“Anda gila, ya? Atau sakit?”
Sebagai jawaban, Mohamed Elema Hessan—yang berpenampilan menawan, pemandu dan pelindung saya selama menembus Segitiga Afar nan meranggas—membungkuk dan tergelak. Dialah yang mengendalikan mikro-karavan kami: dua ekor unta kerempeng.
Proyek ini, bagi Elema, adalah sebuah lelucon menggelikan—sebuah anekdot kosmik. Berjalan kaki selama tujuh tahun! Lintas benua! Dia menikmati kekonyolannya. Ini wajar. Terutama akibat kebodohan yang terjadi tatkala kami berangkat tadi.
Saya terbangun sebelum fajar dan melihat salju: tebal, pekat, mencekik, membutakan. Ternyata itu debu. Ratusan hewan di kampung Elema menghasilkan awan debu selembut bedak bayi. Kambing, domba, unta—sayangnya, bukan unta kami.
Unta-unta pengangkut perbekalan yang telah saya sewa berbulan-bulan sebelumnya (persiapan kunci dalam sebuah proyek yang menghabiskan beribu-ribu jam perencanaan) tidak terlihat di mana pun. Pawang mereka, dua orang nomaden bernama Mohamed Aidahis dan Kader Yarri, juga tiada. Mereka tidak pernah muncul.
Kami pun hanya bisa duduk di tengah kepulan debu, menunggu. Matahari kian tinggi. Udara semakin panas. Lalat-lalat mengerumuni kami. Di timur, di seberang Celah, perbatasan pertama kami, Jibouti, menjauh dua sentimeter setiap tahun—secepat Arabia menjauh dari Afrika.
Anda gila, ya? Atau sakit? Ya? Tidak? Mungkin?
Segitiga Afar di timur laut Etiopia dihindari orang karena keadaannya sekering bulan. Suhunya 49o C. Pantulan sinar dari lapisan garam di dasar kubangan kering begitu cemerlang hingga membakar mata. Namun hari ini hujan. Saya dan Elema tidak membawa tenda kedap air. Kami punya sehelai bendera Etiopia, yang oleh Elema dipakai menyelimuti diri selama dia berjalan. Setelah berhasil menemukan dua ekor unta untuk disewa, Kami tertatih-tatih melewati pepohonan akasia yang cokelat tersiram air hujan hangat.
Sekitar 20 kilometer kemudian, Elema meminta izin untuk pulang. Dia lupa membawa sepatu jalan Amerika barunya. Dan senternya. Dan topinya—dan ponselnya. Dari kamp pertama kami, dia mencari tumpangan ke desanya untuk mengambil benda-benda penting itu. Lalu dia berlari menyusul saya.
Mustahil untuk mengingat setiap detail dalam perjalanan berskala sebesar ini. Saya sendiri melupakan banyak hal—kantong nilon, misalnya. Akibatnya saya harus memulai perjalanan keluar dari Afrika ini dengan bagasi pesawat, terikat di punggung unta.
Para ilmuwan di proyek riset Middle Awash mengundang kami untuk memulai perjalanan di Herto Bouri, kilometer nol simbolik kami di Celah Etiopia. Di sinilah salah satu area dengan kandungan fosil tulang manusia terkaya di dunia. Di situs ternama ini, sebagian fosil manusia tertua ditemukan. Homo sapiens idaltu. Punah 160.000 tahun silam. Leluhur bertulang besar—versi awal kita.
Para peneliti Middle Awash Project, menemukan sejumlah besar fosil hominin terpenting di zaman kita di Etiopia, termasuk Ardipithecus ramidus, makhluk berkaki dua yang hidup 4,4 juta tahun silam. Pemandu Afar saya yang tingkahnya sulit ditebak, Elema, adalah pemburu fosil kawakan mereka.