Berjalan Membelah Dunia

By , Kamis, 21 November 2013 | 13:00 WIB

Keluar dari nirwana

Berjalan adalah terjun ke depan.

Setiap langkah adalah rem darurat yang menahan agar kami tidak terjerembap. Dengan cara ini, berjalan menjadi wujud keimanan. Kami melakukannya setiap hari: mukjizat dua ketukan—mengangkat dan menapakkan kaki, bertahan sejenak, lalu melepaskan diri. Selama tujuh tahun mendatang, saya akan terjun melintasi dunia.

Saya tengah berada dalam sebuah perjalanan. Memburu sebuah gagasan, kisah, angan-angan, mungkin legenda. Mengejar-ngejar hantu. Berawal dari tempat asal manusia, yakni Great Rift Valley—Lembah Celah Besar—di Afrika Timur, saya berjalan kaki mengikuti jejak para leluhur yang pertama kali menjelajahi Bumi sekitar 60.000 tahun silam. Sejauh ini, inilah perjalanan terbesar kami. Bukan karena perjalanan ini menunjukkan bagaimana kita menguasai planet ini. Tidak. Melainkan karena Homo sapiens awal yang pertama kalinya berkelana ke luar benua asal—pelopor kaum nomaden yang jumlah totalnya hanya sekitar dua ratus orang. Mereka juga menganugerahkan kepada kita sifat-sifat terhalus yang kini di­asosiasikan dengan ciri-ciri manusia yang utuh: bahasa yang kompleks, cara berpikir abstrak, dorongan untuk berkesenian, kecemerlangan dalam inovasi teknologi, dan keanekaragaman ras yang ada saat ini.

Kita hanya memiliki sekelumit pengetahuan tentang mereka. Mereka menyeberangi selat bernama Babul Mandeb—“gerbang nestapa” yang memisahkan Benua Afrika dengan daratan Arabia—kemudian jumlah mereka meledak, hanya dalam 2.500 generasi, sekejap mata menurut hitungan geologi, dan merambah bagian-bagian paling terpencil planet ini.

Ribuan tahun berlalu, saya mengikuti mereka.

Memanfaatkan bukti fosil dan ilmu “genografi”—ilmu yang menganalisis DNA manusia modern untuk melacak diaspora manusia purba—saya akan berjalan kaki ke utara dari Afrika menuju Timur Tengah. Dari sana, rute antik saya mengarah ke timur melintasi dataran batu luas dari Asia hingga Cina, kemudian ke utara lagi menuju hamparan bayang-bayang biru mint Siberia. Dari Rusia, saya akan menumpang kapal menuju Alaska dan beringsut ke pesisir barat Dunia Baru untuk mencapai Tierra del Fuego, Cile, yang terkikis angin. Inilah daratan terujung yang berhasil dirambah oleh spesies kita. Saya akan berjalan kaki sejauh 33.000 kilometer.

Proyek ini, yang saya namai Out of Eden Walk (Keluar dari Nirwana), dilandasi oleh banyak alasan: untuk mempelajari kembali kontur planet kita dengan kecepatan langkah kaki manusia, yakni lima kilometer per jam. Untuk memperlambat laju. Untuk merenung. Untuk menulis. Saya akan berjalan, sebagaimana semua orang, untuk melihat apa yang ada di depan. Saya akan berjalan untuk mengenang.

Jalur-jalur kasar yang membelah gurun di Etiopia barangkali merupakan peninggalan tertua manusia di muka bumi. Orang-orang masih menggunakannya: mereka yang ke­laparan, yang miskin, yang didera cuaca, para pria dan wanita yang dengan wajah hampa melarikan diri dari perang.

Hampir semiliar manusia melakukan per­gerakan melintasi Bumi saat ini. Kita tengah menjalani migrasi massal terbesar sepanjang sejarah spesies kita. Di Kota Jibouti, pada malam hari para migran Afrika berdiri di antara tumpukan sampah di pinggir pantai. Mereka melambai-lambaikan telepon seluler, berusaha menangkap bocoran sinyal dari Somalia. Saya mendengar gumaman mereka: Oslo, Melbourne, Minnesota. Setelah 600 abad berlalu, kita masih mencari panduan, bahkan bantuan, dari mereka yang dahulu menyusuri jalan yang sama.!break!

Herto Bouri, Etiopia

“Ke mana Anda akan berjalan?” tanya se­orang penggembala Afar.

“Utara. Ke Jibouti.” (Kami tidak mengatakan Tierra del Fuego. Tempat itu terlampau jauh—percuma jika disebutkan.)