Pengaruh Politik Revolusi Prancis yang Berkelana Hingga Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 14 Juli 2021 | 18:00 WIB
Penyerbuan Bastille oleh rakyat Prancis yang menuntut jatuhnya monarki. Peristiwa ini menjadi puncak revolusi Prancis, dan memiliki dampak hingga ke Hindia Belanda. (Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id - Penyerbuan penjara Bastille pada 14 Juli 1789 adalah puncak kerusuhan oleh rakyat selama revolusi Prancis. Masyarakat tumpah ruah menyerbu benteng yang dikenal sebagai pertahanan terkuat di kerajaan itu.

Ringkasnya, revolusi itu membuat Raja Louis XVI dipenggal di depan khalayak publik pada 21 Januari 1793 dengan guillotine. Peristiwa itu mengakhiri monarki absolut Prancis menuju sistem politik yang baru, dan mempengaruhi sejarah di Eropa hingga seluruh dunia.

Sandy Kurnia Christmas dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, bersama Evi Purwanti dalam Jurnal Pembangungan Hukum Indonesia (Vol.2 No.2 tahun 2020) menulis, monarki absolut yang dianut negara Eropa pada abad ke-18 pemerintahannya dipegang tunggal atas raja.

Di Prancis sendiri raja membuat "L’etat, c’est moi" yang berarti "negara adalah aku", dan pemerintahannya dikenal depotisme, sebuah hukum yang dibuat hukum langsung dibuat raja maupun organ-orang yang diangkat raja.

 

Selain itu, peran agama juga berhubungan dengan tatanan Prancis pra-revolusi dalam sistem kerajaan. Merupakan hal yang umum sebutan kekuasaan Tuhan, yang kemudian diwakilkan oleh raja.

Maka tuntutan rakyat selama revolusi Perancis adalah untuk menuntut kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (Liberte, egalite, et fraternite). 

"Revolusi Perancis diidasari oleh paham liberalisme, demokrasi dan nasionalisme, dimana paham-paham inilah yang kemudian berkembang dalam hukum internasional," tulis Sandy dan Evi.

26 Agustus 1789, lahirlah Dekret Agustus yang bertujuan menghapus seluruh hak istimewa raja. Dekret ini selanjutnya membentuk "La Declaration des Droits de l'homme et du Citoyen" atau Deklarasi HAM dan Warga Negara 1789" yang menyebabkan negara republik.

"Terbentuknya Republik Perancis merupakan negara pertama yang mendeklarasikan negaranya sebagai negara republik di Eropa. Pada bentuk pemerintahan Republik ini, kekuasaan tertinggi bersumber kepada rakyat," lanjut Sandy dan Evi di makalah.

Pemikiran kedaulatan rakyat yang terjadi di Prancis diadopsi dari John Locke, seorang filsuf Inggris. Menurut Locke, hakikatnya kekuasan timbul akibat adanya perjanjian rakyat untuk menyerahkan haknya, dan pemerintah harus mengembalikannya dalam hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum.

Baca Juga: Apa yang Sebenarnya Terjadi Pada Perayaan Hari Bastille di Prancis?

Ilustrasi pemancungan kepala Raja Louis XVI (Zika Zakiya)

Secara sistem, Prancis melahirkan kontrak sosial yang melahikran trias politika yang berunsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif, seperti yang kita kenal saat ini.

"Revolusi Prancis nyatanya tidak hanya membawa perubahan dalam perkembangan sistem pemerintahan, melainkan kepada penegakan hak asasi manusia juga diperjuangkan," terang mereka.

Paham dari revolusi Prancis kemudian menular oleh negeri Eropa lainnya, terlebih dengan seiringan dengan perang yang dibawa Napoleon Bonaparte, dan hubungan luar negerinya. Pembentukan Republik Prancis juga dapat dianggap sebagai langkah awal penghapusan golongan atau kelas dalam tingkat sosial.

 

Akibatnya, di Eropa mulai bermunculan paham sekulerisme yang mengharuskan lembaga negara harus terpisah dari unsur agama dan kepercayaan. Penganut sekularisme di Eropa pasca terbentuknya Republik Prancis yakin, penyekatan antara kuasa dan agama dapat menunjang kebebasan manusia.

Pengaruh Prancis pun tiba ke Belanda yang saat itu sedang bangkrut akibat kalah perang dengan Inggris. Sejarawan Simon Schama pada 1977 menulis buku Patriots and Liberators, Revolution in the Netherlands 1780-1813.

Akibat ketidakpuasan rakyat Belanda atas William V, kalangan patriot atau revolusioner Belanda melakukan pembelotan, dan menguasai beberapa provinsi. Aksi itu berujung pada revolusi Batavia sekitar 1794-1795.

Ketika Prancis tiba di Belanda, tulis Schama, kalangan patriot menyambut baik, dan berharap bisa membebaskan Belanda dari tirani. Pihak militer Belanda yang menaruh dukungan pada Prancis, salah satunya adalah Herman Willem Daendels. 

Baca Juga: Selidik Tjamboek Berdoeri dan Catatan Terlupakan Revolusi Indonesia

Potret lukisan Louis Bonaparte, raja Hollandia (Belanda di masa pengaruh Prancis) bersama anaknya Louis Napoleon Bonaparte yang dilukis Jean Baptiste Joseph Wicar (1762-1834). ()

 

Revolusi itu pun melahirkan Republik Batavia yang berusia sementara, dan dilanjutkan oleh Kerajaan Hollandia yang keduanya dipengaruhi urusan Prancis. Bahkan, Louis Bonaparte yang merupakan adik Napoleon menjadi raja di sana.

"Rakyat Belanda menerima sebagai rajanya, adik laki-laki Napoleon, Louis. Empat tahun masa pemerintahannya merupakan salah satu episode paling aneh dalam sejarah Belanda," tulis sejarawan bidang Eropa Herbert H. Rowen dan Michael J. Wintle di Britannica Encyclopedia.

"Louis Bonaparte adalah orang asing di negeri itu, namun dia memperhatikan kepentingannya, menghindari perintah saudaranya dan memenangkan rasa hormat, jika bukan kasih sayang, dari rakyatnya."

Louis Bonaparte pun mengangkat Herman Willem Daendels sebagai kolonel jenderal pada 1806, dan selanjutnya diutus sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1807. Alasan mengapa Daendels dipilih olehnya, lantaran ingin membersihkan Pulau Jawa dari pengaruh Inggris.

Baca Juga: Misteri Penis Kecil Napoleon yang Berpindah-pindah Tangan Lintas Benua

Herman Willem Daendels berperan penting untuk menjaga marwah revolusi Prancis, dan menjaga kedaulatan Belanda yang dipengaruhi Prancis di Hindia Timur jatuh ke tangan Inggrus (Rijksmuseum)

 

Djoko Marihandono, sejarawan Universitas Indonesia, menulis dalam artikel jurnal Upaya Pemberantasan Korupsi di Hindia Timur terkait peran Daendels. Kehadirannya di Hindia Belanda memodernisasi adminsitrasi koloni.

Secara politik sendiri, Daendels diharapkan Louis dapat menjaga martabat modernisasi yang dilakukan Prancis.

Terbukti, ia pun berhasil menumpas berbagai praktik korupsi yang sudah membudaya di Hindia Belanda sejak zaman VOC. Meski demikian keadilan hukum masih belum begitu tegak di kalangan pejabat lokal, yang nantinya berbuah Perang Dipanegara.

Baca Juga: Herman Willem Daendels dalam Pemberantasan Korupsi di Hindia Belanda