Terdampar di Atap Dunia

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:52 WIB

Saya bertemu suami-istri Abdul Metalib dan Halcha Khan, yang memiliki 11 anak. “Setiap tahun,” kata Abdul, “seorang meninggal.” Kemungkinan banyak yang meninggal akibat penyakit yang mudah diobati. Setiap anak di­balut kain kafan dan dimakamkan dalam kubur­an dangkal.

“Hati saya remuk,” kata Abdul. Untuk meringankan kepedihan, Halcha dan Abdul lari ke opium. Kemudahan memperoleh obat ini menciptakan wabah kecanduan di tengah suku Kirgis. Hanya satu anak mereka, laki-laki, yang hidup hingga usia lima tahun. Lalu dia pun meninggal.

Sang khan tahu tentang dunia luar. Dia sudah dua kali ke luar wilayah Wakhan dan bertukar kabar dengan para pe­dagang yang masuk ke tanah Kirgis. He­wan­nya dibarter dengan barang se­perti kain, perhiasan, opium, kacamata hitam, pelana, karpet, dan akhir-akhir ini, ponsel—bukan untuk menelepon (tidak ada sinyal), tetapi untuk memutar musik dan memotret.

Khan menyadari bahwa warga bumi yang lain, hari demi hari, meninggalkan sukunya se­makin jauh. Kaum nomad Kirgis berpopulasi total sekitar 1.100 jiwa, baru saja mulai mem­bentuk sistem pendidikan yang sangat dasar. Khan tak pernah belajar baca-tulis.

Dia tahu, hampir semua orang dapat memperoleh bantuan medis, bahwa dunia terhubung oleh mobil dan komputer. Dia tahu anak-anak tak semestinya meninggal di usia belia seperti ini. Ini beban besar bagi seorang pemimpin muda. Khan baru 32 tahun. Perawakannya kecil, tidak lebih dari 170 cm. Gerakannya gugup se­perti kelinci. Matanya cokelat muda, kulitnya merah merekah terkena angin, berpakaian serba-hitam.!break!

Namanya Haji Roshan Khan. Dia dan istri­nya, Toiluk, punya empat orang putri. Gelar “Haji” disandangnya karena memang sudah per­nah berhaji. Suku Kirgis adalah Muslim Sunni. Pada 2008, ayahnya, Abdul Rashid Khan, membawanya—hanya dia di antara 14 anak—ke Arab Saudi.

Itulah pertama kali dia ke­luar Wakhan. Sekali lagi musim semi lalu, saat ke Kabul dan bertemu para menteri, serta Presiden Hamid Karzai, memohon dana untuk membangun klinik, sekolah, dan...jalan.

Meskipun ayahnya khan, jabatan kepala suku tak otomatis diturunkan kepada anak. Harus di­­sepakati oleh para tetua suku. Saat Abdul Ra­shid Khan wafat pada 2009, jelas siapa yang dia inginkan untuk meneruskan jabatannya. Pada musim panas itu, Er Ali Bai, salah seorang Kirgis yang dihormati, mengundang para tetua ter­kemuka ke kemahnya. Kemah adalah unsur utama dalam kehidupan Kirgis, yaitu tiga hingga sepuluh keluarga bermigrasi bersama dan berbagi tugas menggembala yak, domba berekor gemuk, dan kambing berbulu panjang.

Orang Kirgis tidaklah miskin. Meskipun uang kertas hampir tidak ada, banyak kemah me­miliki ternak hingga ratusan hewan berharga, ter­masuk kuda dan keledai untuk transportasi. Unit mata uang dasar Kirgis adalah domba. Pon­sel berharga satu domba.

Yak, sekitar 10 domba. Kuda bermutu baik, 50. Maskawin untuk mempelai perempuan, 100. Keluarga terkaya memiliki simbol status Kirgis terhebat—unta Bactrian berpunuk dua, yang tampaknya selalu galak. Er Ali Bai punya enam ekor unta.

Usianya 57 tahun dan jalannya pincang, bertumpu pada tongkat dari logam. Dia suka pura-pura me­mukul orang—tetapi sakit juga—dengan tong­kat­nya. Dia senang mengobrol dengan walkie-talkie, yang baru-baru ini diper­kenalkan oleh pedagang keliling. Berita dapat disampaikan dari kemah ke kemah.

Sekitar 40 orang datang ke kemah Er Ali Bai untuk menobatkan khan baru. Domba dan kam­bing disembelih. Mereka bermusyawarah selama delapan jam lebih, menyepakati Haji Roshan Khan sebagai pemimpin baru. Ini tak berarti si khan disukai banyak orang. Suku Kirgis terkenal rewel dan berpikiran man­diri. Mereka jarang ramai-ramai mendukung satu pemimpin, kata Ted Callahan, antropolog yang tinggal di tengah suku, setahun lebih.