Pionir Australia

By , Rabu, 22 Mei 2013 | 17:02 WIB

Arnhem Land tidak sepenuhnya terisolasi dari dunia modern. Kawasan itu memiliki listrik tenaga surya, telepon satelit, kapal aluminium, dan TV layar datar. Namun, kawasan itu sulit ditembus, dipenuhi tanaman berduri, ular, serangga, dan buaya. Jika generasi baru lebih menyukai supermarket daripada tombak, berarti akhir cara hidup itu telah tiba. Saya bertanya-tanya seberapa besar kemungkinan cara hidup ini dapat terus bertahan. Jadi, itulah sebabnya saya menelepon Batumbil.

Dia melihat tas saya yang penuh dengan makanan dari supermarket dan bertanya apakah semua itu benar-benar untuk dibagikan. Saya mem­benarkannya. Beberapa saat kemudian warga berkumpul di sekitar barang belanjaan. Saya membawa daging bistik, sayuran, kaleng berisi ravioli, dan jus. Matamata adalah sebuah keluarga besar, rumah bagi anak-anak, cucu, keponakan, dan saudara Batumbil. Dalam sekejap mata, semuanya telah berpindah ke kantong mereka. Bahkan juga makanan ringan yang saya beli untuk saya sendiri.

Dan, Batumbil sepertinya bisa membaca ekspresi wajah saya: ia bertanya apakah saya lapar. Saya jawab iya. “Pergilah dengan anak-anakku dan burulah penyu,” perintahnya.!break!

Beginilah cara menyantap penyu laut. Pertama, gali lubang perapian yang sangat besar. Kumpulkan kayu bakar. Sulut. Letakkan be­berapa batu sebesar kepalan tangan di dalam api, kemudian seret penyu ke atasnya, tutup lubang tombak dalam tempurungnya dengan potongan ranting—hal ini mencegah darah tumpah keluar saat penyu dimasak—dan penggal kepalanya dengan kapak. Simpan kepala itu, karena pipi penyu sangat lezat. Tarik keluar usus putihnya yang panjang. Usus ini dibersihkan, direbus, juga dimakan.

Keluarkan batu yang tadi dipanaskan dalam api, lalu jatuhkan ke dalam lubang leher penyu—hal ini membantu memasak daging dari dalam—kemudian, tutup lubang dengan de­daunan. Dengan bantuan orang lain, angkat penyu ke atas api, dalam posisi terbalik, lalu tutup dengan bara. Panaskan sepuluh menit saja, lalu keluarkan.

Buka dasar tubuhnya yang datar. Iris potong­an besar daging berwarna gading dan lembaran lemak berwarna hijau terang. Tampung darah dalam wadah. Bagikan kepada semua orang; anjing mendapatkan kaki. Waktunya berpesta.

Saat matahari terbenam di matamata, lalat pasir mulai keluar. Suara telapak tangan menampar kulit terdengar berisik. Ada lima rumah di Matamata, yang disediakan oleh pemerintah. Rumah-rumah itu memiliki eksterior baja bergelombang agar kebal rayap, dan dibagi menjadi tiga kamar sederhana.

Memasak dilakukan di luar, di atas api ung­gun terbuka, meskipun setiap rumah memiliki wastafel dengan air mengalir serta lemari es. Bagi suku Yolngu, seluruh dunia bagaikan kanvas—batu, pohon, dinding kamar tidur, bagian luar rumah. Semua itu biasanya dihiasi gambar garis bersilangan atau sosok manusia dan binatang dengan gaya pahat batu prasejarah.

Di antara rumah-rumah itu tampak per­kebunan kecil yang ditanami pohon mangga, pisang, dan jambu monyet. Untuk mendapatkan camilan, kita tinggal mengulurkan tangan ke cabang pepohonan. Bahkan, di sebuah desa sekecil ini pun terdapat berbagai lingkungan: dua rumah untuk bujangan, dua rumah untuk keluarga dengan anak-anak, dan rumah yang terjauh dari laut adalah kediaman Batumbil.

Dia menempati kamar bersama bibinya, yang berusia 90-an tahun. Sementara kamar lain ditempati salah seorang putranya dan salah seorang cucunya, yang juga memiliki seorang anak kecil—lima generasi tinggal dalam satu rumah. Semua orang di Matamata umumnya ber­hubungan baik karena masih satu keluarga. Setiap kali Batumbil menyebutkan satu orang di desa, secara otomatis dia menambahkan kata “malas” pada nama orang itu. Dua cucu Batumbil dahulu pernah bertengkar sengit hingga saling melukai dengan pisau.

Teriknya siang hari dilewatkan dengan me­laku­kan tugas di dalam rumah—mengasah tombak, mencuci pakaian—atau pergi berburu ikan. Mereka juga suka menangkap ikan pari, makerel, dan mamalia laut sebesar walrus bernama dugong. Barulah saat lalat pasir sudah beterbangan, kreativitas Batumbil mulai muncul; dia sering melukis atau merajut hingga larut malam dan tidur menjelang pagi. “Kepala saya pening di pagi hari,” jelasnya.

Batumbil lahir pada 1956 dalam komunitas yang dikelola misionaris Metodis. Ayahnya ber­istri delapan. Segera setelah dilahirkan, dia dijodohkan dengan seorang lelaki, sesuai tradisi Yolngu, dan pada usia 15 tahun sudah me­nikah. Suaminya berusia 20 tahun lebih tua, dan meninggal pada 2000.