Terdampar di Atap Dunia

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:52 WIB

Daging hanya untuk acara istimewa. “Sayur”-nya adalah bawang bombai liar sebesar kacang polong. Ada satu hal yang lebih ekspresif daripada yurt Kirgis. Itulah perempuan Kirgis. Kaum lelaki selalu berpakaian seolah hendak melayat. Kaum perempuan adalah karya seni.

Di kepala mereka bertengger topi tinggi berbentuk tabung, tersampir selendang raksasa—merah untuk yang belum menikah, putih untuk yang sudah. Mereka mengenakan baju panjang merah te­rang, biasanya dilengkapi rompi merah. Puluhan kancing kemeja plastik dijahit di sekeliling kerah. Ada bros kuningan berbentuk matahari dan kantong kulit berisi ayat Alquran.

Saya melihat uang logam, anak kunci, kulit kerang, botol parfum, cakar elang. Ada yang menye­matkan tujuh gunting kuku. Setiap gerakan wanita Kirgis menghasilkan nada gemerincing.

Rambut dikepang, dua atau lebih, de­ngan hiasan perak. Mereka memakai beberapa kalung dan setidaknya satu cincin pada setiap jari kecuali jari tengah. Gelang berlimpah. Anting bergelantungan. Satu arloji biasanya belum cukup. Saya pernah menghitung sampai enam.

Kaum perempuan bekerja tiada henti—memerah yak dua kali sehari, selain menjahit, memasak, membersihkan, dan mengasuh anak. Mereka jarang berbicara saat ada lelaki. Saya tak pernah berbincang dengan istri khan, meskipun tinggal di kemah mereka selama seminggu.

Semua pernikahan Kirgis, hasil perjodohan saat si perempuan masih remaja. Baik khan maupun istrinya berusia 15 tahun saat menikah. Salah satu perempuan yang mengobrol de­ngan saya adalah seorang janda berpikiran mandiri bernama Bas Bibi.

Dia menebak usianya sudah 70 tahun. Dia pernah punya lima putra dan dua putri. Semuanya meninggal. “Kaum lelaki tak pernah memerah susu,” katanya. “Atau mencuci baju. Atau memasak. Andai tidak ada perempuan, tidak akan ada yang bisa hidup sehari pun!”!break!

Sepanjang sejarah mereka, suku Kirgis se­lalu menolak gagasan dikendalikan oleh pemerintah atau berada di bawah raja. “Kami manusia yang tidak mau di­jinakkan,” kata lelaki Kirgis dengan bang­ga. Asal-usul mereka samar-samar. Suku Kirgis pertama kali disebut dalam dokumen Cina abad kedua Masehi dan diduga berasal dari Pegunungan Altay yang terletak di wilayah yang kini Siberia dan Mongolia.

Suku Kirgis Afganistan, yang anggotanya tidak pernah banyak, berkelana di Asia Tengah selama berabad-abad. Mereka terkenal sering merampok kafilah Jalur Sutra, dan pada 1700-an sudah mulai menggunakan lembah-lembah yang kini mereka huni sebagai lahan gembala musim panas.

Tetapi, datanglah ke­kaisar­an besar, beserta Great Game, diikuti pe­nyebaran komunisme. Pada 1950, semua per­­batasan sudah tertutup. Menurut Ted Callahan, suku Kirgis mau tak mau “menjadi warga Afganistan,” terperangkap sepanjang tahun di koridor Wakhan.

Pada 1978, kudeta militer menjungkirbalikkan Kabul, dan mun­cul ancaman serang­an Soviet. Suku Kirgis cemas bahwa Afganistan juga akan menjadi komunis. Hampir semua orang Kirgis, sekitar 1.300 jiwa, memilih mengikuti khan saat itu—Rahman Kul—melarikan diri me­nyeberangi Pegunungan Hindu Kush ke Pakistan.

Penyakit menewaskan seratus orang pada musim panas pertama mereka men­jadi pengungsi. Meskipun Rahman Kul men­dorong warganya tetap di Pakistan—dia mem­per­ingatkan, tentara Soviet di Afganistan akan melarang agama mereka dan menindas ke­merdekaan mereka—banyak orang Kirgis ke­cewa dengan kepemimpinannya. Mereka me­rindukan kehidupan di atap dunia.

Tak lama, pepecahan terjadi. Abdul Rashid Khan, ayah khan yang sekarang, memimpin sekitar 300 orang Kirgis kembali ke Afganistan, termasuk Er Ali Bai. Abdul Rashid pun diangkat sebagai khan. Tentara Soviet, saat datang mem­perlakukan orang Kirgis dengan baik hati, dan selama tiga dasawarsa terakhir populasinya tumbuh ke angka sekarang sebanyak seribu jiwa lebih, sekalipun tingkat kematian tinggi.

Orang yang tetap di Pakistan bersama Rahman Kul akhirnya bermukim di Turki timur. Kini mereka tinggal di desa berupa deretan rumah yang seragam, dengan listrik, TV kabel, jalan beraspal, dan mobil. Mereka diberi nama belakang Turki.

Kadang-kadang, di tengah orang Kirgis di Afghanistan muncul pertanyaan: Apakah na­sib mereka lebih baik jika tinggal di tempat lain? Meskipun lembah Kirgis tidak diusik oleh pertempuran yang mendera bagian lain Afga­n­istan, tinggal di sini kadang seperti berjudi, selalu tidak menentu.

Membayangkan pergi lagi, kali ini selamanya, tampaknya selalu berada di sudut benak. Beberapa orang menyebut soal pindah ke republik Kirgistan bekas Soviet, yang memiliki bahasa yang sama dan pertalian suku.!break!

Pada hari kedua khan di kemah musim panas, datang kabar penting. Dua insinyur pemerintah dari Kabul datang ke ujung jalan untuk me­nyurvei jalur yang akan memperpanjang jalan itu melintasi pegunungan ke wilayah Kirgis. Khan harus menyambut mereka, perjalanan ber­kuda yang memakan waktu tiga hari dari matahari terbit hingga tenggelam.

Dari peti logam, istri khan mengeluarkan pakai­an terbagus. Semangat khan menggebu-gebu. Mungkin nasib sukunya akan berubah. Istrinya menyerahkan botol biru tua kolonye, dan wadah kuningan kecil berisi naswar, tem­bakau kunyah Afgan yang ampuh. Khan naik ke atas kuda. Ada “peluang 100 persen,” katanya, bahwa jalan itu akan dibangun. Dia memecut panggul kuda.

Keyakinannya terasa bertentangan dengan ke­nyataan. Di negara melarat yang dirundung kekacauan meluas, membangun jalan yang me­makan biaya puluhan miliar rupiah—mungkin triliunan. Untuk membantu seribuan orang tidak­­lah masuk akal. “Tak ada yang akan mem­­bangun jalan,” Er Ali Bai sepakat.

Dia ingat, pada zaman kepemimpinan ayah khan, ada insinyur yang mampir, juga berkata bahwa mereka menyurvei untuk jalan. Tak pernah terjadi apa pun. Er Ali Bai mengingatkan, jalan akan mem­bawa masalah. Jalan menyediakan akses mu­dah bagi dokter dan guru. Tetapi juga bagi wisata­wan. Dan tentara.

Dunia luar akan mengalir masuk—dan itu, kata Er Ali Bai, mungkin me­nyebabkan generasi muda men­damba­kan kehidupan yang lebih mudah. Semakin ingin pergi. “Ada orang yang berpikir bahwa naik mobil akan membuat mereka bahagia,” kata Er Ali Bai. “Tetapi tempat ini sangat indah. Kami hidup bersama cinta dan keluarga. Ini tempat paling damai di dunia.”

Pemandangan di sini permai, dan lama se­kali saya dapat melihat khan berkuda pergi, menerbitkan debu cokelat kemerahan. Saya membayangkan khan di belakang kemudi mobil, jendela terbuka, rambut kusut, mengemudi melewati puncak gunung berpendar putih.