Pionir Australia

By , Rabu, 22 Mei 2013 | 17:02 WIB

Pada 1976, Aboriginal Land Rights Act untuk Northern Territory mengembalikan Arnhem Land, seluas lebih dari 90.000 kilometer persegi, kepada para pemilik tradisionalnya. Pada saat ini, beberapa komunitas Aborigin hancur aki­bat pengaruh alkohol dan penyakit lainnya. Kondisi­nya masih seperti itu pada saat ini. Ciri gaya hidup kaum pemburu-pengumpul adalah konsumsi langsung; begitu diperoleh, makanan akan langsung dibagikan dan disantap habis.

Sebagian besar dunia memiliki waktu 10.000 tahun untuk secara bertahap beradaptasi dengan irama hidup menetap, membentuk masyarakat pertanian. Kehidupan yang menunjukkan bahwa kesabaran, perencanaan, dan pelestarian adalah kunci untuk kelangsungan hidup. Sebagaimana yang diduga, suku Aborigin mustahil mengubah gaya hidupnya dalam semalam. Makan sesuka hati ditambah pasokan produk seperti alkohol yang tak terbatas menyebabkan malapetaka. Sama halnya dengan gula olahan; obesitas dan diabetes lazim ditemukan pada orang Aborigin. Begitu pula dengan tembakau.

Di kota tempat Batumbil dan suaminya ting­gal, di Pulau Elcho, sangat sulit meng­hindari godaan alkohol dan kekerasan yang me­nyertainya. Ini bukan tempat yang baik un­tuk memulai sebuah keluarga. Batumbil dan suami­­nya yakin bahwa satu-satunya kehidupan bahagia hanya mungkin diperoleh di tempat terpencil yang tenang, menggantungkan diri pada sumber daya alam. Jadi, mereka pindah ke alam liar. “Kami memutuskan pulang,” katanya.

Keputusannya, menurut petugas kesehatan se­­tempat yang saya temui, adalah tindakan yang bijaksana. Bahkan mampu menyelamatkan nyawa. Dibandingkan orang Aborigin yang ting­gal di kota, orang-orang yang menetap di wilayah terpencil mengonsumsi makanan yang lebih sehat, hidup lebih lama, dan nyaris tidak mengenal kekerasan. Kota terbesar di Northern Territory adalah Darwin. Pada Januari 2012, di Darwin, salah satu saudara Batumbil tewas dalam perkelahian bersenjatakan pisau. Jenazahnya dikirim ke Matamata.

Setelah pindah ke alam liar dengan suaminya, Batumbil melahirkan dua putra—Gaypalwani sang putra sulung—dan seorang putri. Putrinya melahirkan tiga anak lelaki, lalu meninggal karena penyakit jantung. Ketiga anak laki-laki itu, sekarang di usia remaja dan awal 20-an, tinggal di Matamata. Pendidikan resmi di desa hanya dilakukan sesekali saja. Batumbil seorang guru; dia menerima pelatihan pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Darwin. Namun, selama tinggal di situ, saya tidak pernah melihat proses belajar dan tidak pernah melihat sebuah buku pun.

Namun, pelajaran di alam liar tidak ada dua­nya. Gaypalwani dan istrinya memiliki anak laki-laki kembar berusia sembilan tahun. Mereka berlarian memegang tombak setinggi tubuh dan kadang-kadang menemani sang ayah di perahu, mengamatinya berburu. Setiap hari mereka ber­latih langkah tarian Yolngu yang rumit, sementara orang tua mereka bertepuk tangan me­ngiringinya. Perjodohan dan poligami, kata Batumbil, sudah tidak ada lagi. Saat ini, ujar­nya menjelaskan, proses menemukan pasang­an sudah lebih modern. “Kami hanya perlu ber­kencan seperti semut cokelat sampai me­nemukan istri yang cocok. Lalu, membina keluarga bersama-sama.”!break!

Alkohol tidak diperkenankan di Matamata. Ini adalah peraturan utama yang dikeluarkan Batumbil. Peraturan itu juga menjadi hukum. Tanggap Darurat Northern Territory tahun 2007, dikeluarkan sebagai reaksi terhadap dugaan kasus pelecehan anak dalam masyarakat Abo­rigin. Peraturan yang kontroversial dan rasis itu menambahkan jumlah polisi ke daerah Aborigin dan memberlakukan peraturan ketat atas alkohol. Beberapa orang Aborigin yang saya ajak bicara dengan enggan mengakui bahwa hal tersebut telah mengurangi krisis, meski­pun banyak orang Australia dengan keras menentangnya, mengatakan aturan baru itu terlalu melanggar hak kebebasan pribadi.

Di sebagian besar daerah yang tidak diawasi polisi ​​seperti Matamata, pasti lebih mudah melanggar hukum. Tetapi, Batumbil sama sekali tidak menoleransi alkohol. Dua barang dari dunia luar menentukan kualitas hidup di Matamata: tembakau dan bensin. Ketika tidak ada bensin, mesin kapal tidak dapat dihidupkan, mereka tidak dapat menangkap penyu, dan semua orang kelaparan. Ketika tidak ada tembakau, keadaannya lebih buruk. Saya menyaksikan masa kekurangan tembakau yang parah sehingga Batumbil menghancurkan pipa favoritnya, mengerik sisa tembakau yang menempel di bagian dalam pipanya, dan meng­isapnya dengan pipa baru.

Uang untuk membeli tembakau, bensin, dan barang kebutuhan lainnya dipasok dari beberapa sumber. Suku Yolngu kadang di­pe­kerjakan untuk melakukan pekerjaan kasar dalam berbagai komunitas. Selama kunjung­an saya, sekelompok orang membantu meng­angkat tangki air ke sebuah menara. Untuk pekerjaan ini, mereka menerima upah minimum pemerintah hingga Rp2.800.000 se­minggu. Banyak orang yang tidak bekerja pun mendapatkan uang, yaitu dana sosial dari pemerintah yang berhak didapatkan oleh warga Australia berpenghasilan rendah, baik dari kalangan Aborigin ataupun bukan.

Masyarakat Aborigin lainnya menerima pem­­bayaran royalti besar dari perusahaan per­tambangan. Bauksit, sumber utama aluminium, tersedia berlimpah di Arnhem Land. Batumbil selalu menolak memberikan izin kepada per­usahaan pertambangan untuk menyentuh wilayah sekecil apa pun di daerahnya, meskipun dengan tawaran yang menggiurkan. “Kalian harus membunuh dan melangkahi mayat saya dahulu sebelum dapat menambang di sini.”

Lukisan kulit kayu karya Batumbil, garis ber­silangan yang rumit, pigmen buatan sendiri dari tanah liat putih, dijual seharga Rp15.000.000. Tas dari tali, yang dihiasi bulu burung, dihargai Rp5.000.000. Mimpinya adalah membeli Internet satelit—yang akan terwujud dalam waktu tidak lama lagi—dan membuka situs web, lalu menjual karyanya secara online, agar tidak perlu membayar komisi untuk galeri seni.Matamata umumnya mengalami dua mu­sim—musim hujan biasanya berlangsung dari Desember hingga Maret dan musim kemarau pada bulan-bulan lainnya. Jalanan menjadi berlumpur selama musim hujan, tapi kita selalu dapat naik perahu mengelilingi bibir pantai, yang memakan waktu setengah hari perjalanan menuju kota.

Sebuah pesawat terbang juga mendarat se­tidaknya seminggu sekali membawa seorang pe­kerja kesehatan; ketika terbang lagi ke ko­mu­nitas Aborigin lainnya, beberapa orang se­ring ikut dan menempati kursi kosong, dengan biaya tidak seberapa, dan menghabiskan waktu mengunjungi teman dan kerabat. Suku Yolngu senang berjalan-jalan; populasi Mata­mata tidak pernah sama dari hari ke hari. Saat salah seorang cucu Batumbil naik pe­sa­wat, dia membawa anjing dan tele­visi—“Jadi, saya bisa duduk dan bersantai dengan­nya”—tapi, bahkan tidak ingat untuk membawa alas kaki.batumbil tidak menyukai lalat pasir dan dia sama sekali tidak ragu membunuh mereka. Namun, dia meyakini dirinya memiliki ikatan keluarga dengan binatang itu. Dia menyebut mereka sebagai neneknya. “Saya mencoba tidur siang,” katanya kepada saya, “tapi, semua leluhur saya ada di sekitar saya.” Tentu saja dia sedang ber­gurau, meskipun maksudnya serius. Lalat pasir mungkin mengganggunya, tetapi mereka adalah bagian dari tanah airnya. Oleh karena itu, penuh dengan simbol dan semangat serta tujuan penting.