Di negara-negara makmur bagian “utara bola dunia”, tempat gaya busana dipakai untuk menyampaikan setiap gagasan dan keinginan, sepatu menunjukkan kelas, pilihan karier, tingkat kekerenan, keadaan seksual, bahkan pilihan politik pemakainya (bakiak versus bot koboi). Maka, sungguh aneh rasanya berjalan melewati daerah tempat manusia mengenakan alas kaki bergaya sama setiap pagi: sandal plastik Etiopia yang murah, demokratis, dan kuat.
Harganya sebesar upah kerja di lapangan seharian (sekitar dua puluh ribu rupiah). Sejuk di kaki. Sandal sejuta umat pedesaan Etiopia itu sangat ringan. Dapat didaur ulang. Dan bisa diperbaiki sendiri oleh pemiliknya: Tali plastik yang lepas hanya perlu dilelehkan dan ditempelkan kembali.
Karavan dua unta kami—yang bernama A’urta, atau Seharga Sapi, dan Suma’atuli, Cap di Kuping—akhirnya bertemu dengan pawang mereka yang sempat hilang, Mohamed Aidahis dan Kader Yarri. Kedua pria itu menyusul kami dari tempat keberangkatan. Tidak ada penjelasan yang diberikan menyangkut penyebab keterlambatan mereka selama sepekan. Keduanya mengenakan sandal plastik khas negeri ini. Warna: hijau limau.
Di Dekat Hadar, Etiopia
Kami berjalan ke arah Harenso.
Dunia seakan-akan berubah saat kita kehausan. Menyusut. Mendangkal. Cakrawala mendekat. Otak yang kehausan menyusutkan jarak Celah, mengisap berkilo-kilometer jalan melalui mata, memperbesarnya, mencermatinya untuk mencari tanda-tanda keberadaan air.
Saya dan Elema telah tersuruk-suruk sejauh lebih dari 32 kilometer di tengah panas yang menyengat. Kami memisahkan diri dari unta pengangkut untuk mengunjungi sebuah situs arkeologi yang terletak di dataran rendah: Gona, lokasi ditemukannya peralatan batu tertua di dunia (umur: 2,6 juta tahun). Botol minum kami kosong. Kami kepanasan, kesal. Kami lebih banyak diam.
Sinar matahari mengebor kepala kami. Sebuah pepatah Afar: Kalau kau tersesat atau kehausan, sebaiknya kau terus berjalan di bawah sinar matahari, karena seseorang akan melihatmu pada akhirnya. Tergoda untuk berteduh, menjatuhkan diri di bawah salah satu dari 10.000 rumpun semak berduri, berarti maut: Tidak ada yang akan menemukanmu. Maka kami terus berjalan—hingga samar-samar terdengar embikan kambing. Jika ada kambing berarti ada manusia.
Tuan rumah kami: sekeluarga Afar yang berkemah di sebuah bukit. Dua wanita tangguh penuh senyum. Delapan bocah berbalut kain tipis kumal yang dahulu mungkin baju. Dan wanita renta—dia tidak mengetahui usianya—bungkuk mirip kurcaci yang berteduh di bawah tikar anyaman. Namanya Hasna. Dia mengundang kami untuk duduk bersamanya, mengistirahatkan tulang-belulang, membuka sepatu. Dari jeriken bobrok, dia menuangkan air untuk kami—penuh endapan dan hangat, namun tetap berharga. Dia menawarkan segenggam buah beri kuning dari pohon liar yang tumbuh di lembah. Dia ibu kita.
Ketika leluhur kita berkelana di Afrika sekitar 60.000 tahun silam, mereka bertemu dengan spesies lain, yakni hominis. Kala itu dunia dihuni oleh sepupu-sepupu asing kita: Homo neanderthalensis, Homo floresiensis, Denisovan, dan mungkin manusia yang tidak terlalu mirip dengan kita.
Ketika kita bertemu dengan mereka, barangkali dengan cara seperti ini, di atas sebuah bukit terpencil, apakah kita berbagi air minum, atau bahkan berhubungan badan dengan damai, seperti yang diperkirakan oleh sebagian ahli genetika? (Di luar Afrika, populasi manusia modern cenderung mengandung sekitar 2,5 persen DNA Neanderthal.) Ataukah kita memerkosa dan membunuhnya? Di dalam sebuah gua yang dihuni oleh manusia modern, pernah ditemukan sepotong tulang rahang Neanderthal yang memiliki bekas tebasan, barangkali akibat kanibalisme. Para ilmuwan masih memperdebatkan teka-teki ini. Tetapi yang jelas, hanya kita yang bertahan untuk menguasai Bumi. Tetapi, ada harga yang harus dibayar: Kita sebatang kara.!break!
Dubti, Etiopia