin—bad-e Wakhan nan kejam tiada henti—semakin kencang. Serpih salju melesat miring, menyengat wajah. Anak-istri khan berkumpul, sementara kaum lelaki mulai mendirikan yurt, sambil men­dengar musik Kirgis pada ponsel. Lagunya diiringi gambus berdawai tiga bernama komuz.

Mendirikan yurt ibarat menyusun teka-teki gambar, memakan waktu beberapa jam. Suku Kirgis bukanlah orang yang senang ber­gaul. Mereka jarang tertawa. Mereka tak punya buku, kartu remi. Satu pengecualian—anak le­laki yang buku tulisnya penuh lukisan wajah indah dengan pensil.

Saya tak bertemu siapa pun yang tertarik pada seni rupa atau menggambar. Pesta pernikahan bersuasana begitu tawar, ke­cuali permainan buzkashi, olahraga yang cepat dan keras, dimainkan dengan berkuda, bolanya bangkai kambing tak berkepala.

Perilaku Kirgis bisa dianggap kasar. Pergi di tengah percakapan sudah biasa. Lebih dari sekali, lelaki merogoh kantong saya untuk mengetahui isinya. Jarang ada yang bernyanyi. Mungkin ini dapat dipahami. Seperti kata khan, di tempat ini “orang cepat tua.”

Mungkin, kalau melihat beberapa anak kita meninggal, sebagian emosi terkikis habis. Mungkin negeri ini terlalu berangin, terlalu terpencil, terlalu keras. Hal-hal yang tidak menewaskan, pasti merusak; merampas kebahagiaan.!break!

Sampai kita masuk ke yurt Kirgis. Me­nyingkap pintu laken yang berat, tiba-tiba segalanya berubah. Dunia luar sirna, dan kita masuk ke negeri ajaib. Selimut, karpet, pajangan dinding, pelapis langit-langit, berdesain semarak. Di sinilah keluarga makan, tidur, dan melepas lelah.

Di tengah yurt ada api unggun atau tungku besi. Kotoran yak dibakar, menguarkan wangi. Selalu ada beberapa cerek teh mendidih. Teh adalah makanan pokok suku Kirgis; diminum dengan susu yak dan garam. Orang Kirgis makan yogurt dari susu yak yang kental dan berdesis, serta keju keras ber­nama kurut, yang dilembutkan di mulut beberapa menit sebelum dikunyah. Juga roti bundar tak beragi sebesar piza.