Pionir Australia

By , Rabu, 22 Mei 2013 | 17:02 WIB

Menurut legenda Aborigin, Bumi dulunya be­rupa hamparan lumpur atau tanah liat tanpa bentuk. Kemudian, makhluk leluhur muncul, ber­bentuk binatang atau tumbuhan atau manu­sia, dan melakukan perjalanan di seluruh per­mukaan Bumi, membentuk lumpur menjadi sungai, bukit, pulau, gua. Hal ini terjadi pada zaman yang dikenal sebagai Masa Mimpi. Dan, jalan yang diambil masing-masing makhluk ini, daerah pedesaan yang mereka ciptakan, disebut Lirik Lagu.

Makhluk leluhur juga melahirkan semua makhluk hidup, termasuk manusia. Mereka meng­anugerahkan bahasa, pengetahuan, ritual, dan iman. Setiap warga Aborigin memiliki Mimpi—nenek moyang yang mewujudkannya, baik dalam bentuk ular atau penyu atau ubi. Mimpi salah seorang anggota keluarga Batumbil adalah dingo, anjing liar Australia. Itulah sebabnya dia senang dikelilingi anjing. Sangatlah penting, ujar Batumbil, untuk mencari tahu Lirik Lagu Mimpi kita, agar kita mampu mengikuti rute keberadaan leluhur, berbicara dalam bahasanya, mempelajari musiknya.

Spiritualitas yang mencakup semua aspek kehidupan ini tidak diungkapkan secara terang-terangan. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya tidak ada ritual sama sekali, meskipun ada takhayul. Mereka meyakini, ber­jalan sendirian dapat membuat kita rentan terhadap ilmu sihir. Bahkan ketika seseorang di Matamata ke kamar mandi, biasanya mereka minta ditemani. Di kuburan di Matamata, satu-satunya simbol agama adalah sebuah salib Kristen dengan kata-kata “Akulah Jalan” yang ditulis dalam bahasa Inggris, bukti keberadaan Misionaris Metodis yang tiba di Arnhem Land pada awal 1900-an. Ada dua kesempatan utama ketika tata cara keyakinan Aborigin dihadirkan secara menyeluruh: pada upacara inisiasi anak laki-laki, saat dia berusia sekitar usia sepuluh tahun, dan saat pemakaman.

Saya diundang untuk bergabung dalam acara pemakaman untuk menghormati tetua Yolngu, diadakan di hamparan pantai pasir yang luas dekat kota Yirrkala. Kaum lelaki mengoleskan tanah liat putih di wajah dan tubuh mereka, lalu berjalan di atas pasir dalam rombongan besar, membawa tombak upacara. Mereka berdiri di depan sebuah tenda kain berdinding khusus tempat diletakkannya jenazah. Para tetua melantunkan musik—suara pukulan tongkat berirama, nyanyian bergetar, dengungan alat musik tiup didgeridoo. Kemudian, para penari, seperti makhluk leluhur dalam Masa Mimpi, tampak berubah bentuk di depan mata saya, meliukkan tubuh, memanjangkan leher, menghentakkan kaki, dan mengacungkan tombak. Semua ber­gerak bersama-sama, makhluk berkaki banyak, pasir beterbangan, keringat mengalir deras.

Setiap tarian, yang meniru binatang atau pe­ristiwa alam, berlangsung singkat dan serius. Ada tarian camar putih, tarian gurita, tarian angin utara, tarian kakaktua. Beberapa di antaranya hanya dilakukan oleh kaum wanita. Pemakaman biasanya berlangsung selama sepuluh hari, untuk mengantarkan arwah me­mulai perjalanannya dalam perpisahan se­megah mungkin. Saya bertanya kepada beberapa orang tentang akhirat. Jawaban mereka serupa. “Kami tidak tahu apa yang terjadi ketika mati.”!break!

Suku yolngu, kata Batumbil, adalah penguasa api. Saat berjalan-jalan di wilayahnya, mereka sering memulai kebakaran semak. Anak-anak, bahkan balita, diizinkan menyalakan api. Praktik ini membuat tanah bersih dari pepohonan dan rerumputan tinggi, mempermudah perjalanan melalui semak, dan memperbarui siklus ke­hidupan tanaman.

Lihatlah mata mereka ketika api dinyalakan: Ini adalah sesuatu yang lebih berarti daripada pengelolaan hutan yang baik. Sentuhkan api ke ujung daun kelapa. Ini musim kemarau, dedaunan akan meledak. Saat seluruh pohon terbakar, bagaikan kuali api, lidah api melompat ke pohon di sampingnya, lalu meluncur ke atas tanah. Udara berubah men­jadi jingga, panasnya tak tertahankan, dan api melahap ke segala arah mengikuti tiupan angin, semak berderak dan mengepul—jika kita tengah di jalan, cepat lari!

Tidak mungkin menghentikannya se­karang; api akan melakukan apa pun yang di­inginkannya. Saat berjalan kembali ke Matamata di pagi hari, pandanglah cakrawala. Asap cokelat menggantung rendah di langit di tempat api masih menyala.

Diperlukan waktu 30 hingga 40 tahun bagi warga suku Yolngu untuk menyerap luas­nya pengetahuan Aborigin—untuk menjadi “ensiklopedia hidup,” itulah sebutan yang diberikan Batumbil. Dia takut mungkin tak lama lagi ensiklopedi Yolngu akan punah. Banyak kelompok Aborigin di seluruh Australia yang telah mengubur ensiklopedianya yang terakhir. “Saya mengkhawatirkan generasi berikutnya,” kata Batumbil.Seorang pemuda bernama Marvin Ganyin meyakinkan saya bahwa keprihatinan Batumbil tidaklah beralasan. Ganyin berusia 23 tahun; dia dan istrinya tinggal di kamar di sebelah Batumbil. Ibunya putri Batumbil, yang telah me­ninggal. Ayahnya juga sudah meninggal. Dia memiliki putra berusia dua tahun.

Dua hal yang sangat disukainya adalah ber­kelahi dan bermain bola sepak ala Australia. Dia memamerkan parut di buku jarinya akibat semua perkelahiannya. Dia tidak dapat memahami manfaat buku. “Membaca? Apa yang dapat kita lakukan dengannya ketika merasa lapar—memakan helaian kertasnya?”

Tetapi, dia menepuk bahu saya, menyerahkan tombak, dan meminta saya mengikutinya. Kami berjalan ke semak-semak. Dia berhenti di bawah sebatang pohon, lalu mengguncangnya, beberapa buah apel liar berjatuhan, kulit merah terang tampak kusut seperti paprika. “Makanlah ini,” katanya, “maka kau sanggup berjalan jauh.”

Sepertinya, setiap makhluk di semak-semak Australia ingin meracuni kita; raja ular cokelat, kodok beracun, laba-laba punggung merah, dan ular taipan. Kita bahkan tidak bisa berenang di laut—ubur-ubur kotak, ikan pari polkadot, gurita cincin biru, puluhan spesies hiu, semuanya siap meracuni. Lalu, ada buaya air asin, dikenal sebagai salties, yang panjangnya bisa mencapai enam meter. Selama dua minggu saat saya hidup di semak-semak, dua orang dimangsa salties, anak perempuan berusia tujuh tahun dan bocah laki-laki berusia sembilan tahun. Saya mengungkapkan kesedihan tentang hal ini kepada Batumbil, tapi dia tetap tenang. Ini adalah hal yang biasa saja.

Saya dan Ganyin mencapai bukit. Sebuah bukit suci, katanya. Di sinilah tempat tumbuh­nya pohon untuk didgeridoo. Dia mengetuk batang pohon stringybark. Berongga. Ganyin adalah pemain musik yang ahli, pemain terbaik yang saya dengar di Matamata.

Kami muncul dari balik semak-semak di sebidang pantai melengkung yang bersih. Tidak terlihat jejak satu pun. Kami terus ber­jalan menghampiri dermaga alami dari batu hitam, dipenuhi tiram. Ganyin membuka be­berapa cangkang tiram dan kami menyedot isinya dengan menggunakan setengah cang­kang­­nya sebagai sendok. Kemudian, Ganyin melemparkan tombaknya. Dia berhasil men­dapatkan seekor kepiting besar. Kami bergegas ke hutan bakau, Ganyin mematahkan sebuah akar, dan memasukkan jarinya ke dalam kayu merah tua yang lembut. Dia mengeluarkan cacing putih tebal sepanjang 30 sentimeter. Dia memegangnya dan meremasnya, pasta cokelat berlumpur keluar dari bagian bawahnya. Dia memberikan cacing itu kepada saya. “Makanlah,” katanya, matanya berbinar. Saya memakannya. Seperti calamari asin.

“Mari kita pergi sebelum dingo mengendus keberadaan kita,” katanya. Jadi, kami pun kembali. Di jalan, dia menunjukkan sekuntum bunga yang jika sudah mekar menunjukkan awal musim berburu ikan pari. Idolanya, ujarnya, adalah Bruce Lee dan Muhammad Ali. Dia menegaskan dirinya tidak pernah bisa hidup di kota. “Terlalu membosankan. Makanannya tidak enak.” Dia mengatakan tidak ada yang lebih baik di dunia daripada berburu untuk makanan sendiri. Dia sudah mengajari anaknya berburu. Ganyin menegaskan, dia akan mempelajari semua cara hidup Yolngu, dia ingin menjadi ensiklopedia.

Dia mengambil kursi plastik, menjungkir­balikkannya, dan duduk bersila di hadapan­nya. Diletakkannya ujung didgeridoo di atas dudukan kursi, memejamkan matanya, dan menggembungkan pipinya. Musik ber­kumandang dari instrumen itu, dan kursi plastik menciptakan gema berdengung, nadanya naik turun. Saya berjalan melintasi Matamata dan bintang mengedipkan matanya.