Pionir Australia

By , Rabu, 22 Mei 2013 | 17:02 WIB

Kedua lelaki itu mencengkeram tombak masing-masing, yang dibuat dari pohon stringybark, dan berjalan tanpa alas kaki di atas tanah merah menuju tepi laut. Kemudian, mereka masuk ke dalam perahu kecil (dinghy) aluminium, lalu melintasi teluk Laut Arafura yang dangkal dan hangat, di perbatasan liar Northern Territory, Australia.

Terrence Gaypalwani berdiri di haluan, me­­natap tajam ke lautan di hadapannya, dan me­nunjukkan arah perjalanan dengan ujung tombak­nya. Dia berusia 29 tahun, usia emas bagi seorang pemburu. Peter Yiliyarr, berusia lebih dari 40 tahun, menangani mesin. Kedua lelaki itu memiliki parut tipis, me­manjang di telapak tangan dan dada mereka. Garis pantai dipenuhi jaringan akar bakau, matahari bagai­kan lampu yang menyorot panas. Tiga puluh menit berlalu. Keduanya membisu. Ketika tidak sedang berburu pun orang Yolngu kadang hanya berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Kemudian, Gaypalwani mengangkat tombak­nya, mengangkat bahu. Saya menoleh ke sam­ping perahu dan melihat bayangan besar di dalam air. Tombak dilontarkan dengan ganas. Bayangan itu bergerak ke atas, tombak menukik, dan kedua benda itu bertemu di permukaan air.Penyu, yang tertombak, menyelam cukup dalam. Tubuhnya sebesar meja permainan kartu, dan mungkin lebih tua daripada kedua lelaki itu.

Ujung tombak dari logam, yang terbenam di tempurung penyu, lepas dari batangnya, se­bagai­mana yang direncanakan. Batang tombak mengambang—mereka akan mengambilnya nanti—namun, seutas tali telah diikatkan ke dasar ujung tombak yang berlekuk itu. Tali itu kini terulur dengan kencang, meski­pun ujungnya diikatkan pada pelampung putih se­besar bola basket. Tali melesat dari kapal dan menghilang ke bawah air.

Pelampung itu muncul kembali ke permuka­an air dan perahu kecil itu segera melesat men­dekati­nya. Kali ini Yiliyarr yang memegang tombak­nya. Ketika penyu itu muncul ke per­mukaan, dia melontarkannya, dan kembali me­nemui sasaran. Ujung tombak terlepas dari batangnya dan tali kedua terulur dari kapal. Gaypalwani meraih ke dalam air untuk men­cengkeram tali pertama dan kedua lelaki itu meng­helanya, menarik tali. Tak lama kemudian, penyu itu berhasil diseret ke perahu.

Mereka mengulurkan tangan dan keduanya meraih penyu yang menggelepar, masing-masing menjejakkan kedua kaki di sisi kapal, dan mencondongkan tubuh ke belakang. Penyu itu terangkat dan mereka jatuh terjengkang saat satwa itu meluncur ke dalam perahu kecil itu.

Sebelum mengunjungi Matamata, desa yang tenggelam di lautan semak dengan penghuni sekitar 25 orang, saya harus meminta izin dari ibu Gaypalwani, Phyllis Batumbil. Ia adalah kepala suku, wanita yang tidak suka basa-basi. Tawa­nya membuat orang ikut terpingkal-pingkal, dan pandangan­nya yang marah dapat menyebabkan anjing merintih. Hanya ada dua telepon di Mata­mata. Batumbil memiliki salah satu di antaranya. Telepon lainnya digunakan bersama-sama oleh penduduk desa.

Saya menelepon dan Batumbil yang men­jawab. Dia mampu berbicara dalam Yolngu Matha, bahasa suku Yolngu, serta bahasa Inggris. Seperti banyak anggota suku Yolngu, dia menggunakan nama pertama Inggris dan nama kedua Aborigin, serta lebih suka disapa dengan nama Aborigin-nya. Batumbil adalah seorang seniman. Dia membuat lukisan ikan pari dan kadal, yang sangat simbolis, dan totem suci lainnya pada lembaran kulit kayu dan kayu berongga, meng­gunakan kuas yang terbuat dari rambutnya sendiri.

Saya bertanya kepada Batumbil apakah diper­bolehkan tinggal di Matamata selama beberapa minggu dan mengatakan akan membayar sewa kamar. Izin diberikan. Saya bertanya, adakah benda tertentu yang dapat saya bawakan?“Makan malam untuk 25 orang,” katanya.

Saya menyewa sebuah Cessna, dan sang pilot terbang rendah di atas semak-semak. Pe­pohonan tampak kurus, lurus, dan cukup renggang, hingga kami mencapai dataran luas persegi empat dengan beberapa rumah ber­bentuk gerbong di salah satu sisinya. Batumbil sedang duduk di bawah sebatang pohon mang­ga tua, merajut tas tangan dari serat alami, dikelilingi lima anjingnya. Dia mengenakan kaos singlet hitam, sarung ungu, kacamata baca berbingkai plastik, dan cat kuku merah. Rambutnya ikal hitam membal, diikat di atas kepalanya dengan pita kuning.

Saya menurunkan dua ransel dan selusin kantong belanjaan. Saya berkomentar, makan malam untuk 25 orang ternyata cukup berat. Batumbil mengangguk. Lihat semua makanan ini, katanya. Apakah Anda dapat membayangkan menangkap sekian banyak makanan dalam satu hari hanya dengan menggunakan tombak? Kemudian, meng­ulanginya pada hari berikutnya? Saya me­ngatakan, sepertinya mustahil. Orang Aborigin, katanya, telah melakukannya setiap hari selama, setidaknya, 50.000 tahun. Selama 49.800 tahun di antaranya, mereka meng­huni benua itu sendirian. Dahulu, ada se­kitar 250 bahasa Aborigin. Namun, terdapat hubungan dan kesamaan spiritual dan budaya yang mendalam di antara mereka. Mereka sendiri menyebut diri mereka Aborigin. Mereka hidup dalam kelompok kecil pengembara, yang cocok untuk bangsa pemburu-pengumpul, bergerak di dataran luas Australia. Kemudian, pada 29 April 1770, penjelajah Inggris, James Cook, mendaratkan kapalnya, Endeavour, di pantai tenggara. Dua abad berikutnya ter­jadi aktivitas pemusnahan kebudayaan yang mengerikan—pembantaian, penyakit, kecanduan alkohol, integrasi gaya hidup yang dipaksakan, dan akhirnya menyerah.

Kini, lebih dari setengah juta warga Aborigin tinggal di Australia, kurang dari tiga persen po­pulasi benua itu. Hanya sedikit yang belajar me­lakukan tarian Aborigin atau berburu dengan tombak. Banyak antropolog memuji suku Aborigin karena memiliki agama tertua di dunia, serta bentuk kesenian yang paling ber­tahan lama—gaya lukisan yang terdiri atas garis bersilangan dan pola titik. Mereka adalah salah satu masyarakat paling bertahan lama yang dikenal di planet ini. Namun, saat ini cara hidup tradisional suku Aborigin sudah hampir punah.

Ya, hampir. Masih ada di beberapa tempat, utamanya Arnhem Land, lokasi Matamata, ber­sama dengan sekian puluh komunitas lain, yang terhubung oleh jalan tanah berbatu yang hanya dapat dilalui dalam cuaca kering.

Arnhem Land tidak sepenuhnya terisolasi dari dunia modern. Kawasan itu memiliki listrik tenaga surya, telepon satelit, kapal aluminium, dan TV layar datar. Namun, kawasan itu sulit ditembus, dipenuhi tanaman berduri, ular, serangga, dan buaya. Jika generasi baru lebih menyukai supermarket daripada tombak, berarti akhir cara hidup itu telah tiba. Saya bertanya-tanya seberapa besar kemungkinan cara hidup ini dapat terus bertahan. Jadi, itulah sebabnya saya menelepon Batumbil.

Dia melihat tas saya yang penuh dengan makanan dari supermarket dan bertanya apakah semua itu benar-benar untuk dibagikan. Saya mem­benarkannya. Beberapa saat kemudian warga berkumpul di sekitar barang belanjaan. Saya membawa daging bistik, sayuran, kaleng berisi ravioli, dan jus. Matamata adalah sebuah keluarga besar, rumah bagi anak-anak, cucu, keponakan, dan saudara Batumbil. Dalam sekejap mata, semuanya telah berpindah ke kantong mereka. Bahkan juga makanan ringan yang saya beli untuk saya sendiri.

Dan, Batumbil sepertinya bisa membaca ekspresi wajah saya: ia bertanya apakah saya lapar. Saya jawab iya. “Pergilah dengan anak-anakku dan burulah penyu,” perintahnya.!break!

Beginilah cara menyantap penyu laut. Pertama, gali lubang perapian yang sangat besar. Kumpulkan kayu bakar. Sulut. Letakkan be­berapa batu sebesar kepalan tangan di dalam api, kemudian seret penyu ke atasnya, tutup lubang tombak dalam tempurungnya dengan potongan ranting—hal ini mencegah darah tumpah keluar saat penyu dimasak—dan penggal kepalanya dengan kapak. Simpan kepala itu, karena pipi penyu sangat lezat. Tarik keluar usus putihnya yang panjang. Usus ini dibersihkan, direbus, juga dimakan.

Keluarkan batu yang tadi dipanaskan dalam api, lalu jatuhkan ke dalam lubang leher penyu—hal ini membantu memasak daging dari dalam—kemudian, tutup lubang dengan de­daunan. Dengan bantuan orang lain, angkat penyu ke atas api, dalam posisi terbalik, lalu tutup dengan bara. Panaskan sepuluh menit saja, lalu keluarkan.

Buka dasar tubuhnya yang datar. Iris potong­an besar daging berwarna gading dan lembaran lemak berwarna hijau terang. Tampung darah dalam wadah. Bagikan kepada semua orang; anjing mendapatkan kaki. Waktunya berpesta.

Saat matahari terbenam di matamata, lalat pasir mulai keluar. Suara telapak tangan menampar kulit terdengar berisik. Ada lima rumah di Matamata, yang disediakan oleh pemerintah. Rumah-rumah itu memiliki eksterior baja bergelombang agar kebal rayap, dan dibagi menjadi tiga kamar sederhana.

Memasak dilakukan di luar, di atas api ung­gun terbuka, meskipun setiap rumah memiliki wastafel dengan air mengalir serta lemari es. Bagi suku Yolngu, seluruh dunia bagaikan kanvas—batu, pohon, dinding kamar tidur, bagian luar rumah. Semua itu biasanya dihiasi gambar garis bersilangan atau sosok manusia dan binatang dengan gaya pahat batu prasejarah.

Di antara rumah-rumah itu tampak per­kebunan kecil yang ditanami pohon mangga, pisang, dan jambu monyet. Untuk mendapatkan camilan, kita tinggal mengulurkan tangan ke cabang pepohonan. Bahkan, di sebuah desa sekecil ini pun terdapat berbagai lingkungan: dua rumah untuk bujangan, dua rumah untuk keluarga dengan anak-anak, dan rumah yang terjauh dari laut adalah kediaman Batumbil.

Dia menempati kamar bersama bibinya, yang berusia 90-an tahun. Sementara kamar lain ditempati salah seorang putranya dan salah seorang cucunya, yang juga memiliki seorang anak kecil—lima generasi tinggal dalam satu rumah. Semua orang di Matamata umumnya ber­hubungan baik karena masih satu keluarga. Setiap kali Batumbil menyebutkan satu orang di desa, secara otomatis dia menambahkan kata “malas” pada nama orang itu. Dua cucu Batumbil dahulu pernah bertengkar sengit hingga saling melukai dengan pisau.

Teriknya siang hari dilewatkan dengan me­laku­kan tugas di dalam rumah—mengasah tombak, mencuci pakaian—atau pergi berburu ikan. Mereka juga suka menangkap ikan pari, makerel, dan mamalia laut sebesar walrus bernama dugong. Barulah saat lalat pasir sudah beterbangan, kreativitas Batumbil mulai muncul; dia sering melukis atau merajut hingga larut malam dan tidur menjelang pagi. “Kepala saya pening di pagi hari,” jelasnya.

Batumbil lahir pada 1956 dalam komunitas yang dikelola misionaris Metodis. Ayahnya ber­istri delapan. Segera setelah dilahirkan, dia dijodohkan dengan seorang lelaki, sesuai tradisi Yolngu, dan pada usia 15 tahun sudah me­nikah. Suaminya berusia 20 tahun lebih tua, dan meninggal pada 2000.

Pada 1976, Aboriginal Land Rights Act untuk Northern Territory mengembalikan Arnhem Land, seluas lebih dari 90.000 kilometer persegi, kepada para pemilik tradisionalnya. Pada saat ini, beberapa komunitas Aborigin hancur aki­bat pengaruh alkohol dan penyakit lainnya. Kondisi­nya masih seperti itu pada saat ini. Ciri gaya hidup kaum pemburu-pengumpul adalah konsumsi langsung; begitu diperoleh, makanan akan langsung dibagikan dan disantap habis.

Sebagian besar dunia memiliki waktu 10.000 tahun untuk secara bertahap beradaptasi dengan irama hidup menetap, membentuk masyarakat pertanian. Kehidupan yang menunjukkan bahwa kesabaran, perencanaan, dan pelestarian adalah kunci untuk kelangsungan hidup. Sebagaimana yang diduga, suku Aborigin mustahil mengubah gaya hidupnya dalam semalam. Makan sesuka hati ditambah pasokan produk seperti alkohol yang tak terbatas menyebabkan malapetaka. Sama halnya dengan gula olahan; obesitas dan diabetes lazim ditemukan pada orang Aborigin. Begitu pula dengan tembakau.

Di kota tempat Batumbil dan suaminya ting­gal, di Pulau Elcho, sangat sulit meng­hindari godaan alkohol dan kekerasan yang me­nyertainya. Ini bukan tempat yang baik un­tuk memulai sebuah keluarga. Batumbil dan suami­­nya yakin bahwa satu-satunya kehidupan bahagia hanya mungkin diperoleh di tempat terpencil yang tenang, menggantungkan diri pada sumber daya alam. Jadi, mereka pindah ke alam liar. “Kami memutuskan pulang,” katanya.

Keputusannya, menurut petugas kesehatan se­­tempat yang saya temui, adalah tindakan yang bijaksana. Bahkan mampu menyelamatkan nyawa. Dibandingkan orang Aborigin yang ting­gal di kota, orang-orang yang menetap di wilayah terpencil mengonsumsi makanan yang lebih sehat, hidup lebih lama, dan nyaris tidak mengenal kekerasan. Kota terbesar di Northern Territory adalah Darwin. Pada Januari 2012, di Darwin, salah satu saudara Batumbil tewas dalam perkelahian bersenjatakan pisau. Jenazahnya dikirim ke Matamata.

Setelah pindah ke alam liar dengan suaminya, Batumbil melahirkan dua putra—Gaypalwani sang putra sulung—dan seorang putri. Putrinya melahirkan tiga anak lelaki, lalu meninggal karena penyakit jantung. Ketiga anak laki-laki itu, sekarang di usia remaja dan awal 20-an, tinggal di Matamata. Pendidikan resmi di desa hanya dilakukan sesekali saja. Batumbil seorang guru; dia menerima pelatihan pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Darwin. Namun, selama tinggal di situ, saya tidak pernah melihat proses belajar dan tidak pernah melihat sebuah buku pun.

Namun, pelajaran di alam liar tidak ada dua­nya. Gaypalwani dan istrinya memiliki anak laki-laki kembar berusia sembilan tahun. Mereka berlarian memegang tombak setinggi tubuh dan kadang-kadang menemani sang ayah di perahu, mengamatinya berburu. Setiap hari mereka ber­latih langkah tarian Yolngu yang rumit, sementara orang tua mereka bertepuk tangan me­ngiringinya. Perjodohan dan poligami, kata Batumbil, sudah tidak ada lagi. Saat ini, ujar­nya menjelaskan, proses menemukan pasang­an sudah lebih modern. “Kami hanya perlu ber­kencan seperti semut cokelat sampai me­nemukan istri yang cocok. Lalu, membina keluarga bersama-sama.”!break!

Alkohol tidak diperkenankan di Matamata. Ini adalah peraturan utama yang dikeluarkan Batumbil. Peraturan itu juga menjadi hukum. Tanggap Darurat Northern Territory tahun 2007, dikeluarkan sebagai reaksi terhadap dugaan kasus pelecehan anak dalam masyarakat Abo­rigin. Peraturan yang kontroversial dan rasis itu menambahkan jumlah polisi ke daerah Aborigin dan memberlakukan peraturan ketat atas alkohol. Beberapa orang Aborigin yang saya ajak bicara dengan enggan mengakui bahwa hal tersebut telah mengurangi krisis, meski­pun banyak orang Australia dengan keras menentangnya, mengatakan aturan baru itu terlalu melanggar hak kebebasan pribadi.

Di sebagian besar daerah yang tidak diawasi polisi ​​seperti Matamata, pasti lebih mudah melanggar hukum. Tetapi, Batumbil sama sekali tidak menoleransi alkohol. Dua barang dari dunia luar menentukan kualitas hidup di Matamata: tembakau dan bensin. Ketika tidak ada bensin, mesin kapal tidak dapat dihidupkan, mereka tidak dapat menangkap penyu, dan semua orang kelaparan. Ketika tidak ada tembakau, keadaannya lebih buruk. Saya menyaksikan masa kekurangan tembakau yang parah sehingga Batumbil menghancurkan pipa favoritnya, mengerik sisa tembakau yang menempel di bagian dalam pipanya, dan meng­isapnya dengan pipa baru.

Uang untuk membeli tembakau, bensin, dan barang kebutuhan lainnya dipasok dari beberapa sumber. Suku Yolngu kadang di­pe­kerjakan untuk melakukan pekerjaan kasar dalam berbagai komunitas. Selama kunjung­an saya, sekelompok orang membantu meng­angkat tangki air ke sebuah menara. Untuk pekerjaan ini, mereka menerima upah minimum pemerintah hingga Rp2.800.000 se­minggu. Banyak orang yang tidak bekerja pun mendapatkan uang, yaitu dana sosial dari pemerintah yang berhak didapatkan oleh warga Australia berpenghasilan rendah, baik dari kalangan Aborigin ataupun bukan.

Masyarakat Aborigin lainnya menerima pem­­bayaran royalti besar dari perusahaan per­tambangan. Bauksit, sumber utama aluminium, tersedia berlimpah di Arnhem Land. Batumbil selalu menolak memberikan izin kepada per­usahaan pertambangan untuk menyentuh wilayah sekecil apa pun di daerahnya, meskipun dengan tawaran yang menggiurkan. “Kalian harus membunuh dan melangkahi mayat saya dahulu sebelum dapat menambang di sini.”

Lukisan kulit kayu karya Batumbil, garis ber­silangan yang rumit, pigmen buatan sendiri dari tanah liat putih, dijual seharga Rp15.000.000. Tas dari tali, yang dihiasi bulu burung, dihargai Rp5.000.000. Mimpinya adalah membeli Internet satelit—yang akan terwujud dalam waktu tidak lama lagi—dan membuka situs web, lalu menjual karyanya secara online, agar tidak perlu membayar komisi untuk galeri seni.Matamata umumnya mengalami dua mu­sim—musim hujan biasanya berlangsung dari Desember hingga Maret dan musim kemarau pada bulan-bulan lainnya. Jalanan menjadi berlumpur selama musim hujan, tapi kita selalu dapat naik perahu mengelilingi bibir pantai, yang memakan waktu setengah hari perjalanan menuju kota.

Sebuah pesawat terbang juga mendarat se­tidaknya seminggu sekali membawa seorang pe­kerja kesehatan; ketika terbang lagi ke ko­mu­nitas Aborigin lainnya, beberapa orang se­ring ikut dan menempati kursi kosong, dengan biaya tidak seberapa, dan menghabiskan waktu mengunjungi teman dan kerabat. Suku Yolngu senang berjalan-jalan; populasi Mata­mata tidak pernah sama dari hari ke hari. Saat salah seorang cucu Batumbil naik pe­sa­wat, dia membawa anjing dan tele­visi—“Jadi, saya bisa duduk dan bersantai dengan­nya”—tapi, bahkan tidak ingat untuk membawa alas kaki.batumbil tidak menyukai lalat pasir dan dia sama sekali tidak ragu membunuh mereka. Namun, dia meyakini dirinya memiliki ikatan keluarga dengan binatang itu. Dia menyebut mereka sebagai neneknya. “Saya mencoba tidur siang,” katanya kepada saya, “tapi, semua leluhur saya ada di sekitar saya.” Tentu saja dia sedang ber­gurau, meskipun maksudnya serius. Lalat pasir mungkin mengganggunya, tetapi mereka adalah bagian dari tanah airnya. Oleh karena itu, penuh dengan simbol dan semangat serta tujuan penting.

Menurut legenda Aborigin, Bumi dulunya be­rupa hamparan lumpur atau tanah liat tanpa bentuk. Kemudian, makhluk leluhur muncul, ber­bentuk binatang atau tumbuhan atau manu­sia, dan melakukan perjalanan di seluruh per­mukaan Bumi, membentuk lumpur menjadi sungai, bukit, pulau, gua. Hal ini terjadi pada zaman yang dikenal sebagai Masa Mimpi. Dan, jalan yang diambil masing-masing makhluk ini, daerah pedesaan yang mereka ciptakan, disebut Lirik Lagu.

Makhluk leluhur juga melahirkan semua makhluk hidup, termasuk manusia. Mereka meng­anugerahkan bahasa, pengetahuan, ritual, dan iman. Setiap warga Aborigin memiliki Mimpi—nenek moyang yang mewujudkannya, baik dalam bentuk ular atau penyu atau ubi. Mimpi salah seorang anggota keluarga Batumbil adalah dingo, anjing liar Australia. Itulah sebabnya dia senang dikelilingi anjing. Sangatlah penting, ujar Batumbil, untuk mencari tahu Lirik Lagu Mimpi kita, agar kita mampu mengikuti rute keberadaan leluhur, berbicara dalam bahasanya, mempelajari musiknya.

Spiritualitas yang mencakup semua aspek kehidupan ini tidak diungkapkan secara terang-terangan. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya tidak ada ritual sama sekali, meskipun ada takhayul. Mereka meyakini, ber­jalan sendirian dapat membuat kita rentan terhadap ilmu sihir. Bahkan ketika seseorang di Matamata ke kamar mandi, biasanya mereka minta ditemani. Di kuburan di Matamata, satu-satunya simbol agama adalah sebuah salib Kristen dengan kata-kata “Akulah Jalan” yang ditulis dalam bahasa Inggris, bukti keberadaan Misionaris Metodis yang tiba di Arnhem Land pada awal 1900-an. Ada dua kesempatan utama ketika tata cara keyakinan Aborigin dihadirkan secara menyeluruh: pada upacara inisiasi anak laki-laki, saat dia berusia sekitar usia sepuluh tahun, dan saat pemakaman.

Saya diundang untuk bergabung dalam acara pemakaman untuk menghormati tetua Yolngu, diadakan di hamparan pantai pasir yang luas dekat kota Yirrkala. Kaum lelaki mengoleskan tanah liat putih di wajah dan tubuh mereka, lalu berjalan di atas pasir dalam rombongan besar, membawa tombak upacara. Mereka berdiri di depan sebuah tenda kain berdinding khusus tempat diletakkannya jenazah. Para tetua melantunkan musik—suara pukulan tongkat berirama, nyanyian bergetar, dengungan alat musik tiup didgeridoo. Kemudian, para penari, seperti makhluk leluhur dalam Masa Mimpi, tampak berubah bentuk di depan mata saya, meliukkan tubuh, memanjangkan leher, menghentakkan kaki, dan mengacungkan tombak. Semua ber­gerak bersama-sama, makhluk berkaki banyak, pasir beterbangan, keringat mengalir deras.

Setiap tarian, yang meniru binatang atau pe­ristiwa alam, berlangsung singkat dan serius. Ada tarian camar putih, tarian gurita, tarian angin utara, tarian kakaktua. Beberapa di antaranya hanya dilakukan oleh kaum wanita. Pemakaman biasanya berlangsung selama sepuluh hari, untuk mengantarkan arwah me­mulai perjalanannya dalam perpisahan se­megah mungkin. Saya bertanya kepada beberapa orang tentang akhirat. Jawaban mereka serupa. “Kami tidak tahu apa yang terjadi ketika mati.”!break!

Suku yolngu, kata Batumbil, adalah penguasa api. Saat berjalan-jalan di wilayahnya, mereka sering memulai kebakaran semak. Anak-anak, bahkan balita, diizinkan menyalakan api. Praktik ini membuat tanah bersih dari pepohonan dan rerumputan tinggi, mempermudah perjalanan melalui semak, dan memperbarui siklus ke­hidupan tanaman.

Lihatlah mata mereka ketika api dinyalakan: Ini adalah sesuatu yang lebih berarti daripada pengelolaan hutan yang baik. Sentuhkan api ke ujung daun kelapa. Ini musim kemarau, dedaunan akan meledak. Saat seluruh pohon terbakar, bagaikan kuali api, lidah api melompat ke pohon di sampingnya, lalu meluncur ke atas tanah. Udara berubah men­jadi jingga, panasnya tak tertahankan, dan api melahap ke segala arah mengikuti tiupan angin, semak berderak dan mengepul—jika kita tengah di jalan, cepat lari!

Tidak mungkin menghentikannya se­karang; api akan melakukan apa pun yang di­inginkannya. Saat berjalan kembali ke Matamata di pagi hari, pandanglah cakrawala. Asap cokelat menggantung rendah di langit di tempat api masih menyala.

Diperlukan waktu 30 hingga 40 tahun bagi warga suku Yolngu untuk menyerap luas­nya pengetahuan Aborigin—untuk menjadi “ensiklopedia hidup,” itulah sebutan yang diberikan Batumbil. Dia takut mungkin tak lama lagi ensiklopedi Yolngu akan punah. Banyak kelompok Aborigin di seluruh Australia yang telah mengubur ensiklopedianya yang terakhir. “Saya mengkhawatirkan generasi berikutnya,” kata Batumbil.Seorang pemuda bernama Marvin Ganyin meyakinkan saya bahwa keprihatinan Batumbil tidaklah beralasan. Ganyin berusia 23 tahun; dia dan istrinya tinggal di kamar di sebelah Batumbil. Ibunya putri Batumbil, yang telah me­ninggal. Ayahnya juga sudah meninggal. Dia memiliki putra berusia dua tahun.

Dua hal yang sangat disukainya adalah ber­kelahi dan bermain bola sepak ala Australia. Dia memamerkan parut di buku jarinya akibat semua perkelahiannya. Dia tidak dapat memahami manfaat buku. “Membaca? Apa yang dapat kita lakukan dengannya ketika merasa lapar—memakan helaian kertasnya?”

Tetapi, dia menepuk bahu saya, menyerahkan tombak, dan meminta saya mengikutinya. Kami berjalan ke semak-semak. Dia berhenti di bawah sebatang pohon, lalu mengguncangnya, beberapa buah apel liar berjatuhan, kulit merah terang tampak kusut seperti paprika. “Makanlah ini,” katanya, “maka kau sanggup berjalan jauh.”

Sepertinya, setiap makhluk di semak-semak Australia ingin meracuni kita; raja ular cokelat, kodok beracun, laba-laba punggung merah, dan ular taipan. Kita bahkan tidak bisa berenang di laut—ubur-ubur kotak, ikan pari polkadot, gurita cincin biru, puluhan spesies hiu, semuanya siap meracuni. Lalu, ada buaya air asin, dikenal sebagai salties, yang panjangnya bisa mencapai enam meter. Selama dua minggu saat saya hidup di semak-semak, dua orang dimangsa salties, anak perempuan berusia tujuh tahun dan bocah laki-laki berusia sembilan tahun. Saya mengungkapkan kesedihan tentang hal ini kepada Batumbil, tapi dia tetap tenang. Ini adalah hal yang biasa saja.

Saya dan Ganyin mencapai bukit. Sebuah bukit suci, katanya. Di sinilah tempat tumbuh­nya pohon untuk didgeridoo. Dia mengetuk batang pohon stringybark. Berongga. Ganyin adalah pemain musik yang ahli, pemain terbaik yang saya dengar di Matamata.

Kami muncul dari balik semak-semak di sebidang pantai melengkung yang bersih. Tidak terlihat jejak satu pun. Kami terus ber­jalan menghampiri dermaga alami dari batu hitam, dipenuhi tiram. Ganyin membuka be­berapa cangkang tiram dan kami menyedot isinya dengan menggunakan setengah cang­kang­­nya sebagai sendok. Kemudian, Ganyin melemparkan tombaknya. Dia berhasil men­dapatkan seekor kepiting besar. Kami bergegas ke hutan bakau, Ganyin mematahkan sebuah akar, dan memasukkan jarinya ke dalam kayu merah tua yang lembut. Dia mengeluarkan cacing putih tebal sepanjang 30 sentimeter. Dia memegangnya dan meremasnya, pasta cokelat berlumpur keluar dari bagian bawahnya. Dia memberikan cacing itu kepada saya. “Makanlah,” katanya, matanya berbinar. Saya memakannya. Seperti calamari asin.

“Mari kita pergi sebelum dingo mengendus keberadaan kita,” katanya. Jadi, kami pun kembali. Di jalan, dia menunjukkan sekuntum bunga yang jika sudah mekar menunjukkan awal musim berburu ikan pari. Idolanya, ujarnya, adalah Bruce Lee dan Muhammad Ali. Dia menegaskan dirinya tidak pernah bisa hidup di kota. “Terlalu membosankan. Makanannya tidak enak.” Dia mengatakan tidak ada yang lebih baik di dunia daripada berburu untuk makanan sendiri. Dia sudah mengajari anaknya berburu. Ganyin menegaskan, dia akan mempelajari semua cara hidup Yolngu, dia ingin menjadi ensiklopedia.

Dia mengambil kursi plastik, menjungkir­balikkannya, dan duduk bersila di hadapan­nya. Diletakkannya ujung didgeridoo di atas dudukan kursi, memejamkan matanya, dan menggembungkan pipinya. Musik ber­kumandang dari instrumen itu, dan kursi plastik menciptakan gema berdengung, nadanya naik turun. Saya berjalan melintasi Matamata dan bintang mengedipkan matanya.